12
Februari pukul 11.09 |
Sebuah kebanggaan bagi saya ikut terlibat dalam
penerjemahan Seri Kajian Petani dan Perubahan Agraria. Proses penerjemahannya
sendiri berlangsung selama 4-5 bulan. Namun, butuh waktu hampir empat tahun
untuk memastikan buku ini nyaman dibaca dan layak diterbitkan.
Di dalamnya ada kerja keras banyak pihak, terutama
penyunting ahli: Pak Ben dan Mba Laksmi dan tim editor INSISTPress ada Udin,
Bang Hadi, Bang Marsen.
Bagi saya, penerjemahan Buku Petani dan Seni Bertani
merupakan proses belajar yang berharga. Mau tidak mau, saya dituntut
memperhatikan detail kata per kata, sembari memahami konsep yang dinarasikan
Van der Ploeg. Pada proses ini, saya dibantu pengalaman penelitian sebelumnya.
Saat menerangkan konsep “aliran nilai”, Van der Ploeg menggunakan ilustrasi
tentang lumbung Orang Balanta. Di saat bersamaan, ingatan saya seperti ditarik
kembali pada leuit Kasepuhan Sinar Resmi Sukabumi.
Dari sini saya belajar, wawasan terhadap topik yang relevan
menjadi syarat penting dalam menerjemahkan buku, terutama buku sosial
humaniora. Jika tidak, kita bisa kesulitan mendalami materi teks aslinya.
Sepanjang proses ini, saya merefleksikan dua tantangan
penerjemahan. Pertama adalah, “menjaga agar gaya bahasa penulis sesuai teks
asli” sekaligus “menyampaikan gagasan penulis secara lengkap ke dalam bahasa
indonesia.” Kerja ini butuh pemindaian yang berulang-ulang, tujuannya untuk
meminimalisir pengaruh dari gaya bahasa saya sendiri.
Di dalam teks aslinya, Van der Ploeg sering menggunakan
kalimat panjang, sementara saya lebih nyaman menggunakan kalimat pendek.
Kondisi ini memang menyulitkan di awal, meski kemudian bisa diatasi.
Kedua adalah mencari padanan yang tepat untuk
konsep-konsep penting. Proses ini tidak hanya melibatkan saya sebagai
penerjemah, tetapi juga penyunting ahli dan tim editor INSIST Press. Konsep
drudgery misalnya, setelah diskusi beberapa kali disepakati lah jerih payah
sebagai padanan kata yang tepat. Buku ini memang tidak mengkhianati prosesnya
yang panjang. Muatan kata per kata-nya, saya harap bisa sedekat mungkin dengan
teks aslinya.
Hal menarik yang perlu saya promosikan tentang buku ini
adalah optimismenya terhadap pertanian petani. Di tengah pembahasan ekonomi
politik agraria yang membuat kita pesimis, buku ini menawarkan nuansa berbeda.
Di dalam konteks Indonesia, buku ini membuka mata saya, “perjuangan keadilan
agraria melalui UU Pokok Agraria dan Perjanjian Bagi Hasil 1960 berakar dari
tradisi Chayanovian.”
Kedua perundangan ini secara khusus melindungi pertanian
petani keluarga: (a) mengusahakan struktur penguasaan tanah yang adil dengan
membagi tanah guntai kepada penggarap, (b) dan, mengatur usaha tani agar
terhindar dari sistem ijon. Menurut Selo Soemardjan, idealnya, penggarap
menerima separuh sampai dua per tiga dari hasil panen.
Hari ini, kita seperti mundur terlalu jauh. Pada 1952,
Muchamad Tauchid pernah menulis, “di masa kolonial, 0,5% penduduk Eropa
menguasai 60% dari total lahan Hindia Belanda.” Dan hari ini, angka itu tidak
jauh berubah. Berdasarkan indeks ketimpangan lahan Sensus Pertanian 2013, 1%
dari total populasi Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan.
Penguasaan lahan
skala besar ini tidak dimaksudkan untuk memberi makan makhluk hidup di dunia,
tetapi untuk memenuhi demand pasar komoditas ekspor seperti industri kelapa
sawit. Padahal, resiko perusakan ekologisnya sangat besar dan mampu
menghilangkan kemungkinan petani melakukan reproduksi pertanian, sebagaimana
diidealkan Van der Ploeg dalam repeasantisasi.
Di tengah ketimpangan ini, puluhan tahun pasca Tragedi
1965, gerakan petani mengalami depolitisasi. Mereka dipaksa jinak untuk
menerima modernisasi pertanian, maupun perampasan lahan pertanian produktif
atas nama pembangunan. Sementara, perjuangan petani merebut kembali otonominya
selalu disikapi dengan kekerasan aparat dan milisi sipil dengan beragam terror
seperti tuduhan komunis. Lantas, sejauh mana kita mampu merawat optimisme
seperti isi dari buku Van der Ploeg ini? Mari kita diskusikan hari ini. Terimakasih,
selamat berdiskusi.
0 komentar:
Posting Komentar