1
Februari 2020 Arif
Novianto
Narasi penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diutarakan oleh Menteri Agraria
dan Tata Ruang telah memicu polemik. Sebagian besar orang yang peduli terhadap
lingkungan mengutuk keras upaya tersebut. Penghapusan Amdal dinilai akan
semakin memicu kerusakan lingkungan akibat masifnya industri yang tidak
memperhatikan aspek ekologi. Itu karena pandangan arus utama percaya, bahwa
dengan Amdal maka kerusakan ekologi dapat diminimalisasi dan ekologi dapat terlindungi.
Mekanisme Amdal yang sudah mulai diterapkan di Indonesia
sejak tahun 1982, pada kenyataannya tidak terlalu mampu melindungi ekologi dari
kerusakan. Selama hampir 40 tahun Amdal dijadikan prasyarat wajib dalam proses
pembangunan, degredasi ekologi masih begitu banyak kita temui. Artinya, Amdal
pada kenyataannya bukanlah “dewa-dewi suci” yang dapat menyingkirkan
orang-orang jahat yang rakus dalam merampok dan memperkosa ibu bumi.
Amdal Sebagai Kuda Troya
Jika kita gali lebih dalam, Amdal hanyalah instrumen yang
memberikan data dan analisis dampak yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Amdal tidak dapat memberi keputusan, yang memberikan keputusan
secara formal adalah mereka yang berada di pusat pemerintahan.
Walaupun didesain dengan maksud melindungan ekologi,
permasalahan yang dihadapi oleh Amdal ini berada dalam dua lapis. Lapis
pertama, adalah pada saat proses penelitian Amdal. Penelitian yang saya lakukan
di Kabupaten Pati, Jawa Tengah tentang konflik pembangunan pabrik semen (2016),
Amdal justru digunakan oleh penguasa dan pengusaha untuk membenarkan ekspansi
modal. Penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen dibenturkan
dengan klaim “keilmiahan” yang dibuat oleh para ahli (klaim “kepakaran”) dalam
penelitian Amdal.
Dalam setiap aksi massa dan audiensi yang dilakukan oleh
masyarakat kontra pembangunan, penguasa-pengusaha selalu berbicara agar
masyarakat menunggu hasil kajian ilmiah dari Amdal dan menekankan agar tidak
melakukan penolakan terlebih dahulu. Argumentnya, karena Amdal adalah ilmiah
dan dibuat para ahli, maka Amdal akan benar-benar mampu memprediksi dampak dari
pembangunan. Sehingga ketika kajian Amdal menyatakan “tidak layak”, maka mereka
tidak akan jadi melakukan pembangunan. Sementara jika kajian Amdal menyatakan
“layak”, maka mereka akan tetap melanjutkan pembangunan. Masyarakat yang sejak
awal bahkan menolak penelitian Amdal, dipaksa untuk mengikuti mekanisme itu.
Dalam proses penelitiannya, “para ahli” pembuat Amdal
tidaklah netral. Hasil penelitian yang mereka lakukan, hampir selalu dikoreksi
oleh masyarakat karena ada kekeliruan data penelitian lapangan. Masyarakat
bersama jaringan aktivis kemudian melakukan Amdal tandingan, untuk menunjukan
bahwa dalam pengambilan data saja Amdal versi “resmi” salah, apalagi dalam hal
analisis.
Contohnya dari jumlah mata air dari 139 mata air di Izin Usaha
Pertambangan (IUP) PT Sahabat Mulya Sakti (anak usaha PT Indocement Tunggal
Prakarsa), hanya disebutkan 24 saja, dari 24 goa hanya 13 yang dicantumkan, dan
bahkan 7 ponor di Pegunungan Kendeng tidak disebutkan dalam dokumen itu. Data
tandingan dari masyarakat kontra pembangunan, justru ditempatkan sebagai
masukan dan tambahan data bagi mereka (JMPPK, 2014).
Dalam hal pelibatan partisipasi, karena masyarakat kontra
pembangunan selalu menolak sosialisasi dan penelitian Amdal, untuk memenuhi
prosedur, pihak peneliti kemudian melibatkan para masyarakat yang pro
pembangunan. Dalam sidang KA-Andal contohnya, pihak perusahaan membayar
masyarakat pro senilai 300.000-500.000 rupiah untuk menghadiri sidang tersebut.
Mereka sudah didesain agar menyetujui hasil temuan dan analisis Amdal
(Novianto, 2016). Pada kasus konflik pembangunan PT Indocement di Pati ini,
hasil kajian sosial Amdal menunjukan bahwa 67% masyarakat menolak pembangunan
pabrik semen, 20% setuju, sementara 13% abstain. Namun, hasil Amdal tetap
menyatakan bahwa pembangunan pabrik semen itu “layak bersyarat”.
Permasalahan lapis keduanya adalah, dengan bekal dokumen
Amdal itu, pihak pemerintah menerbitkan “izin lingkungan” dan sejak awal
terlibat aktif dalam mendukung berdirinya pabrik semen.
Amdal dalam konteks konflik rencana pembangunan pabrik
semen di atas, memperlihatkan bagaimana Amdal tidak ubahnya seperti kuda troya.
Dengan klaim kepakaran dan keilmiahan, Amdal digunakan untuk membenarkan
pembangunan pabrik semen dengan cara menyisihkan suara-suara yang kontra dengan
pembangunan itu.
Dorongan Akumulasi, Merusak Ekologi
Mekanisme Amdal untuk menjaga ekologi dari kerusakan,
demi menghadirkan bumi yang layak huni bagi makhluk hidup di masa depan, justru
dibajak oleh penguasa-pengusaha. Hal itu tidak lain karena Amdal hanyalah
instrumen, sementara siapa yang akan menjalankan instrumen tersebut, tergantung
kelas mana yang dominan.
Keberhasilan digunakannnya pertimbangan ekologis dalam
setiap pembangunan yang akan berdampak bagi lingkungan, adalah hasil dari
perjuangan kelas. Artinya pihak penguasa-pengusaha tidak menjalankan mekanisme
itu atas dasar kehendak baiknya, namun karena tekanan besar dari gerakan
rakyat.
Amdal atau Environmental Impact Assessment (EIA)
pertamakali diterapkan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1970 dan kemudian
digunakan pula oleh berbagai negara di dunia. Sebelumnya, gerakan lingkungan
meningkat pesat di AS menentang penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane)
atau pestisida yang telah menciptakan degredasi ekologi dan membahayakan
kehidupan manusia. Terbitnya buku Rachel Carson berjudul “Silent Spring” pada
tahun 1962, menjadi salah satu pemantik meningkatnya kesadaran masyarakat
tentang bahaya DDT. Akibat tekanan yang begitu kuat, akhirnya Presiden dan
parlemen AS menyepakati tuntutan gerakan dan menindaklanjutinya dengan
penerapan EIA.
Sejarah penerapan Amdal, memperlihatkan bahwa
pertimbangan ekologis hadir, ketika ada tekanan dari bawah. Itu karena dalam
sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan saat ini, pertimbangan utama mereka
adalah keuntungan, tidak tentang kelestarian lingkungan dan kemanusiaan.
Itu karena dorongan untuk akumulasi menjadi hukum dasar
dari ekonomi kapitalis. Tanpa berakumulasi, kekayaan kapitalis akan terdevaluasi,
baik karena inflasi, penurunan realisasi produk yang dibuat, pangsa pasarnya
diambil oleh kapitalis lain, habisnya bahan baku di lokasi yang dikuasai, atau
karena penguasa politik yang tidak berpihak kepada mereka.
Dorongan untuk akumulasi telah mengadu kapitalis dengan
kapitalis, kapitalis dengan pekerja, dan pekerja dengan pekerja. Dorongan
akumulasi ini memicu kompetisi, yang kata Marx dalam “Capital Vol 1”
“menundukkan setiap kapitalis individu dengan hukum imanen produksi kapitalis,
sebagai hukum eksternal, hukum koersif.” Para kapitalis harus dapat memenangkan
kompetisi agar mereka dapat terus hidup dan berkembang. Hukum koersif
kompetisi, membuat mereka berjuang untuk mengendalikan dan menguasai pasar,
tenaga kerja, dan alam. Para kapitalis yang memenangkan pertarungan, akan
memangsa kapitalis lain yang lebih kecil. Kondisi itu mengarahkan sistem
kapitalisme menuju konsentrasi dan sentralisasi modal, di mana segelintir
kapitalis dengan kekayaan yang menumpuk telah memonopoli pasar.
Nilai yang menjadi kekayaan bagi para kapitalis terus
berkembang dengan mengeksploitasi pekerja dan merampok alam (Foster, 2000).
Kebutuhan untuk akumulasi, membuat cara kerja sistem ini menjadi brutal. Marx
menggambarkan cara kerja kapitalis seperti Vampir, “akan menghisap darah sampai
tidak tersisa setetes pun”. Alam yang ditempatkan sebagai “hadiah gratis”,
dirampas untuk kepentingan mendapatkan keuntungan. Pada konteks ini, tujuan
utama untuk mendapatkan keuntungan menjadikan pertimbangan lingkungan diabaikan.
Artinya produksi dilakukan tidak untuk memenuhi kebutuhan, akan tetapi produksi
adalah untuk produksi, untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan.
Hukum umum sistem ekonomi tersebut, akan selalu
bertentangan dengan metabolisme alam. Di satu sisi, produksi kapitalis selalu
menginginkan produksi sebanyak mungkin, dan semakin banyak produksi, semakin
banyak pula melakukan apropriasi terhadap alam. Di sisi yang lain, metabolisme
akan mengalami kerusakan ketika terjadi pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran.
Kita dapat mengambil banyak sekali contoh tentang brutalnya proses produksi
yang bertumpu pada kehendak untuk mendapatkan keuntungan yang ada di sekitar
kita. Oleh karena itu, dorongan untuk akumulasi, akan selalu bertentangan
dengan dorongan untuk merawat ekologi.
Pandangan di atas menegaskan bahwa Amdal sebagai
instrumen, tidak akan benar-benar mampu melindungan lingkungan ketika sistem
sosial yang berkuasa justru memanfaatkan alam sebagai sumber mencari
sebesar-besarnya keuntungan. Sebaik apapun instrumen yang dibuat, ketika tidak
dikawal oleh gerakan rakyat secara sadar, maka akan banyak cara untuk
menunggangi atau bahwa mengabaikan instrumen tersebut. Kondisi itu seperti apa
yang dikatakan Fernand Braudel, sejarahwan Prancis, bahwa “manakala kapitalisme
diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela”. Selalu ada cara
untuk memanipulasi, menunggangi, hingga mengabaikan instrumen-instrumen yang
dianggap mengganggu dorongan akumulasi mereka.
Saat ini, para ekonom arus utama, berupaya mengalihkan
permasalahan internal dari cara kerja sistem kapitalisme sebagai permasalahan
eksternal. Mereka menawarkan hingga mengembangkan konsep-kosep pembangunan yang
mempertimbangkan aspek lingkungan, seperti pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau
(green economy) hingga pertumbuhan hijau (green growth).
Alih-alih berupaya untuk mengganti sistem ini, mereka
percaya bahwa kapitalisme dapat selaras dengan kepentingan untuk melindungi
ekologi. Pemahaman tersebut ahistoris, dan gagal dalam menjelaskan akar
penyebab kerusakan ekologi selama ini. Pemahaman tersebut justru hendak
melanggengkan sistem yang telah ada yang telah terbukti terus menciptakan
kerusakan lingkungan. Tanpa mengubah sistem kapitalisme ini dengan sistem yang
memperhatikan lingkungan hidup dan kemanusiaan, maka masa depan dunia ini akan
tetap dalam marabahaya.
_______________
Arif Novianto
Redaktur di Penerbit Independen (PIN) dan editor di bukuprogresif.com
Penulis dapat dihubungi di akun twitternya: @arifnovianto_id atau Instagram: @arifnovianto_id
Tulisan ini sebelumnya dimuat di website Pergerakan, dimuat ulang untuk menyebarluaskan gagasan.
Arif Novianto
Redaktur di Penerbit Independen (PIN) dan editor di bukuprogresif.com
Penulis dapat dihubungi di akun twitternya: @arifnovianto_id atau Instagram: @arifnovianto_id
Tulisan ini sebelumnya dimuat di website Pergerakan, dimuat ulang untuk menyebarluaskan gagasan.
0 komentar:
Posting Komentar