Sabtu, 01 Februari 2020

Kapitalisme Bertentangan dengan Kepedulian Lingkungan


1 Februari 2020 Arif Novianto


Narasi penghapusan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diutarakan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang telah memicu polemik. Sebagian besar orang yang peduli terhadap lingkungan mengutuk keras upaya tersebut. Penghapusan Amdal dinilai akan semakin memicu kerusakan lingkungan akibat masifnya industri yang tidak memperhatikan aspek ekologi. Itu karena pandangan arus utama percaya, bahwa dengan Amdal maka kerusakan ekologi dapat diminimalisasi dan ekologi dapat terlindungi.

Mekanisme Amdal yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982, pada kenyataannya tidak terlalu mampu melindungi ekologi dari kerusakan. Selama hampir 40 tahun Amdal dijadikan prasyarat wajib dalam proses pembangunan, degredasi ekologi masih begitu banyak kita temui. Artinya, Amdal pada kenyataannya bukanlah “dewa-dewi suci” yang dapat menyingkirkan orang-orang jahat yang rakus dalam merampok dan memperkosa ibu bumi.

Amdal Sebagai Kuda Troya

Jika kita gali lebih dalam, Amdal hanyalah instrumen yang memberikan data dan analisis dampak yang menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Amdal tidak dapat memberi keputusan, yang memberikan keputusan secara formal adalah mereka yang berada di pusat pemerintahan.
Walaupun didesain dengan maksud melindungan ekologi, permasalahan yang dihadapi oleh Amdal ini berada dalam dua lapis. Lapis pertama, adalah pada saat proses penelitian Amdal. Penelitian yang saya lakukan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah tentang konflik pembangunan pabrik semen (2016), Amdal justru digunakan oleh penguasa dan pengusaha untuk membenarkan ekspansi modal. Penolakan masyarakat terhadap pembangunan pabrik semen dibenturkan dengan klaim “keilmiahan” yang dibuat oleh para ahli (klaim “kepakaran”) dalam penelitian Amdal.

Dalam setiap aksi massa dan audiensi yang dilakukan oleh masyarakat kontra pembangunan, penguasa-pengusaha selalu berbicara agar masyarakat menunggu hasil kajian ilmiah dari Amdal dan menekankan agar tidak melakukan penolakan terlebih dahulu. Argumentnya, karena Amdal adalah ilmiah dan dibuat para ahli, maka Amdal akan benar-benar mampu memprediksi dampak dari pembangunan. Sehingga ketika kajian Amdal menyatakan “tidak layak”, maka mereka tidak akan jadi melakukan pembangunan. Sementara jika kajian Amdal menyatakan “layak”, maka mereka akan tetap melanjutkan pembangunan. Masyarakat yang sejak awal bahkan menolak penelitian Amdal, dipaksa untuk mengikuti mekanisme itu.

Dalam proses penelitiannya, “para ahli” pembuat Amdal tidaklah netral. Hasil penelitian yang mereka lakukan, hampir selalu dikoreksi oleh masyarakat karena ada kekeliruan data penelitian lapangan. Masyarakat bersama jaringan aktivis kemudian melakukan Amdal tandingan, untuk menunjukan bahwa dalam pengambilan data saja Amdal versi “resmi” salah, apalagi dalam hal analisis. 
Contohnya dari jumlah mata air dari 139 mata air di Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Sahabat Mulya Sakti (anak usaha PT Indocement Tunggal Prakarsa), hanya disebutkan 24 saja, dari 24 goa hanya 13 yang dicantumkan, dan bahkan 7 ponor di Pegunungan Kendeng tidak disebutkan dalam dokumen itu. Data tandingan dari masyarakat kontra pembangunan, justru ditempatkan sebagai masukan dan tambahan data bagi mereka (JMPPK, 2014).

Dalam hal pelibatan partisipasi, karena masyarakat kontra pembangunan selalu menolak sosialisasi dan penelitian Amdal, untuk memenuhi prosedur, pihak peneliti kemudian melibatkan para masyarakat yang pro pembangunan. Dalam sidang KA-Andal contohnya, pihak perusahaan membayar masyarakat pro senilai 300.000-500.000 rupiah untuk menghadiri sidang tersebut. Mereka sudah didesain agar menyetujui hasil temuan dan analisis Amdal (Novianto, 2016). Pada kasus konflik pembangunan PT Indocement di Pati ini, hasil kajian sosial Amdal menunjukan bahwa 67% masyarakat menolak pembangunan pabrik semen, 20% setuju, sementara 13% abstain. Namun, hasil Amdal tetap menyatakan bahwa pembangunan pabrik semen itu “layak bersyarat”.

Permasalahan lapis keduanya adalah, dengan bekal dokumen Amdal itu, pihak pemerintah menerbitkan “izin lingkungan” dan sejak awal terlibat aktif dalam mendukung berdirinya pabrik semen.

Amdal dalam konteks konflik rencana pembangunan pabrik semen di atas, memperlihatkan bagaimana Amdal tidak ubahnya seperti kuda troya. Dengan klaim kepakaran dan keilmiahan, Amdal digunakan untuk membenarkan pembangunan pabrik semen dengan cara menyisihkan suara-suara yang kontra dengan pembangunan itu.

Dorongan Akumulasi, Merusak Ekologi

Mekanisme Amdal untuk menjaga ekologi dari kerusakan, demi menghadirkan bumi yang layak huni bagi makhluk hidup di masa depan, justru dibajak oleh penguasa-pengusaha. Hal itu tidak lain karena Amdal hanyalah instrumen, sementara siapa yang akan menjalankan instrumen tersebut, tergantung kelas mana yang dominan.

Keberhasilan digunakannnya pertimbangan ekologis dalam setiap pembangunan yang akan berdampak bagi lingkungan, adalah hasil dari perjuangan kelas. Artinya pihak penguasa-pengusaha tidak menjalankan mekanisme itu atas dasar kehendak baiknya, namun karena tekanan besar dari gerakan rakyat.

Amdal atau Environmental Impact Assessment (EIA) pertamakali diterapkan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1970 dan kemudian digunakan pula oleh berbagai negara di dunia. Sebelumnya, gerakan lingkungan meningkat pesat di AS menentang penggunaan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) atau pestisida yang telah menciptakan degredasi ekologi dan membahayakan kehidupan manusia. Terbitnya buku Rachel Carson berjudul “Silent Spring” pada tahun 1962, menjadi salah satu pemantik meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya DDT. Akibat tekanan yang begitu kuat, akhirnya Presiden dan parlemen AS menyepakati tuntutan gerakan dan menindaklanjutinya dengan penerapan EIA.

Sejarah penerapan Amdal, memperlihatkan bahwa pertimbangan ekologis hadir, ketika ada tekanan dari bawah. Itu karena dalam sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan saat ini, pertimbangan utama mereka adalah keuntungan, tidak tentang kelestarian lingkungan dan kemanusiaan.

Itu karena dorongan untuk akumulasi menjadi hukum dasar dari ekonomi kapitalis. Tanpa berakumulasi, kekayaan kapitalis akan terdevaluasi, baik karena inflasi, penurunan realisasi produk yang dibuat, pangsa pasarnya diambil oleh kapitalis lain, habisnya bahan baku di lokasi yang dikuasai, atau karena penguasa politik yang tidak berpihak kepada mereka.

Dorongan untuk akumulasi telah mengadu kapitalis dengan kapitalis, kapitalis dengan pekerja, dan pekerja dengan pekerja. Dorongan akumulasi ini memicu kompetisi, yang kata Marx dalam “Capital Vol 1” “menundukkan setiap kapitalis individu dengan hukum imanen produksi kapitalis, sebagai hukum eksternal, hukum koersif.” Para kapitalis harus dapat memenangkan kompetisi agar mereka dapat terus hidup dan berkembang. Hukum koersif kompetisi, membuat mereka berjuang untuk mengendalikan dan menguasai pasar, tenaga kerja, dan alam. Para kapitalis yang memenangkan pertarungan, akan memangsa kapitalis lain yang lebih kecil. Kondisi itu mengarahkan sistem kapitalisme menuju konsentrasi dan sentralisasi modal, di mana segelintir kapitalis dengan kekayaan yang menumpuk telah memonopoli pasar.

Nilai yang menjadi kekayaan bagi para kapitalis terus berkembang dengan mengeksploitasi pekerja dan merampok alam (Foster, 2000). Kebutuhan untuk akumulasi, membuat cara kerja sistem ini menjadi brutal. Marx menggambarkan cara kerja kapitalis seperti Vampir, “akan menghisap darah sampai tidak tersisa setetes pun”. Alam yang ditempatkan sebagai “hadiah gratis”, dirampas untuk kepentingan mendapatkan keuntungan. Pada konteks ini, tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan menjadikan pertimbangan lingkungan diabaikan. Artinya produksi dilakukan tidak untuk memenuhi kebutuhan, akan tetapi produksi adalah untuk produksi, untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan.

Hukum umum sistem ekonomi tersebut, akan selalu bertentangan dengan metabolisme alam. Di satu sisi, produksi kapitalis selalu menginginkan produksi sebanyak mungkin, dan semakin banyak produksi, semakin banyak pula melakukan apropriasi terhadap alam. Di sisi yang lain, metabolisme akan mengalami kerusakan ketika terjadi pengambilan sumber daya alam secara besar-besaran. Kita dapat mengambil banyak sekali contoh tentang brutalnya proses produksi yang bertumpu pada kehendak untuk mendapatkan keuntungan yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, dorongan untuk akumulasi, akan selalu bertentangan dengan dorongan untuk merawat ekologi.

Pandangan di atas menegaskan bahwa Amdal sebagai instrumen, tidak akan benar-benar mampu melindungan lingkungan ketika sistem sosial yang berkuasa justru memanfaatkan alam sebagai sumber mencari sebesar-besarnya keuntungan. Sebaik apapun instrumen yang dibuat, ketika tidak dikawal oleh gerakan rakyat secara sadar, maka akan banyak cara untuk menunggangi atau bahwa mengabaikan instrumen tersebut. Kondisi itu seperti apa yang dikatakan Fernand Braudel, sejarahwan Prancis, bahwa “manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela”. Selalu ada cara untuk memanipulasi, menunggangi, hingga mengabaikan instrumen-instrumen yang dianggap mengganggu dorongan akumulasi mereka.

Saat ini, para ekonom arus utama, berupaya mengalihkan permasalahan internal dari cara kerja sistem kapitalisme sebagai permasalahan eksternal. Mereka menawarkan hingga mengembangkan konsep-kosep pembangunan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, seperti pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau (green economy) hingga pertumbuhan hijau (green growth).

Alih-alih berupaya untuk mengganti sistem ini, mereka percaya bahwa kapitalisme dapat selaras dengan kepentingan untuk melindungi ekologi. Pemahaman tersebut ahistoris, dan gagal dalam menjelaskan akar penyebab kerusakan ekologi selama ini. Pemahaman tersebut justru hendak melanggengkan sistem yang telah ada yang telah terbukti terus menciptakan kerusakan lingkungan. Tanpa mengubah sistem kapitalisme ini dengan sistem yang memperhatikan lingkungan hidup dan kemanusiaan, maka masa depan dunia ini akan tetap dalam marabahaya.

_______________
Arif Novianto
Redaktur di Penerbit Independen (PIN) dan editor di bukuprogresif.com
Penulis dapat dihubungi di akun twitternya: @arifnovianto_id atau Instagram: @arifnovianto_id

Tulisan ini sebelumnya dimuat di website Pergerakan, dimuat ulang untuk menyebarluaskan gagasan.

0 komentar:

Posting Komentar