Paska peristiwa afdeeling B di Cimareme Garut, pada tahun
1920-an, pergerakan Sarekat Islam (S.I.) di Tasikmalaya dan wilayah Priangan
dilemahkan oleh pemerintah Kolonial. Pelemahan pergerakan ini diakibatkan
banyaknya tokoh S.I. di Tasikmalaya dan Priangangan lainnya yang terlibat dalam
aksi pemberontakan S.I. Afdeeling B pada tahun 1919.
Para tokoh S.I. tersebut banyak yang diadili, ditahan,
dan dibuang ke pengasingan. Sebagian pengurus dan anggota Central dan Cabang
S.I. di Tasikmalaya tetap melanjutkan perjuangannya, berafiliasi dengan Partai
Komunis Indonesia (P.K.I), berhimpun dalam gerakan Sarekat Rakjat.[1]
Sejak awal pembentukannya, Sarekat Rakyat dipersiapkan
untuk meraih dukungan sekaligus mewadahi mantan aktifis Sarekat Islam (S.I.).
Penamaan “Sarekat Rakyat” dinilai lebih bisa diterima ketimbang nama Partai
Komunis Indonesia (P.K.I). Penamaan Sarekat Rakyat ini juga mencerminkan
pandangan lokal para pemimpin pergerakan yang masil loyal dengan Sarekat Islam.
Anggota S.R., yang umumnya mantan aktifis S.I., tidak begitu memahami ajaran
ideologi komunis sebagaimana dianut oleh tokoh elit P.K.I.
Tampaknya, sebagian anggota S.R. tetap perpegang ajaran
Islam yang menjadi platform ideologi gerakan Sarekat Islam. Maka tak heran, tak
sedikit dari para haji dan guru-guru agama, di Tasikmalaya dan daerah Priangan
lainnya, yang terlibat dalam gerakan berhaluaan sosialis ini.
Hubungan S.R. dan P.K.I. bukan pada kesamaan ideologi,
namun lebih pada hubungan organisasi dan kesamaan cita-cita, yaitu kemerdekaan
bangsa dari kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Secara organisasi,
berdasarkan kongres tahun 1923, S.R. ditempatkan di bawah, sekaligus bergabung
dengan P.K.I. Namun, bukan berarti anggota S.R. secara otomatis menjadi anggota
P.K.I. Karena, anggota S.R. dipandang sebagai orang-orang tradisional yang
memegang teguh ideologi agama dan tidak berwatak proletar. Sehingga, pengurus
P.K.I. menerapkan beberapa syarat dan aturan khusus kepada anggota S.R. yang
hendak bergabung dengan P.K.I, yaitu:[2]
Melek hurup.
Mempunyai pengetahuan cukup tentang doktrin komunis.
Cukup akrab dengan organisasi itu.
Dapat dipercaya sepenuhnya.
Akan tunduk pada disiplin partai tanpa sarat.
Mau melakukan tugas propaganda komunis.
Gerakan Sarekat Rakyat di afdeeling Priangan Timur (meliputi Tasikmalaya , Ciamis dan Garut) dipimpin sebagian mantan aktifis S.I. afdeeling B. yaitu Ditawilastra. Beliau adalah seorang mantri guru Panumbangan Ciamis, yang pada tahun 1920 dibuang ke Boven Digoel karena terlibat dalam gerakan S.I. afdeeling B. Berdasarkan informasi dari Batavia nieuws blad edisi 23 Mei 1924, Ditawilastra kembali dari pembuangannya di Digoel pada tahun 1924. Setelah kembali ke Ciamis, Ditawilastra bersama teman sepergerakannya bernama H. Achmad Djoenaedi (Bojong Menger Ciamis), terlibat aktif menjadi anggota Indonesische Studieclub Bandoeng tahun 1925 bersama Dr. Tjipto Mangoen Kusumo, Ir. Soekarno, dan tokoh nasional lainnya. Ditawilastra juga memimpin sebuah Majalah propaganda komunis bernama Proletar yang terbit di Surabaya.
Soedarman,
pimpinan pemberontakan Sarekat Rakyat, 1926
Sarekat Rakyat (S.R.) adalah gerakan gerakan radikal dan non-kooperatif, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Gerakan ini tidak menempatkan anggotanya untuk duduk dalam wadah raad (parlemen atau dewan perwakilan) yang dibentuk oleh pemerintah kolonial di setiap kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1925. S.R. adalah gerakan radikal yang banyak menyuarakan doktrin-doktrin sosialisme, anti-kapitalisme, anti-feodalisme, dan anti-imperalisme dengan prinsip internasionalisme. Gerakan ini banyak merekrut anggotanya dari kalangan masyarakat bawah, terutama para buruh dan petani. S.R. aktif melakukan propaganda diberbagai pelosok. S.R. berkembang pesat di Ciamis, Banjar, Cijulang dan sebagian wilayah utara Tasikmalaya.
Sementara wilayah kota Tasikmalaya, aktifis pergerakan
lebih banyak yang bergabung dengan organ Pagojoeban Pasoendan yang memilih
haluan politik kooperatif.
S.R. aktif mengkampanyekan ide-ide revolusi untuk merebut
kemerdekaan. S.R. bersemangat untuk merebut kekuasaan dari tangan kolonial dan
penguasa lokal yang dianggap kepanjangan tangan kolonial. Propaganda S.R.,
lebih memuat seputar isu politik dan ekonomi.
Sebagaimana faham komunisme, S.R. mengkapanyekan
perlawanan terhadap kaum kapitalis, perusahaan-perusahaan asing yang telah
menguasai kekayaan bangsa pribumi. Kapitaslime dianggap sudah menyebabkan
kemiskinan rakyat. Propagandis S.R. aktif melakukan proganda mengenai; buruknya
kesejahteraan rakyat; rendahnya daya beli; meningkatnya pengangguran; kurangnya
bahan makanan; dan mahalnya harga kebutuhan rakyat.[3] Di Priangan Timur,
S.R. memiliki koran “Soerapati” yang dipimpin oleh Kartawiria, sebagai corong
untuk menyebarluaskan propaganda dan gagasan-gagasannya.
Berbeda dengan Sarekat Islam (S.I.) yang diidentikan
dengan Islamisme radikal, Sarekat Rakyat (S.R.) sering diidentikan dengan
komunisme. Sebagai faham baru, para pengamat dan aktifis pergerakan di
Tasikmalaya banyak yang mendiskusikannya dalam koran lokal Sipatahoenan.
Ramainya wacana mengenai S.R. ini dilatarbelakangi oleh banyaknya insiden dan
keributan yang terjadi di Priangan Timur. Wacana perdebatan mengenai komunisme
dapat disimak dalam koran Sipatahoenan selama tahun 1925 sampai dengan 1927.
Para aktifis di Tasikmalaya aktif memberikan opini atas gerakan S.R. dan faham
yang dibawanya.
Anggota S.R., yang sebagian besar anggotanya mantan
aktifis S.I., sangat sulit melupakan peristiwa afdeeling B. di Cimareme Garut.
Tindakan represif pangreh praja Garut, dalam peristiwa Cimareme, telah memicu
kegusaran, kebencian, dan sikap memusuhi kepada para bupati dan pejabat
rendahan di Priangan. Kondisi ini, diperkuat oleh banyaknya tindakan represif
yang dilakukan oleh Sarekat Hejo bentukan bupati Sumedang.[4] Sehingga, mereka
memiliki pandangan radikal yang anti terhadap berbagai atribut borjuasi baik
kolonial mapun lokal. Para bupati dan pangreh praja dipandang sebagai borjuis
lokal yang menjadi antek-antek kepanjangan imperialisme dan kapitalisme.
Bakrie Soeraatmadja dalam Sipatahoenan tahun 1925
menggambarkan bagaimana di setiap daerah yang ada cabang Sarekat Rakyat (S.R.)
selalu muncul cabang Sarekat Hedjo (S.H.). Kedua kelompok ini saling
bermusuhan. Anggota S.H. yang anti S.I. dan anti S.R., sering melakukan
tindakan kekerasan. Sehingga selama tahun 1924 sampai 1925, sering terjadi
kegaduhan diberbagai wilayah di Priangan. Dimana, S.H. menjadi biang kerusuhan.
Anggota S.H. yang kebanyakan adalah centeng-centeng desa, seringkali melakukan
pelemparan batu pada rumah-rumah anggota S.I. dan S.R. Aksi pelemparan batu itu
kerap kali dilakukan pada malam hari.
Pada malam tanggal 12 November 1926, meletuslah aksi
pemberontakan S. R. di Tasikmalaya dan wilayah Priangan lainnya. Soedarman,
sekretaris S.R. Tasikmalaya, memimpin aksi pemberontakan. Aksi pemberontakan
itu diarahkan pada sabotase jalur kereta api, telpon, telegraf, dan fasilitas
umum lainnya. [5] Kelompok
Egom dan Dirdja di Ciamis, mengarahkan aksi pemberontakan pada usaha pembunuhan
bupati Ciamis R. Adipati Sastra Winata. Mereka membuat kekacauan di Chinees
Chen wijkmeester dan Pegadaian.[6] Aksi percobaan pemberontakan ini tidak
terarah dan mengalami kegagalan. Pemerintah kolonial mengerahkan serdadu
militer untuk melakukan penangkapan para pemberontak. Pada tanggal 13 November,
militer berhasil menangkap ±200 anggota pemberontakan termasuk haji-haji kaya
yang terlibat. [7]
Aksi pemberontakan S.R. Tasikmalaya dan Priangan Timur
dirancang oleh tokoh-tokoh muda revolusioner. Diantara nama tokoh pemberontakan
itu adalah,[8] Soedarman, mantan pegawai perusahaan kereta api
tinggal di kota Tasikmalaya. Beliau adalah ketua, organisasi buruh kereta api
bernama Vereniging Spoor en Tramweg Personeel (V.S.T.P). Beliau juga menjabat
sebagai ketua garda Dictatorial Organization (D.O.). Selain itu, beliau juga
menjabat sebagai Sekretaris Sarekat Rakjat Tasikmalaya.
Haji Achmad Djoenaedi, berusia 31 tahun, dia adalah haji propagandis sosialis kerakyatan yang berasal dari Bojong Mengger Ciamis.
Haji Achmad Djoenaedi, berusia 31 tahun, dia adalah haji propagandis sosialis kerakyatan yang berasal dari Bojong Mengger Ciamis.
Ditawilastra, berusia 38 tahun, seorang mantri guru. Beliau adalah pensiunan asisten guru pemerintah yang menjadi Ketua Sarekat Rakjat Beliau juga seorang propagandis sosialis kerakyatan yang menjabat sebagai administratur koran harian “Proletar” di Surabaya.
Hermawan, berusia 26 tahun. Beliau adalah jurnalis, propagandis sosialis kerakyatan, dan pendidik pada sekolah Sarekat Rakjat tinggal di Garut.
Sambik Wiraamidjaja, berasal dari Wanaraja Garut, berusia 22 tahun. Beliau adalah seorang officer perusahaan kerata api pemerintah (S.S.).
Beliau juga
seorang pendidik di salah satu Sekolah Sarekat Islam
Terlepas, stigma buruk terhadap gerakan Sarekat Islam (S.I), dan Sarekat Rakyat (S.R), yang berafiliasi dengan Partai Komoenis Indonesia (P.K.I.), namun kedua gerakan itu adalah garda terdepan yang membuka kesadaran paling revolusioner dalam sejarah Tasikmalaya. Ide revolusioner mengenai pentingnya pembebasan diri dari imperialisme dan kapitalisme. Gagasan ini kelak membawa inspirasi sosial politik baru yang lebih dinamis dan maju. Tokoh-tokoh S.I. dan S.R. Tasikmalaya, baik yang berhaluan Islamis, sosialis, maupun komunis, adalah pahlawan besar yang harus tetap dikenang. Kontribusi mereka tidak tertandingi dalam sejarah pergerakan Tasikmalaya dan Priangan
Terlepas, stigma buruk terhadap gerakan Sarekat Islam (S.I), dan Sarekat Rakyat (S.R), yang berafiliasi dengan Partai Komoenis Indonesia (P.K.I.), namun kedua gerakan itu adalah garda terdepan yang membuka kesadaran paling revolusioner dalam sejarah Tasikmalaya. Ide revolusioner mengenai pentingnya pembebasan diri dari imperialisme dan kapitalisme. Gagasan ini kelak membawa inspirasi sosial politik baru yang lebih dinamis dan maju. Tokoh-tokoh S.I. dan S.R. Tasikmalaya, baik yang berhaluan Islamis, sosialis, maupun komunis, adalah pahlawan besar yang harus tetap dikenang. Kontribusi mereka tidak tertandingi dalam sejarah pergerakan Tasikmalaya dan Priangan
Sumber:
[1] Yong Mun Cheong, Conficts
within the Prijaji World of the Parahyangan in West Java 1914-1927. Field
report Series I. (Singaphore, The Institute of Southeast Asia, 1973). hal 31.
[2] Ruth T. McVey, hal 330
[3] Ibid, hal 31
[4] Ibid, hal 33-34, diambil
seperlunya.
[5] De Sumatra post, edisi 19
Januari 1927
[6] Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië; edisi 17-02-1927
[7] Batavia Nieuwsblad No.343
edisi 16 November 1926 pagina 2
[8] De Sumatra post edisi
03-01-1927.
0 komentar:
Posting Komentar