Oleh Hendri F. Isnaeni
Wali kota Surabaya
dua periode berturut-turut berasal dari PKI. Foto mereka sempat dihilangkan.
Ilustrasi dr. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman, wali kota Surabaya
dari PKI, berdasarkan foto dokumentasi Purnawan Basundoro, dosen ilmu sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya. (Betaria Sarulina/Historia).
Alun-alun contong berada tak jauh dari pertemuan Jalan
Pahlawan dan Jalan Kramat Gantung, Surabaya, sekitar 600 meter dari Tugu
Pahlawan. Kini, kawasan ini lebih dikenal dengan daerah Baliwerti.
Alun-alun contong dibentuk pada abad ke-19, saat bangunan kampung dikorbankan
untuk membangun terusan Jalan Gemblongan ke arah utara sebagai tembusan dengan
ujung selatan Pasar Besar (kini Jalan Pahlawan).
Nama contong diambil dari tugu berbentuk kerucut
atau contong yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Namun, ada
juga yang menyebut karena denah tanahnya berbentuk kerucut.
Menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa
Tempo Doeloe, pada 1889, lapangan ini diberi nama Von Bultzingslowenplein,
diambil dari nama Gunther von Bultzingslowen (1839-1889), mantan konsul Jerman
di Surabaya. Ia berjasa terhadap Palang Merah Belanda dalam Perang Aceh I
(1878-1874).
"Tugu di tengah alun-alun dibangun untuk memperingati jasanya. Tugu yang berdiri sampai tahun 1960-an ini berbentuk kerucut atau contong. Itulah sebabnya, lokasi ini oleh rakyat disebut alun-alun contong," tulis Olivier.
Menurut Sarkawi B. Husain, dosen ilmu sejarah Universitas
Airlangga, Surabaya, dalam Negara di Tengah Kota, Politik Representasi dan
Simbolisme Perkotaan: Surabaya, 1930-1960, proses penghancuran monumen
Bultzingslowen tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi, pada saat Moerachman,
menjabat wali kota Surabaya (1964-1965), monumen ini akan dirobohkan dan
diganti dengan tugu petani.
Profil Moerachman terdapat dalam Gema Dewan
Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Propinsi Djawa-Timur. Disebutkan bahwa
Moerachman lahir pada 25 November 1929 di Bentjuluk, Banyuwangi. Dia mengenyam
pendidikan SMA bagian B. Pada masa revolusi kemerdekaan, dia bergabung dengan
Polisi Militer (1946), komandan Batalion 400 Tentara Pelajar di
Besuki (1946/1947), komandan Operasi di Sektor TRIP daerah Gunung Argopuro dan
Komandan Operasi Sektor III/a. Kes. Co. Kawi Selatan pada masa agresi militer
Belanda I dan II.
Moerachman kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. Dia sempat menjabat ketua senat mahasiswa kemudian sekretaris I
dewan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia aktif dalam organisasi
CGMNI dan pernah memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Mahasiswa
Asia-Afrika di Bandung.
Moerachman dari nonpartai dicalonkan oleh PKI
sebagai anggota DPRD Peralihan Provinsi Jawa Timur dan tergabung dalam Fraksi
Progresif. Pemilihan umum lokal memilih anggota DPRD yang definitif untuk
menggantikan DPRD Peralihan dilakukan pada 26 Juli 1957. PKI keluar sebagai pemenang.
Partai lain menuduh PKI curang. Pemilihan ulang diadakan pada 25 Februari 1958
yang tetap dimenangkan oleh PKI.
Setelah sususan DPRD Kota Surabaya terbentuk, maka
diadakan pemilihan wali kota untuk menggantikan Raden Istidjab
Tjokrokoesoemo yang memasuki masa pensiun. Kader PKI, dr. Satrio Sastrodiredjo,
dokter lulusan NIAS Surabaya (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga), terpilih sebagai wali kota Surabaya periode 1958–1963.
Setelah masa jabatannya habis, Satrio diangkat menjadi wakil
gubernur Jawa Timur. Dia digantikan oleh Moerachman sebagai wali kota
Surabaya. Dia ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno atas usulan dari PKI dan
SOBSI Kota Surabaya. Dengan demikian, selama dua periode berturut-turut wali
kota Surabaya berasal dari PKI.
Tugu Gunther von Bultzingslowen di alun-alun contong. (ebay.com).
Tugu Pak Sakerah
Sewaktu menjabat wali kota Surabaya, Moerachman sempat
merencanakan pembongkaran monumen Bultzingslowen dan menggantinya
dengan tugu petani sebagai bentuk penghormatan kepada para petani.
"Baiklah kalau tugu kolonial yang terletak di alun-alun contong yang hingga kini masih tegak berdiri diganti dengan tugu petani. Bentuk dari petani tersebut akan diwujudkan sebagai Pak Sakerah dengan celana panjang dan sarung dibebankan. Wujud tersebut selain mengingatkan pada Pak Sakerah yang berjuang melawan Belanda, juga wujud dari pakaian itu yang sering kita jumpai pada petani di Madura," kata Moerachman dalam sambutan acara peringatan Hari Wanita Internasional, sebagaimana dikutip Surabaja Post, 11 Maret 1964.
Menurut Sarkawi, meskipun bukan anggota PKI (nonpartai), Moerachman memiliki
hubungan dekat dengan partai yang memperoleh suara terbanyak di Kota
Surabaya pada Pemilu 1955 itu. Oleh karena itu, tujuan
penggantian tugu kolonial menjadi tugu Pak Sakerah merupakan gambaran
perjuangan PKI yang membela kaum buruh dan tani.
Sayangnya, pembangunan tugu Pak Sakerah tidak sempat
terwujud. Penyebabnya, setahun setelah Moerachman menyampaikan
gagasannya meletus peristiwa G30S. Peristiwa ini menyebabkan dia
diberhentikan sebagai wali kota Surabaya.
“Oleh karena itu, kalau kita jalan-jalan ke alun-alun contong yang kita temukan saat ini adalah patung perjuangan, bukan patung Pak Sakerah,” tulis Sarkawi.
Moerachman ditahan di penjara Kalisosok, kemudian
dibunuh dan dihilangkan. Sampai sekarang tidak diketahui makamnya.
Militer kemudian mengambil alih posisi wali kota
Surabaya. Letnan Kolonel Soekotjo, Komandan Korem Surabaya, menjabat wali
kota Surabaya dua periode (1965–1974).
Foto dr. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman (dilingkari merah)
dipasang bersama wali kota Surabaya sejak tahun 1916 sampai Tri Rismaharini, di
Museum Kota Surabaya. (Dok. Purnawan Basundoro).
Foto yang Hilang
Menurut Purnawan Basundoro, dosen ilmu sejarah
Universitas Airlangga, Surabaya, selama masa Orde Baru, apapun yang memiliki
hubungan dengan PKI dilarang ditampilkan di ruang-ruang publik. Demikian pula
dengan foto Satrio dan Moerachman. Foto keduanya tidak pernah dipasang dalam
deretan foto-foto wali kota Surabaya, baik di buku-buku maupun di gedung-gedung
pemerintah Kota Surabaya. Hingga kekuasaan Orde Baru runtuh, semua wali kota
Surabaya tidak ada yang berani memasang foto dua wali kota itu.
Pada 2004, saat audiensi dengan Wali Kota Surabaya
Bambang D.H., Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dimintai pendapat
mengenai dua foto wali kota tersebut.
"Saya sempat menjelaskan bahwa sebaiknya kedua foto wali kota itu tetap terpasang, karena terlepas dari latar belakang politik mereka, mereka bagian dari sejarah pemerintah Kota Surabaya. Jangan dibiarkan ada pemutusan mata rantai sejarah. Namun pendapat itu tidak serta merta menjadikan foto keduanya terpasang," kata Purnawan.
Pada 2012, Purnawan sempat membicarakan dua foto wali
kota yang tak pernah terpasang itu dengan Ketua Badan Perpustakaan dan Arsip
Kota Surabaya, Arini Pakistyaningsih. Dia sempat agak bingung karena tidak
pernah menemukan dua foto wali kota tersebut.
"Pada kesempatan itu saya bilang bahwa saya memiliki foto-foto dimaksud, yang saya peroleh ketika melakukan riset untuk disertasi saya. Akhirnya, saya sempat memberi file foto dimaksud," kata Purnawan.
Pada Mei 2015, pemerintah Kota Surabaya meresmikan Museum
Kota Surabaya di gedung bekas perbelanjaan Siola. Pada saat berkunjung ke
museum tersebut, Purnawan terkejut karena dua foto wali kota, Satrio dan
Moerachman, terpasang berderat dengan foto-foto wali kota Surabaya lainnya
sejak masa kolonial sampai sekarang. Pemasangan foto tersebut kemungkinan besar
sudah seizin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
"Melalui deretan lengkap foto-foto wali kota Surabaya sejak masa kolonial sampai saat ini, dengan tanpa meninggalkan dua foto wali kota yang sebelumnya tidak pernah terpasang, tampaknya pemerintah Kota Surabaya dan masyarakat Kota Surabaya mencoba berdamai dengan masa lalunya yang pernah terpenggal dan menjadi borok pada masa Orde Baru," kata Purnawan.
0 komentar:
Posting Komentar