13 February 2020 | Ruth Indiah Rahayu
Ilustrasi oleh Jonpey. Karya-karyanya dapat dijumpai di sini.
“Sedjak pagi2 pada 17 Djanuari 1962, Gedung PB Front
Nasional didatangi berdujun-dujun sukarelawan untuk melaksanakan komando
rakjat. Kami, wanita yang bergabung dalam Gerwani djuga tak ketinggalan siang
hari berdatangan memenuhi ruang dalam Gedung Front Nasional……. Wakil Gerwani
menjerahkan sedjumlah besar formulir pada Front Nasional dan menjatakan siap
sedia djuga untuk mendapatkan latihan2 jang diperlukan (….) (Api Kartini,
Januari 1962)
API KARTINI edisi Januari 1962 terbit penuh gelora.
Cuplikan kalimat di atas merupakan paragrap awal dari reportase bertajuk
“Pendaftaran Sukarelawan Untuk Membebaskan Irian Barat”. Reportase itu
menunjukkan sikap Gerwani dalam mendukung kebijakan Presiden Soekarno untuk
menanggapi serangan Belanda pada 15 Januari 1962 terhadap Angkatan laut RI.
Kaum perempuan diminta memberikan dorongan kepada suami,
anak, bahkan dirinya sendiri untuk menjadi sukarelawan pembebasan Irian Barat.
Sebagai catatan, dalam banyak bagian di tulisan ini saya tetap menggunakan istilah
Irian Barat sesuai masanya. Istilah “pembebasan”, sekalipun sangat problematis,
juga akan digunakan mengingat konteks zamannya serta sebagai nama resmi
kampanye pemerintahan Sukarno.
Saat itu Gerwani merupakan satu-satunya organisasi
perempuan yang memelopori mobilisasi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat.
Tindakan itu mendapat pujian dari Ibu Hurustiati (isteri Soebandrio, Wakil
Pedana Menteri) yang saat itu menjadi Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).
Dilihat dari situasi hari ini, mobilisasi sukarelawan
untuk pembebasan Irian Barat tentu dapat mengundang kegusaran banyak pihak. Di
satu sisi, kita memiliki kebiasaan berpikir yang anakronistis, yaitu
menganalisasi peristiwa tidak seturut konteks waktu-ruang pada masanya dalam
membaca sejarah. Di sisi lain, kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk konflik
dan kerusuhan, penangkapan aktivis Papua dan pembela Papua adalah fakta-fakta
keras yang tidak bisa diabaikan.
Adalah relevan untuk dipertanyakan untuk apa waktu itu
pemerintah Indonesia menggelar operasi militer di Irian Barat, jika dalam
perjalanannya sumber daya alam dan manusia Papua hanya dieksploitasi, dibiarkan
marginal dalam proses transisi modernitas. Namun, tulisan ini tidak bermaksud
menganalisis proyek politik pembebasan Irian Barat dan warisan bom waktunya
pada Papua hari ini. Tulisan ini bermaksud untuk menelisik basis
argumentasi mengapa Gerwani cukup aktif dalam mobilisasi sukarelawan untuk Irian
Barat dan gerakan solidaritas anti-imperialisme lainnya.
Gerakan Era Perang
Dingin
Barangkali kita sudah mulai lupa terhadap era Perang
Dingin yang pernah terjadi dalam sejarah dunia sebagai kontestasi kekuatan
militer, ekonomi-politik, dan teknologi antara blok “Barat” yang disebut
“kapitalis” dan dipimpin oleh AS versus blok “Timur” yang disebut “sosialis”
dan dipimpin oleh Uni Soviet. Perang Dingin dimulai setelah periode fasisme
Nazi Jerman dan Jepang berakhir, hingga tersisa dua blok besar tersebut beserta
kroni-kroninya.
Pada 1947 Presiden AS Harry S. Truman mencetuskan sebuah
doktrin (yang kelak dikenal sebagai “Doktrin Truman”) untuk mengendalikan
ekspansi Uni Soviet (komunisme internasional). Salah satu bunyi doktrin
tersebut adalah “mendukung masyarakat dunia yang bebas” berdasarkan asumsi
bahwa politik komunisme internasional yang digaungkan Uni Soviet bersifat
totaliter dan memberangus kebebasan. Saat itu Doktrin Truman diwujudkan secara
internasional dengan membantu Yunani dan Turki agar tidak terjatuh ke dalam
hegemoni Uni Soviet.
Perang Dingin memang bukan perang terbuka. Perang itu
dilakukan atas nama solidaritas membantu negara lain yang sedang berada dalam
ancaman AS maupun Uni Soviet. Menurut Prasenjit Duara,[1] tatanan Perang Dingin
muncul dari rekonfigurasi ulang sejarah panjang imperialisme dan nasionalisme
selama abad ke-19 hingga 20.
Persaingan Perang Dingin memberikan kerangka rujukan di
mana hubungan baru antara imperialisme dan nasionalisme berusaha mengakomodasi
perkembangan dekolonisasi dan revolusi hak-hak global. Namun, pada gilirannya,
akomodasi ini menghasilkan perkembangan multikulturalisme, militerisme, ideologi
baru, dan mode pembentukan identitas, sehingga menghasilkan sebuah konstelasi
atau konfigurasi.
Konfigurasi itu pun kemudian berkembang, berubah yang
dipengaruhi oleh faktor sejarah lainnya termasuk ras, jenis kelamin, kelas, dan
agama.
Hubungan antara imperialisme dan nasionalisme tidak
seluruhnya dalam kontradiksi ataupun interaksi. Malaysia dan Inggris berkembang
dalam interaksi imperialisme dan nasionalisme yang kepentingannya dapat
berjalan sejajar, sementara Indonesia dan Belanda dalam kontradiksi imperialisme
dan nasionalisme. Itu sebabnya dalam konteks dekolonisasi, wilayah-wilayah yang
diklaim “milik” Belanda harus direbut untuk menjadi milik nasional Indonesia.
Wilayah Irian Barat termasuk dalam sengketa sejak Konferensi Meja Bundar (KMB)
pada 1949.
Dimas Dwi Kurnia (2019) telah menulis “Peranan Gerwani
Dalam Pembebasan Irian Barat 1950-1963” dalam Jurnal Prodi Sejarah, Universitas
Negeri Yogyakarta, menjelaskan bahwa peristiwa pembebasan Irian Barat harus
ditarik ke masa Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Dalam perjanjian KMB untuk pertama kalinya dibahas urusan
Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Kedua negara, mantan penjajah dan
jajahan, berbeda pendapat.
Menurut Indonesia, kedaulatan Indonesia meliputi tanah
bekas jajahan Belanda, yang sebelumnya disebut Hindia Belanda, hingga termasuk
Irian Barat. Sementara Belanda memperlakukan Irian Barat bukan sebagai Hindia
Belanda dan karena itu menolak menyerahkannya kepada Indonesia. Perbedaan
pendapat itu selanjutnya mewariskan masalah berkepanjangan di masa depan.
Pelbagai upaya dilakukan Indonesia, termasuk membentuk
Komisi Gabungan untuk melakukan penyelidikan di Irian Barat dan diplomasi
internasional. Hingga pada 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Trikora
(Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta. Politik Soekarno saat itu penuh gaung
anti-imperialisme. Ia menggalang organisasi-organisasi massa, termasuk Gerwani
untuk mendukung gerakannya.[2]
Politik
Internasional Anti-Imperialisme Gerwani
Selama dekade pasca-kemerdekaan sampai 1960-an, sikap
politik Gerwani dalam menderaskan gaung anti-imperialisme sangat militan. Sikap
politik ini didasarkan pada solidaritas nasional dan internasional untuk
menciptakan perdamaian. Yang dimaksud menciptakan perdamaian di sini adalah
ikut serta mengganyang imperialisme yang menciptakan penindasan dan
ketidakdamaian dalam sanubari rakyat tertindas di seluruh dunia, termasuk di dalam
negeri. Sikap anti-imperialisme seperti itu tidak tersurat dinyatakan oleh
organisasi perempuan lainnya, baik dalam kata dan maupun tindakan politik.
Dalam konteks solidaritas internasional
anti-imperialisme, Gerwani menjadi anggota Women International Federeration
Democratic (WIDF) yang didirikan di Paris pada 1945. Dalam masa perang dingin
1947-1991, ketika tegangan politik dan militer antara “dunia Barat” yang
dipimpin oleh AS versus “dunia sosialis” yang dipimpin oleh Uni Soviet
memuncak, federasi perempuan internasional ini cenderung memberikan solidaritas
kepada negara-negara sosialis dan bekas jajahan. Keikutsertaan Gerwani di
dalamnya memenuhi kriteria sebagai organisasi perempuan dari negara bekas
jajahan yang masih tetap memperjuangkan anti-imperialisme.
Sikap politik anti-imperialisme itu ditunjukkan dalam
pidato Umi Sardjono selaku Ketua Umum Gerwani pada Kongres Gerwani ke-3 pada
1962. Ia menegaskan program politik internasional Gerwani meliputi: (1)
Membangun Front Internasional Anti-imperialis, (2) Mengembangkan solidaritas
perempuan NEFO (New Emerging Forces), (3) Melawan revisionis dalam gerakan
perempuan internasional yang pasifis (menciptakan perdamaian tanpa membela
negara yang sedang perang melawan imperialis).[3]
Dalam pidatonya itu, Umi Sardjono menggambarkan situasi
imperialis dunia: AS melakukan agresi dan teror berdarah ke Amerika Latin,
Korea, Jepang, dan Vietnam Selatan. Di Vietnam Selatan, AS melakukan penyebaran
racun-racun di ladang tani dan menjadikan petani sebagai kelinci percobaan
nuklir di Korea Selatan, lalu mencampuri urusan dalam negeri Panama dan
Venezuela. Sebagai salah satu titik wilayah kontradiksi pokok dunia, di Asia
Tenggara telah berkobar perjuangan rakyat yang sengit melawan berbagai bentuk
imperialisme dan neokolonialisme.
Sebagai gerakan perempuan yang berkedudukan di Asia
Tenggara, Gerwani berkewajiban meningkatkan kegiatannya dalam memenangkan
revolusi-revolusi rakyat di Asia Tenggara. Selain itu Gerwani mendukung
perjuangan kaum perempuan di Kuba, Jepang, Korea, Laos, Kamboja, Vietnam
Selatan, yang dengan gigih pantang mundur melawan imperialisme AS.[4]
Pada 1963 Gerwani telah menyelenggarakan pertemuan
persahabatan dan mempopulerkan perjuangan heroik rakyat Kuba, Korea, dan
Vietnam ke daerah-daerah di Indonesia. Gerwani juga menyambut misi Front
Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan yang dipimpin oleh Prof. Nguyen Thin
Binh di Indonesia.[5]
Namun, Gerwani menyayangkan sikap WIDF belakangan menjadi
revisionis, menghindari perjuangan anti-imperialis dan hanya menitikberatkan
pada perjuangan perempuan untuk perdamaian berdasarkan prinsip “damai untuk
damai”. Padahal, “tak mungkin perdamaian terjadi selama imperialisme ada,
membunuh pejuang-pejuang kemerdekaan, dan masih membuat perang di mana-mana”.
Imperialisme membuat perempuan menderita, maka perjuangan melawan imperialisme
adalah membebaskan perempuan dari penderitaan.[6]
Bagi Gerwani, pengaruh revisionisme yang menjangkiti
gerakan perempuan internasional telah merusak dan melemahkan gerakan emansipasi
revolusioner, dan karena itu harus dilawan dengan keras. Solidaritas
antar-rakyat yang berjuang melawan imperialisme hanya mungkin jika disertai
perjuangan melawan revisionisme dalam gerakan perempuan. Gerwani telah
mengadakan kunjungan ke Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, Bulgaria, Kuba,
Korea Utara, dan juga menerima kunjungan gerakan perempuan dari Uni Soviet,
Cekoslovakia dan Hongaria, untuk saling memperkuat dukungan kepada perjuangan
melawan imperialisme.[7]
Politik Nasional
Anti-Imperialis Gerwani
Api Kartini edisi No.20/1962 melaporkan bahwa Ibu
Sundari Surachman dan Ibu S. Hanafi menjadi delegasi Gerwani untuk mengikuti
Musyawarah Internasional Wanita untuk Pelucutan Senjata pada 23-26 April 1962
di Wina, Austria. Pertemuan itu membahas perjuangan untuk kemerdekaan nasional
dan pelucutan senjata imperialis. Indonesia, Vietnam, dan Laos merupakan negara
yang menjadi sorotan. Khusus mengenai Indonesia, peserta delegasi dari pelbagai
negara memberikan dukungan solidaritas melalui Gerwani untuk perjuangan
pembebasan Irian Barat.
Bahkan Ny. Gloria Gaston, delegasi WIDF dan anggota dari
Persatuan Wanita Australia, telah menulis dan dimuat dalam Australia
Tribune (lalu dikutip oleh Harian Rakyat dan dimuat dalam Api
Kartini, 1962) bertajuk “Irian Barat Masalah Jang Paling Penting”. Ny. Gaston
berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri Kongres Gerwani ke-4, 14-17
Desember 1961 di Jakarta. Selain itu Ny. Gaston mendapat kesempatan untuk
keliling desa di Pulau Jawa dan bertemu dengan banyak perempuan desa.
Menurutnya, pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda merupakan hal
besar dan penting bagi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu Ny. Gaston memberikan
dukungan bagi perjuangan pembebasan Irian Barat.
Bagi Gerwani, dukungan untuk pembebasan Irian Barat
merupakan kelanjutan dari perjuangan kemerdekaan (nasionalisme) yang belum
tuntas. Revolusi nasional itu bahkan masih harus dilanjutkan dengan revolusi
sosial bagi kemerdekaan rakyat tertindas. Sikap politik anti-imperialisme dan
kerja-kerja bagi pelayanan perempuan (dan anak) maupun pencegahan perkawinan
muda, anti-poligami, memperjuangkan hak kesejahteraan buruh dan petani
perempuan berjalan paralel.
Kemiskinan perempuan terjadi dalam konteks kolonialisme
dan imperialisme, di mana ide-ide ini berkawin dengan pemasungan hak perempuan
dalam perkawinan (rumah tangga).
Jadi, Gerwani pada masa itu masih berpandangan bahwa
kolonialisme/ imperialisme eksis dalam wujud kekuasaan Belanda di Irian Barat.
Mengutip artikel di majalah Anthropological Quarterly dari AS, sebuah
artikel di Api Kartini menggambarkan bahwa:
Pembesar Belanda, antara lain mengusir suku Muju sebanyak
13.000 djiwa yang semula tinggal di pesisir Barat Daya, Irian Barat. Tjara
mengusirnya adalah kedjam tanpa perikemanusiaan, jaitu polisi pada waktu-waktu
tertentu menghantjurkan gubuk-gubuk bangsa Irian di tengah-tengah hutan. Lalu
ternak-ternak dibinasakan. Orang Irian dipaksa bekerdja sebagai budak belian, sedangkan
orang jang tidak mau menurut didjebloskan ke dalam pendjara. Tindakan itu
berakibat bahwa suku bangsa tersebut mati kelaparan….Djika diingat bawah dalam
praktek-praktek jang demikian itu ada banjak kaum wanita dan anak-anak
(….) (Api Kartini, No 2, Tahun IV, Februari 1962)
Dengan demikian agenda Gerwani untuk mobilisasi umum bagi
sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat adalah bagian penyelesaian kontradiksi
era Perang Dingin dalam konteks nasional. Sesungguhnya Gerwani juga menggalang
kekuatan progresif di negeri Belanda agar menarik mundur pasukannya di Irian
Barat.
Kontradiksi Agenda
Feminis Perang Dingin
Selama masa Perang Dingin, agenda gerakan feminis dunia
terpola dalam dua karakter yang kontradiktif. Bagi gerakan feminis di dunia
“Barat” yang “liberal”, khususnya AS, era Perang Dingin atau pasca-Perang Dunia
II adalah masa ketika perempuan dikembalikan ke dalam rumah tangga.
Selama masa Perang
Dunia II, para laki-laki diwajibkan untuk berperang dan kaum perempuan
menggantikan pekerjaan yang mereka tinggalkan.
Setelah perang usai, laki-laki kembali ke pekerjaannya
dan perempuan kembali mengurus rumah tangga. Keadaan penuh domestikasi
perempuan itu telah ditulis oleh Betty Friedan dalam Feminine Mystique (1963).
Pada saat bersamaan, gerakan feminis dari belahan dunia yang blok “Timur”
sedang berjuang untuk nasionalisme dan anti-imperialisme, seperti halnya
Gerwani dan anggota WIDF lainnya.
Meskipun kemudian terjadi ledakan baru gerakan pembebasan
perempuan di AS untuk keadilan gender, melawan kekerasan seksual, rasisme dan
ketimpangan sosial sebagai akibat perubahan sosial di negara tersebut. Sebagian
dari aktivis gerakan pembebasan perempuan di AS ini disebut Gerakan Perempuan
Kiri Baru (sayang sekali di Indonesia, gerakan perempuan Kiri Baru ini mendapat
stigma “gerakan perempuan liberal yang membuka BH mereka!”).
Gerakan feminis Perang Dingin pada dasarnya merupakan
gerakan transnasional, sekalipun terjadi penafsiran yang berbeda-beda dalam
konteks nasional. Organisasi perempuan internasional, seperti WIDF yang
agendanya membangun solidaritas anti-imperialisme kontradiktif dengan agenda
International Council of Women (ICW) yang berdiri pada 1888 di Washington D.C.
Selama Perang Dingin, ICW memperjuangkan agenda-agenda
liberal seperti hak sipil perempuan. Organisasi ini mewakili agenda feminis AS
yang berbeda dengan feminis di negara-negara mantan jajahan maupun “blok
Timur”.
Walaupun terdapat kontradiksi antara agenda WIDF dan ICW
selama masa Perang Dingin, tetapi keduanya memberikan sumbangan yang cukup
besar dalam komisi peningkatan status perempuan di PBB hingga terselenggara
konferensi-konferensi perempuan sedunia pada 1975 di Meksiko, konferensi kedua
di Copenhagen pada 1980, dilanjutkan di Nairobi pada 1985, dan di Beijing pada
1995. Tentu saja Gerwani tidak dapat mengikuti konferensi perempuan
internasional yang diselenggarakan oleh PBB tersebut, sebab organisasi ini
telah menjadi korban Perang Dingin. Gerwani dibubarkan dan aktivisnya dipenjara
(dan tak sedikit yang dibunuh) dalam rangkaian paket Doktrin Truman untuk
menghancurkan gerakan-gerakan anti-imperialisme yang dikategorikan sebagai
bagian dari blok Soviet.
Namun, selalu terjadi kelahiran baru di tengah puing
penghancuran. Sejak 1980-an muncul banyak organisasi non-pemerintah yang
menangani pelbagai isu perempuan, yang sebagian dahulu dikerjakan oleh Gerwani.
Hanya saja, isu-isu yang ditangani organisasi perempuan saat ini minus gerakan
anti-imperialisme dan telah digantikan oleh gerakan anti-neoliberalisme yang
lebih “akademis” ketimbang gerakan massa dalam solidaritas internasional.
Mungkin karena itulah dalam konteks masalah Papua saat
ini, kita lebih banyak menyatakan persoalan pelanggaran HAM–meskipun memang
tepat—daripada meletakkan pada gerakan menolak neo-imperialisme yang menguasai
Papua dalam bentuk ekspansi industri ekstraktif.
Perang Dingin memang telah berlalu, tetapi
neo-imperialisme selalu memperbarui dirinya. Hari ini, kita memang perlu
kembali mengevaluasi kembali peran Gerwani dan kaum komunis dalam perebutan
Irian Barat (apakah mereka telah mengantisipasi dampak jangka panjang dari kampanye
tersebut? Bagaimana hubungan mereka dengan masyarakat asli Papua? dsb). Di luar
itu, kerja-kerja Gerwani dalam platform anti-imperialisme saat itu perlu
ditengok lagi oleh gerakan feminis hari ini.
***
[1] Prasenjit Duara, “The
Cold war as a Historical Period: An Interpretative Essay”, artikel ini diunduh
dari http://www.fas.nus.edu.sg/hist/doc/duara pada
5 Februari 2020
[2] Dimas Dwi Kurnia,
“Peranan Gerwani Dalam Pembebasan Irian Barat”, Jurnal Prodi Ilmu Sejarah,
Vol. 4, Nomor 1, Tahun 2019, Univesitas Negeri Yogyakarta
[3] Laporan Umi Sardjono,
Ketua Umum DPP Gerwani ke Sidang Pleno ke-3, 1964, hal 15-20
[4] Laporan Umi Sardjono,
hal 15
[5] Laporan Umi Sardjono,
hal 16
[6] Laporan Umi Sardjono,
hal 18
[7] Laporan Umi Sardjono,
hal 19
0 komentar:
Posting Komentar