Farid
Gaban - 24 Februari 2020
Banyak yang belakangan risau tentang maraknya pseudo-science serta menguatnya argumen
agama untuk menjelaskan fenomena sehari-hari.
Renang di kolam bisa membuat perempuan hamil? Virus
corona azab dari Allah dan bisa diobati lewat rukyah?
Orang juga kuatir tentang rendahnya literasi sains di
Indonesia, tak hanya di kalangan orang awam, tapi bahkan juga di kalangan orang
terdidik serta pejabat publik.
Menurutku, Indonesia masa kini sebenarnya sedang menuai
metode cuci otak yang diterapkan di lingkungan akademis (sekolah dan kampus)
sejak 1980-an. Ini merupakan buah dari hancurnya kebebasan akademis serta
ambruknya wibawa mimbar akademis.
Pada era Orde Baru kita mengenal program
"normalisasi kampus", menyusul luasnya demonstrasi mahasiswa
menentang rezim. "Normalisasi kampus" adalah eufemisme dari
"menjinakkan kampus"; supaya mahasiswa tidak melawan pemerintah.
Diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Daoed Joesoef,
program ini pada prinsipnya mendorong kampus semata menjadi pabrik tenaga
kerja. Daya kritis dan kepekaan sosial mahasiswa dikebiri. Bahkan kemerdekaan
kampus, yang disimbolkan oleh kewibawaan senat gurubesar, juga diruntuhkan.
Mimbar akademis dipancung antara lain dengan cara
menjadikan para rektor dan gurubesar sekadar kepanjangan birokrat Kementerian
Pendidikan. Kebebasan akademis makin luntur. Rektor, yang dulu merupakan
wilayah hak prerogatif senat gurubesar, belakangan ikut dipilih oleh menteri,
dengan selera politik.
Diskusi-diskusi di kampus, termasuk bedah buku dan bedah
kasus, lebih diarahkan pada tema keilmuan sempit atau keprofesian. Terlarang
mendiskusikan politik maupun masalah sosial (seperti penggusuran, ketimpangan,
ketidakadilan dan kerusakan alam).
Mendiskusikan Marxisme, misalnya, diharamkan; sementara
kapitalisme diterima dan diajarkan secara otomatis (by default).
Organisasi serta kegiatan mahasiswa dibatasi ruang
geraknya, hanya yang berkaitan dengan seni, olahraga serta keagamaan. Banyak
aktivis yang kuat aspirasi politik dan peka sosial harus menyuruk ke bawah
tanah, menggunakan wadah-wadah pengajian untuk beraktivitas serta
menyebarluaskan gagasan.
Tidak heran jika bahkan di sekolah dan kampus negeri,
organisasi seperti OSIS digantikan oleh Rohis (remaja Islam), serta dewan
mahasiswa digantikan BEM yang secara umum lebih mewakili aspirasi mahasiswa
Islam saja.
Sejumlah kalangan, termasuk pejabat Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyebut banyak universitas terpapar
"paham radikalisme". Bahkan jika ada benarnya, sinyalemen ini keliru
diagnosis.
"Radikalisme" (jika ada) merupakan akibat,
bukan sebab; dia merupakan buah dari hilangnya daya kritis. Fanatisme adalah
kawan karib dari keengganan berdialog serta menguji kritis pandangan seseorang.
Dan fanatisme (bukan hanya berbasis agama, tapi juga
fanatisme politik) tumbuh subur ketika kampus sendiri kehilangan kebebasan
ilmiah/akademis.
Polarisasi politik kampus atas dasar suka-tak-suka
politisi idola adalah salah satu wujud ambruknya pertimbangan-pertimbangan
ilmiah.
Bermula pada masa Orde Baru, "penjinakan
kampus" berlanjut ke era Reformasi. Bahkan ketika hari-hari ini Menteri
Pendidikan hanya cenderung melihat kampus sebagai pabrik tenaga kerja belaka.
Dulu kampus tunduk pada politik (Orde Baru), kini tunduk
para kekuasan kapital (korporat).
Runtuhnya kebebasan akademis di kampus bukan cuma
kesalahan birokrat pemerintah. Tapi, juga para gurubesar yang rela
kewibawaannya ditempatkan di bawah selera politik dan birokrasi.
Atau lebih konyol, para dosen dan profesor yang pada
dasarnya merupakan hasil dirikan era Orde Baru itu, ikut-ikutan memberangus
daya kritis serta kepekaan sosial para mahasiswa.
Membicarakan literasi sains harus dimulai dari menegakkan
kembali kewibawaan kampus sebagai lembaga ilmiah yang punya kemerdekaan
akademis.
***
poker online dengan pelayanan CS yang baik dan ramah hanya di AJOQQ :D
BalasHapusayo di kunjungi agen AJOQQ :D
WA;+855969190856