Oleh Randy Wirayudha
Hanung meracik karya Pramoedya Ananta Toer ala kekinian. Imbasnya berbelok dari keotentikan novelnya.
Judul: Bumi Manusia | Sutradara: Hanung Bramantyo | Produser: Frederica | Pemain: Iqbaal Ramadhan, Mawar Eva de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, Giorgino Abraham, Jerome Kurnia, Peter Sterk, Robert Alexander Prein, Chew Kin Wah, Christian Sugiono | Produksi: Falcon Pictures | Genre: Drama | Durasi: 172 Menit | Rilis: 15 Agustus 2019
MODERNISASI dan cinta. Minke (diperankan Iqbaal Ramadhan) mengalami kegalauan akut terhadap hidup yang dipilihnya dan berkelindan dengan dua hal itu. Di satu sisi ia seorang anak bupati yang mengenyam pendidikan Eropa: bersekolah dengan anak-anak Belanda dan Indo (blasteran bumiputra dengan Eropa) pada zaman peralihan. Di sisi lain cintanya kandas karena aturan kolonial yang sangat rasialistis akhir abad ke-19.
Setidaknya begitu gambaran yang disuguhkan sineas Hanung Bramantyo dalam Bumi Manusia. Film drama yang diangkat dari tetralogi pertama Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer bertajuk sama. Karya sastrawan yang disebutkan Hanung, sebagai karya yang acap dibaca secara sembunyi-sembunyi di masa Orde Baru.
Memang Hanung tak menyertakan periode waktu. Namun soal era sangat nampak lantaran Minke salah satu pemuda HBS Hogere Burgerschool (setara SMP-SMA) Surabaya yang turut antusias melihat perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu Belanda, 6 September 1898.
Tetapi di lain pihak, Minke melihat sendiri bagaimana dampak modernisasi yang masuk ke Hindia Belanda di masa itu. Mulai dari kapal uap, kereta api uap, hingga teknologi komunikasi telegraf dan telegram. Serbuan teknologi Eropa yang kian memisahkan jurang antarkelas di kehidupan sosial Hindia Belanda. Betapa makin kuat penindasan yang terasa antara kelas Eropa dan bumiputra.
Sementara itu dari sesama kawan HBS-nya pula, Robert Suurhof (Jerome Kurnia), ia mengenal bidadari Indo, Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Tidak butuh waktu lama untuk Minke jatuh hati. Dalam selingan kisah asmara keduanya itu pula Minke melihat kenyataan yang tak biasa.
Bahwa ibu Annelies yang seorang nyai, Ontosoroh alias Sanikem Sostrotomo (Sha Ine Febriyanti), justru yang memegang kendali sebuah bisnis perkebunan, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo milik pasangan sang nyai seorang Belanda, Herman Mellema (Peter Sterk).
Herman justru lebih banyak foya-foya. Mabuk-mabukan hampir saban hari di rumah pelesir Baba Ah Tjong (Chew Kin Wah). Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak Annelies, setali tiga uang. Enggan meneruskan sekolah dan memandang hina Minke sebagai kalangan bawah bumiputra.
Hubungannya dengan gadis Indo itu turut jadi perhatian orang tua Minke yang seorang Bupati Bojonegoro. Ayah Minke (Donny Damara), menegurnya dengan keras karena menganggap Minke meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Sementara Minke hanya bisa curhat pada ibunya: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas yang hidup di bumi manusia dengan segala perkaranya”.
Kembali ke Wonokromo, Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya. Tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang “terperintah” (bumiputra) dan “memerintah” (Eropa). Baik soal kasus kematian Herman Mellema dan hak asuh Annelies dan harta waris Herman yang digugat putra Herman dari istri pertama, Maurits Mellema (Robert Alexander Prein).
Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri film berdurasi 172 menit yang akan tayang resmi di bioskop-bioskop tanah air mulai 15 Agustus 2019. Film yang menurut Hanung sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia saat ini.
“Film ini bercerita tentang kata modern pertama kali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relatedengan kaum milenial karena kata-kata milenial sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini. Tonton film ini karena film ini berbicara tentang Indonesia pada masa masih embrio,” ujar Hanung kepada Historia di sela gala premier selebritas Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/2019) malam.
Blunder Film
Hanung mengakui proyek filmnya merupakan film “berat”. Ia menggali dari nol novel Pram untuk bisa meramunya hingga bisa diterima kaum milenial yang dirasa sulit menerima film dengan bobot berat. “Tantangannya adalah waktu. Untuk mendapatkan karakter Minke, sakitnya Minke itu tidak bisa 2-3 bulan, harus tahunan tapi mana ada waktunya,” lanjutnya.
Mungkin faktor itulah yang akhirnya menuai beberapa kritik. Padahal filmnya dimulai dengan mendongkrak emosi via pemutaran lagu “Indonesia Raya”. Juga digambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tengah serbuah modernitas. Plus sisipan tembang menyentuh “Ibu Pertiwi” yang dibawakan Iwan Fals.
Pun dengan komitmen para aktornya yang membawakan multibahasa di filmnya, mulai dari bahasa Jawa, Belanda, Prancis, Cina hingga Jepang. Sayangnya tak diikuti bahasa Melayu yang jadi “bahasa pemersatu” kaum bumiputra saat itu, melainkan hanya bahasa Indonesia baku belaka. Membuat suasana filmnya sangat milenial meski menggerogoti keotentikan karya Pramoedya.
Meski dinamika naik-turun alur filmnya tetap ada, namun setengah durasi ke belakang justru terasa membosankan. Belum lagi runyamnya beberapa detail properti. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka – senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu musketeer dari Prancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko.
Itu jika dibandingkan dengan sejarah aslinya di era itu. Masalahnya beberapa kejadian juga menyeleweng dari novel Pram sendiri, Bumi Manusia. Dalam novelnya, saat Minke disatroni polisi untuk dijemput, perlakuan agen polisinya nampak kasar. Padahal pada novelnya digambarkan Minke dijemput dengan perlakuan sopan, mengingat Minke anak bupati. Surat pemanggilannya pun bertuliskan “Karesidenan Bodjonegoro”, bukan Kabupaten Bodjonegoro lantaran ayahnya si bupati lah yang memanggilnya.
Di novel Pram juga Minke menjelaskan asal-usul namanya yang bersumber dari hinaan gurunya semasa ELS (De Europeesche Lagere School). Mungkin dalam dialognya Iqbaal yang memerankan Minke kepeleset lidah bahwa panggilan itu berasal dari guru sekolah HBS. Hanung juga melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat dikaguminya semasa ELS.
Lantas di adegan Minke disuruh jalan jongkok sebelum menghadap ayahnya di pendopo kabupaten. Orang yang menyuruhnya adalah abdi dalem pendopo. Padahal dalam novel, yang menyuruh Minke jalan jongkok adalah agen polisi yang mengantarnya dari Surabaya ke Bojonegoro.
Dalam film juga tak diputar lagu “Wilhelmus” saat perayaan penobatan Ratu Wilhelmina dan penobatan ayahnya jadi bupati, sebagaimana dituangkan Pram. Dalam pengadilan juga tak nampak adanya jaksa penuntut, di mana sistem hukum kolonial masih sangat serupa dengan saat ini, juga di novel. Nyai Ontosoroh hanya ditekan oleh hakim.
Pun dengan vonis Baba Ah Tjong sebagai peracun Herman Mellema. Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa.
Entah berapa detail dari novel Pram yang berbelok dalam film. Namun, blunder yang dirasa paling terasa adalah, Hanung menyertakan nama Raden Mas (RM) Tirto Adhi (Soerjo), terhitung lima kali dalam film. Jelas-jelas Pram tak pernah menyebut nama Tirto meski Minke adalah “penjelmaan” dari tokoh pers nasional itu. Sedikitnya dalam novel, Pram hanya menyebut RM Minke anak Bupati B (merujuk Bojonegoro).
Soal ini, Hanung membantah bahwa Minke adalah Tirto Adhi Soerjo.
“Ini bukan biografi tentang Tirto Adhi Soerjo. Siapa bilang (Minke adalah Tirto, red.)? Enggak ada yang bilang seperti itu (Minke adalah Tirto)! Pak Pram hanya memudahkan agar supaya karakternya itu hipotesanya enak, makanya dia ambil Tirto Adhi Soerjo. Tetapi Pak Pram sama sekali tak mengatakan ini (Minke) adalah Tirto Adhi Soerjo,” kata Hanung.
Toh, dalam filmnya, lima kali nama Tirto disertakan. Pertama dalam surat pemanggilan Minke dengan kop Karesidenan Bojonegoro. Kedua dalam dialog Minke dengan ayahnya. Ketiga dalam lembaran pengumuman kelulusan HBS sebagai ranking 1 HBS se-Surabaya. Keempat dalam tulisannya di surat kabar pasca alter egonya terungkap. Kelima saat Minke menyodorkan surat nikah resmi secara Islam ke Raad van Justitie untuk membuktikan bahwa dia suami sah Annelies.
Respons Keluarga Tirto Adhi Soerjo
Lantas bagaimana tanggapan keluarga Tirto Adhi Soerjo sendiri? Terkait Minke yang dianggap bukan Tirto Adhi Soerjo namun namanya tetap muncul di beberapa adegan filmnya.
“Kalau bagi saya enggak ada soal. Memang tidak harus sowan ke keluarga besar Tirto Adhi Soerjo karena diambilnya dari Bumi Manusia, bukan Sang Pemula yang biografinya Tirto. Tapi itu kembali ke Hanung sendiri apakah dia merasa harus atau tidak. Bagi saya pribadi Tirto Adhi Soerjo sudah milik anak segala bangsa, siapapun mau menginterpretasikannya, monggo-monggo saja,” kata RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo kepada Historia.
Namun Okky turut salut dengan “strategi” Hanung mengambil Iqbaal Ramadhan untuk memerankan Minke alias Tirto Adhi Soerjo. Nama aktor muda ini tengah menjulang sejak memerankan Dilan dalam Dilan 1990. Kendati memang mulanya pemilihan Iqbaal menuai pro-kontra.
“Ya itu minusnya bahwa di diri Iqbaal masih menempel citra Dilan. Orang akan confuse kenapa Dilan memerankan Minke. Agak jetlag melihatnya. Tapi positifnya adalah Iqbaal sedang naik namanya di kalangan milenial. Kita mau berharap apa kaum milenial tahu Pram? Susah dan berat lho, mungkin kalau mereka magang di Historia, bisa tuh,” tutur Okky seraya bergurau.
Setidaknya dengan “Dilan effect” itu, menurut Okky, jadi pintu masuk generasi milenial untuk memahami sejarah bangsa di masa kolonial.
“Dua poin penting: pertama, anak milenial bisa jadi senang akan sastra yang sesungguhnya, bukan sastra pop. Kedua, mereka jadi aware dengan sejarah bangsa ini. Bahwa di dalamnya mereka jadi mengenal Tirto itu hanya efek samping. Strateginya yang oke juga kalau dikemasnya baik,” tandas Okky.
0 komentar:
Posting Komentar