Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 16 Agustus 2019
Bondan
Kanumoyoso. tirto.id/Lugas
"Perusahaan-perusahaan itu lalu diubah statusnya jadi BUMN. Direksinya diisi tentara [...] Pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu stagnan juga."
Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia pada 1957
dilakukan dengan terburu-buru. Saat itu Indonesia belum memiliki tenaga
profesional yang siap untuk menjalankan perusahaan. Kekosongan tersebut diisi
dengan melibatkan tentara di level kepemimpinan dan manajemen.
Sebenarnya kelompok kiri adalah pihak yang paling
berkehendak menguasai perusahaan yang dinasionalisasi. Apalagi para buruh lah
yang mula-mula melakukan nasionalisasi lewat aksi-aksi mereka. Tapi pemerintah
mencegahnya dengan keterlibatan tentara. Masalahnya, tentara bukan pihak yang
cakap mengelola bisnis. Dan dari situ lah korupsi di tubuh perusahaan milik
negara mulai merajalela.
"[...] ketika tentara yang memimpin, perusahaan juga
tidak jalan. Sama saja, terjadi KKN. Itu memang penyakit karena nasionalisasi
[dilakukan] tanpa kesiapan," tutur Bondan Kanumoyoso, sejarawan dan
pengajar Departemen Ilmu Sejarah FIB UI
Penulis Tirto Fadrik Aziz Firdausi mewawancarai Bondan
Kanumoyoso pada Kamis (8/8/2019). Pada 2001 Bondan menerbitkan buku bertajuk
Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Buku tersebut diangkat dari
tesis masternya di Universitas Indonesia.
Berikut wawancara utuh dengan doktor sejarah lulusan
Universitas Leiden itu.
Literatur yang
khusus membahas peristiwa nasionalisasi perusahaan Belanda 1957-1958 dan dampak
setelahnya sangat minim. Buku yang Anda tulis adalah satu-satunya yang
membahasnya secara khusus. Jadi, bagaimana nilai peristiwa ini dalam sejarah
Indonesia merdeka?
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Merdeka itu, kan, bukan hanya soal politik, tapi juga soal ekonomi,
budaya, sosial, dan aspek-aspek lain. Tapi yang menonjol saat itu memang
kemerdekaan politik. Sehingga ketika merdeka dan menegakkan kedaulatan selama
revolusi, masalah-masalah itu kurang terperhatikan. Baru setelah Konferensi
Meja Bundar (KMB) 1949 isu ekonomi mulai terekspos. Dalam KMB Belanda
memperjuangkan kepentingan ekonominya di Indonesia agar tetap bertahan, karena
kolonialisme Belanda coraknya memang kolonialisme ekonomi.
Gara-gara itu, tujuan proklamasi dan perjuangan Indonesia
dalam KMB untuk menegakkan kedaulatan tidak sepenuhnya tercapai. Kedaulatan
Indonesia di bidang ekonomi patut dipertanyakan. Itu jadi masalah sepanjang
tahun-tahun 1950-an. Isu ini lama-lama jadi besar karena pemerintah sendiri
juga tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan kepada masyarakat.
Puncaknya, masyarakat memutuskan sendiri bahwa persoalan
ini harus segera diatasi. Kemudian inisiatif itu diwujudkan dalam bentuk
pengambilalihan perusahaan Belanda. Dalam konteks itu, nasionalisasi sudah
tentu peristiwa besar. Ini upaya masyarakat menegakkan kedaulatan ekonomi. Ini
tonggak penting.
Jadi, nasionalisasi
ini adalah kebijakan yang berkait dengan hasil-hasil KMB?
Ini memang satu tahap perkembangan. Dalam KMB ada klausul
yang mengakomodasi kepentingan ekonomi Belanda, agar perusahaan-perusahaan
Belanda tidak diganggu. Juga kemudian bank sentral itu harus tetap De Javasche
Bank. Padahal Pemerintah Indonesia sudah mempersiapkan BNI pada 1946 untuk jadi
bank sentral. Jelas gila jika suatu negara berdaulat, kok, bank sentralnya
kepunyaan negara asing.
Jadi sebetulnya Belanda itu tidak memberikan pengakuan
kedaulatan secara utuh. Pengakuan kedaulatan di KMB adalah keterpaksaan Belanda
yang saat itu ditekan secara internasional. Kedaulatan ekonomi itulah yang
kemudian [hendak] direbut.
Lalu, bagaimana
kondisi ekonomi dan pelaku bisnis Indonesia sendiri pada dekade 1950-an?
Ketika Indonesia merdeka, lapisan-lapisan masyarakat
sebenarnya belum siap. Karena selama dihegemoni Belanda, mayoritas masyarakat
Indonesia ada di lapisan bawah. Kolonialisme menyebabkan kelas menengah
Indonesia diisi oleh orang-orang timur asing, yaitu orang Cina dan Arab.
Jadinya, ketika Indonesia merdeka, kelas menengah pribuminya kosong. Kalaupun ada,
tipis sekali dan konsentrasi mereka kebanyakan di bidang politik, bukan
ekonomi. Sehingga perusahaan-perusahaan Belanda itu sukar diganggu karena orang
Indonesia sendiri belum siap.
Secara manajerial dan pendidikan kita belum kuat. Warga
terdidik sampai jenjang tinggi totalnya paling hanya dua persen dari populasi.
Lulusan tingkat SMA saja jumlahnya baru seribu atau dua ribu di seluruh
Indonesia. Jelas tidak cukup untuk mengelola Indonesia yang penduduknya saat
itu sekitar 60 juta. Kondisi riil itu tidak menguntungkan. Yang ada, kita punya
semangat tinggi, tapi secara profesional belum siap.
Dalam kondisi macam
itu, desakan untuk nasionalisasi datang dari mana?
Justru dari masyarakat bawah. Tapi kemudian tidak
terakomodasi oleh kelompok elite politik di pemerintahan. Hanya beberapa elite
politik yang melihat masalah ini. Kalau kita ingat, Tan Malaka semasa revolusi
itu punya program “Merdeka 100 Persen”. Nah, pengikutnya dan orang-orang kiri
umumnya sangat mendukung nasionalisasi. Tapi ada yang tidak terpikirkan oleh
mereka: jika ada nasionalisasi, apakah orang Indonesia bisa mengelolanya? Itu
masalah. Antara semangat dan realitas bertentangan. Dan lagi selama itu, isu
ini dijadikan jargon politik oleh kelompok tertentu untuk menekan pemerintah.
Aspirasi ekonomi masyarakat dijadikan alat untuk kepentingan politik. Jadi,
nasionalisasi ini rumit sebenarnya.
Hanya berselang
beberapa hari setelah PBB menolak membicarakan sengketa Irian Barat, para buruh
melakukan pengambilalihan perusahaan Belanda. Apakah momentum ini kemudian jadi
kunci melakukan nasionalisasi?
Dua isu ini memang saling memengaruhi. Masalah Irian
Barat itu menambah masalah kedaulatan jadi kian besar. Indonesia sudah merdeka,
tapi masyarakat merasa pengaruh Belanda, kok, tetap kuat. Yang terasa, di
bidang ekonomi kiprah Indonesia tidak terlihat. Keutuhan wilayah juga tidak
terwujud sepenuhnya karena Irian Barat masih dikuasai Belanda.
Kalau salah satu saja dari dua masalah itu tidak ketemu
solusinya, kemungkinan akan pecah jadi konflik. Terbukti ketika untuk kesekian
kalinya PBB menolak usulan Indonesia membahas masalah Irian Barat.
Itu menimbulkan kemarahan masyarakat yang sudah menunggu
momentum untuk mengambil tindakan terhadap Belanda. Bisa dibilang, masalah
Irian Barat adalah pemicu untuk mempercepat nasionalisasi. Tapi sebetulnya
tanpa ada masalah itu pun Indonesia akan tetap melakukan nasionalisasi di
kemudian hari.
Pemerintah juga berencana melakukan nasionalisasi?
Pemerintah juga berencana melakukan nasionalisasi?
Proses nasionalisasi sebenarnya sudah berlangsung.
Misalnya De Javasche Bank yang dinasionalisasi secara gradual, tidak dadakan,
dan dilakukan oleh serikat-serikat buruh seperti pada 1957. Pemerintah secara
bertahap membeli sahamnya mulai 1951. Pada 1953 sahamnya terbeli semua dan
ganti nama jadi Bank Indonesia. Tapi direksinya masih diisi orang-orang Belanda
yang baru diganti semua pada 1957.
Apakah wacana
nasionalisasi di kalangan buruh mengemuka gara-gara masalah Irian Barat di
akhir 1957?
Tidak, karena sebelum tahun itu wacana sudah ada. Bahkan
dari daerah-daerah, bukan hanya dari Jakarta. Saya temukan arsip sekretariat
kabinet adanya surat tuntutan dari buruh perminyakan di Sumatra dan Cepu
sekitar 1953. Tuntutan juga ada dari buruh perkebunan. Mereka menuntut harus
ada tindakan dari pemerintah terhadap perusahaan yang dikuasai orang Belanda.
Demonstrasi-demonstrasi sporadis di beberapa tempat juga ada.
Ketika sengketa
Irian Barat gagal dibawa ke PBB, sebagai balasan pemerintah menyerukan agar
buruh-buruh di perusahaan Belanda mogok kerja. Mereka kemudian bertindak lebih
jauh melakukan pengambilalihan aset. Bagaimana reaksi masyarakat atas peristiwa
itu?
Masyarakat yang jenuh dengan dominasi Belanda tentu
menyambut hangat.
Aksi pengambilalihan itu disambut sebagai kemenangan
ekonomi. Setelah sekian lama bekerja di bawah bos-bos orang Belanda, akhirnya
perusahaan itu jadi milik Indonesia. Mereka senang tapi tidak sadar bahwa masalah
sebenarnya adalah bagaimana menjalankan perusahaan itu. Para buruh, kan, tidak
mengerti persoalan manajerial perusahaan modern. Orang-orang kiri juga punya
banyak jargon, tapi tidak mengerti soal-soal manajerial macam itu.
Itulah ironinya. Beberapa tokoh elite, seperti Sjafruddin
Prawiranegara dan Hatta, sebenarnya mengerti bahwa nasionalisasi tidak bisa
berjalan tanpa persiapan matang. Karena itu mereka selalu bilang, nasionalisasi
itu sebenarnya masalah gampang. Kesiapan kita mengelola itulah masalah
sebenarnya. Sementara Sukarno memandang nasionalisasi itu sebagai kesempatan
untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia. Maka lakukan saja. Jika di kemudian
hari timbul masalah, bisa diselesaikan bertahap. Yang penting kedaulatan tegak
dulu.
Jadi, bisa dibilang
nasionalisasi 1957 itu adalah proses yang tergesa-gesa?
Kalau melihatnya dari perspektif saintifik, tentu saja
terburu-buru karena masyarakat belum siap. Tapi, sekali lagi, bagi masyarakat
yang merasakan tekanan dominasi Belanda, saat itu adalah momentum terbaik.
Lalu, bagaimana reaksi internasional? Bagi Amerika Serikat atau anggota PBB
lainnya konflik Indonesia dan Belanda itu sudah bukan lagi isu strategis.
Kebanyakan sudah tidak peduli. Toh, kepentingan-kepentingan mereka di Indonesia
tidak ikut diganggu.
Tapi bagaimana
dampak nasionalisasi terhadap usaha Indonesia merebut Irian Barat dari Belanda?
Saya kira itu jadi tekanan bagi Belanda. Peristiwa
nasionalisasi juga menunjukkan bahwa jika PBB tidak mau mendukung penyelesaian
sengketa Irian Barat, Indonesia bisa bertindak lebih tegas.
Dampak bagi
perekonomian Indonesia sendiri?
Jelas kacau. Perusahaan-perusahaan itu jadi berhenti
produksi sampai keluarnya Undang-Undang Nasionalisasi pada 1958. Semua jadi
stagnan karena buruh-buruh itu tidak mengerti bagaimana manajemen dan alur
produksi perusahaan.
Akhirnya pemerintah menugaskan golongan yang di masa itu
dianggap punya tingkat pendidikan paling lumayan di antara golongan lain, yaitu
Angkatan Darat.
Setidaknya tentara punya standar pendidikan, walaupun
sebenarnya bukan untuk mengurusi perusahaan. Tentara punya struktur dan
kepatuhan pada hierarki, sementara buruh tidak. Akhirnya merekalah yang diutus
untuk menertibkan proses pengambilalihan perusahaan yang berantakan.
Nah, saat itulah awalnya konsep dwifungsi yang disuarakan
Nasution diimplementasikan.
Setelah itu banyak tentara yang jadi pemimpin perusahaan,
seperti Ibnu Sutowo yang menguasai perusahaan minyak. Itu juga jadi masalah di
kemudian hari.
Gerakan pengambilalihan dilakukan pada Desember 1957, tapi aturan resminya baru terbit Desember 1958. Dalam jangka waktu setahun itu apa saja yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang diambilalih?
Gerakan pengambilalihan dilakukan pada Desember 1957, tapi aturan resminya baru terbit Desember 1958. Dalam jangka waktu setahun itu apa saja yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang diambilalih?
Untuk tindakan yang sebelumnya tidak direncanakan,
undang-undangnya bisa terbit dalam setahun itu termasuk cepat sebenarnya.
Pemerintah, kan, tidak merencanakan nasionalisasi, tapi mereka membiarkan para
buruh bergerak mengambilalih perusahaan Belanda. Ketika nasionalisasi terjadi,
pemerintah tentu tidak siap. Maka itu Undang-Undang Nasionalisasi 1958 berlaku
surut.
Undang-undang itu mengamankan tindakan pengambilalihan
oleh para buruh sebelumnya agar tidak muncul kekacauan dan tuntutan hukum.
Tindakan pengambilalihan itu, kan, bisa dibilang
perebutan aset orang dan tidak ada payung hukumnya. Pengambilalihan itu
sebenarnya bisa dituntut ke pengadilan internasional. Pemerintah pun pada
akhirnya harus bayar ganti rugi karena aset-aset perusahaan itu diambil secara
ilegal dan aset-aset itu juga diasuransikan. Perusahaan-perusahaan itu lalu
diubah statusnya jadi BUMN. Direksinya diisi tentara, karena tentu saja tidak
mungkin mempersiapkan kelas menengah profesional hanya dalam setahun. Pada
akhirnya perusahaan-perusahaan itu stagnan juga.
TNI ditempatkan di
perusahaan yang dinasionalisasi untuk mencegah orang-orang kiri mengambil
keuntungan. Tanggapan Anda?
Ya memang begitu. Kalau dikuasai kelompok politik
tertentu, aset-aset perusahaan itu nantinya juga bisa digunakan untuk
kepentingan politik. Kelompok yang paling bersemangat dalam isu nasionalisasi
juga memang orang-orang kiri.
Bagi mereka, ini kesempatan yang tidak boleh dilewatkan
untuk menanamkan pengaruh di sektor ekonomi. Hal itu yang kemudian dicegah oleh
pemerintah dengan menugaskan tentara. Tapi, ketika tentara yang memimpin,
perusahaan juga tidak jalan. Sama saja, terjadi KKN. Itu memang penyakit karena
nasionalisasi [dilakukan] tanpa kesiapan. Jadi masalahnya itu bukan siapa yang
pegang kendali, tapi memang Indonesia belum siap.
Lantas, bagaimana nasib buruh setelah perannya digeser tentara?
Lantas, bagaimana nasib buruh setelah perannya digeser tentara?
Ya balik ke posisinya semula, jadi pekerja tingkat bawah
lagi karena posisi-posisi manajerial diisi tentara. Tentara memang lebih rapi
dalam hal organisasi, tapi tetap tidak bisa mengembangkan lebih lanjut.
Mereka-mereka ini yang kemudian menumbuhkan kelas
menengah baru di masa Soeharto. Bahkan saya kira pengaruhnya merentang hingga
kini. Tapi seperti yang dikatakan Yosihara Kunio, kelas menengah Indonesia itu
kelas menengah semu.
Mereka lahir karena patronase, persekutuan politik, dan
KKN, bukan dari profesionalisme.
Terakhir, refleksi
apa yang bisa dipetik dari peristiwa ini?
Saya kira pelajaran dari proses nasionalisasi dan
setelahnya, bahwa setiap kebijakan yang fundamental semestinya dipersiapkan
dengan matang. Jangan sampai dikalahkan oleh kepentingan politik jangka pendek.
Karena dampaknya terasa sampai puluhan tahun kemudian.
Reporter: Fadrik Aziz Firdausi
Penulis: Fadrik Aziz
Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
Tirto.Id
Tirto.Id
Sukarno memandang nasionalisasi sebagai kesempatan untuk menyelesaikan
Revolusi Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar