Media Aqinas
Peristiwa peraziaan buku yang dilakukan Brigade Muslim Indonesia (BMI) di Makassar pada 5 Agustus 2019 menunjukan bahwa ruang publik di Indonesia masih dihiasi tindakan kontra-demokrasi. Peredaran buku-buku yang berisikan wacana kritis dirongrong-rong atas nama stabilitas dan kekeliruan tafsir.
Reproduksi ketakutan melalui aksi razia buku selama ini membuat perkembangan intelektual di Indonesia menjadi tersumbat. Hal tersebut diungkapkan oleh anggota PMKRI Cabang Yogyakarta, Heronimus Heron yang merupakan pemantik dalam diskusi forum Meja Panjang Aquinas PMKRI Cabang Yogyakarta pada Rabu, (7/8/2019).
“Indonesia itu negara demokratis, maka jaminan akan freedom of expression, freedom of speech, dan freedom of the press adalah suatu kewajiban. Jaminan tersebut tentu dibutuhkan sebagai hak dasar sosial dan politik warga negara. Jika jaminan itu dilanggar, maka demokrasi tak ada gunanya. Maka, dalih menjaga “stabilitas nasional”, “ketertiban umum”, atau sekadar meluruskan “tafsir sejarah yang keliru”, lembaga-lembaga tertentu bisa dengan sewenang-wenang melarang kebebasan berpendapat. Model pelarangan, pembatasan, dan pengebirian semacam ini merupakan perwujudan Ideologi politik khas kolonial dan otoritarian yang terus dirawat kekuasaan,” papar Heron pada diskusi yang bertajuk “Ada Apa dengan Buku?
Tidak hanya peristiwa penyitaan buku Franz Magnis Suseno yang bukunya dianggap berbau komunisme, beberapa toko buku, penulis, dan penerbit didatangi aparat keamanan juga latah terjadi selama ini.
Di Yogyakarta misalnya, teror terhadap aktivitas literasi pernah menimpa Penerbit Narasi dan Resist Book tahun 2016. Ironisnya, aksi teror itu dilancarkan satuan tentara dan kepolisian, karena kejadian represi tersebut penerbit Resist Book terpaksa pindah tempat.
Toko buku Budi dan Shopping Center Yogyakarta juga didatangi oleh petugas Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta dan menyita beberapa buku yang dianggap kiri. Penerbit Margin Kiri di Jakarta (dalam CNN, 13/05/2016) aparat menggeledah dan menyita secara membabi-buta. Asal ada kata-kata komunis, PKI, 1965, atau sampulnya bergambar palu dan arit, langsung diberangus.
Peradaban yang Bergerak Mundur
Pada diskusi yang dimoderatori oleh Helena Evi Nakar, Heron juga menilai, rentetan peristiwa tersebut sangat memalukan, mengingat dalam beberapa survei Indonesia menduduki peringkat terendah dalam literasi. Survei Central Connecticut State University pada tahun 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara .
Hal ini dikuatkan oleh data UNESCO yang menunjukan indeks minat baca warga Indonesia 0,001. Artinya dari 100 orang hanya 1 ornag yang membaca buku (Kompas, 7/08/2019. Belum lagi produksi surat kabar yang minim, ketersediaan toko-toko buku di kota-kota yang minim dan tinggkat usia sekolah yang tinggi. Hal ini tentu sangat miris dan tanda kemunduran peradaban.
Terkait pelarangan buku, sudah ditegaskan melalui putusan MK nomor 20/PUU-VIII/2010 bahwa penyitaan buku yang diduga melanggar ketentuan undang-undang harus melalui proses pengadilan. Apabila terbukti melanggar undang-undang yang berwenang adalah pihak penegak hukum atau alat negara lain yang mesti didahului adanya proses peradilan.
Heron menganggap, bahwa sebagai negara hukum, segala tindakan dalam kehidupan bernegara harus berdasar hukum. Gerakan penyitaan buku yang dilakukan oleh sekelompok orang di Makassar beberapa waktu lalu harus ditindak tegas karena merupakan gerakan ekstrayudisial yang tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh undang-undang.
Demokrasi Konstitusional
Selain itu, Wihelmus A. Ndau yang merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Yogyakarta pun turut memberikan komentar senada. Dirinya melihat bahwa Indonesia yang menganut demokrasi konstitusional dimana pengakuan akan hak-hak asasi manusia diakomodir dalam konstitusi UUD 1945 sudah secara tegas mengatur mengenai hak dan kebebasan warga negara.
Pada pasal 28 F UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia,” menjamin kebebasan warga negara untuk mendapatkan informasi termasuk prodak akademik. Tindakan penyitaaan buku yang dilakukan ini telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana membatasi akses warga negara untuk mendapatkan informasi termasuk pengekangan terhadap akses akademik.
“Saya menilai bahwa tindakan seperti ini adalah reproduksi ketakutan yang dilandasi oleh muatan ideologis. Kelompok fundamentalis kanan yang akhir-akhir ini mulai menguat begitu leluasa dalam melakukan aksi-aksinya. Meskipun dalam beberapa peristiwa razia dilakukan oleh aparat keamanan, akan tetapi kelompok fundamentalis juga terus dibiarkan untuk melakukan aksinya. Kelompok fundamentalis ini melakukan aksinya tentu karena dibiarkan bahkan diberi tempat,” tutur mahasiswa Hukum Universitas Janabadra tersebut.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa berkembangnya wacana-wacana kritis tentunya membuat kepentingan kepentingan rezim menjadi terganggu. Narasi-narasi pemenuhan hak-hak ekonomi sosial politik warga negara lantas kian direpresi untuk tetap mengamankan kepentingan akumulasi penguasa.
Penulis: Engel Ndarung Editor : Apolonius Darmani
AquinasJogja.Com
0 komentar:
Posting Komentar