13 AGUSTUS 2019 | 11:36
Keterangan foto: sebuah Rapat Umum di Bondowoso, April 1949, untuk
mempertahankan Kemerdekaan. (Sumber: Gahetna)
Sudah 21 tahun rezim Orde Baru resmi bubar, dan penguasa
tertingginya sudah berkalang tanah, tetapi perang terhadap segala yang berbau
kiri masih berlangsung.
Tokoh-tokoh kiri di masa lalu, kendati punya jasa tak
terhitung bagi kemerdekaan Indonesia, tetap saja diperlakukan sebagai tokoh
jahat yang pantas ditaruh di ruang paling gelap dari panggung sejarah
perjuangan bangsa kita.
Begitu juga pikiran-pikirannya. Kendati gagasannya sangat
mulia, karena menentang segala penindasan dan penghisapan sesama manusia, terus
menerus dipersekusi. Buku-buku yang berbau kiri di razia, sementara buku
Hitler, Mein Kampf, justru terpajang bebas dan merdeka di rak-rak toko
buku terkemuka.
Ingat, saudara-saudari, persekusi terhadap pemikiran kiri
bukan saja kejahatan, tetapi juga menempatkan kita sebagai “bangsa durhaka” di
hadapan sejarah dan pendiri bangsa kita.
Sebab, asal anda tahu, kiri punya jasa besar tidak saja
bagi kemerdekaan Indonesia, tetapi bahkan kelahiran Indonesia itu sendiri.
Tanpa sumbangsih kiri, belum tentu kita menjadi Indonesia yang dimerdekakan
tanggal 17 Agustus 1945.
Apa itu Kiri?
Pertama sekali, mari kita buat istilah kiri itu terang-benderang.
Supaya awan gelap kebodohan, yang membuat sebagian bangsa kita memusuhi sesuatu
yang tak diketahuinya, pelan-pelan tersingkap.
Jadi, istilah “kiri” dan “kanan” itu pertama kali muncul
di masa Revolusi Perancis, kira-kira di sekitar 1789-1899, terkait pengaturan
tempat duduk di parlemen Perancis. Saat itu, parlemen Perancis—dinamakan Estate
Generale—terbelah antara penentang versus pendukung monarki. Nah,
para penentang monarki—termasuk yang mendukung ide Republik dan
sekularisme—duduk di sebelah kiri, sedangkan pendukung monarki duduk di sebelah
kanan.
Lambat laut, seiring dengan tumbuh-kembang gerakan kelas
pekerja, istilah kiri juga merujuk pada berbagai perjuangan untuk membebaskan
manusia dari segala bentuk penindasan dan penghisapan. Ini meliputi gerakan
sosialis, komunis, sosial-demokrasi, hingga anarkisme.
Belakangan, kira-kira di tahun 1960-an, berkembang pesat
gerakan hak-hak sipil (anti-rasisme dan apartheid), gerakan anti-perang,
gerakan feminis, advokasi hak LGBT, dan gerakan lingkungan, yang juga
dikelompokkan sebagai gerakan kiri-baru.
Belakangan, karena istilah dan gerakan kiri berkembang
seiring dengan dinamika politik dan kompleksitas perjuangan sosial, maka
seorang ilmuwan Italia, namanya Norberto Bobbio, berusaha memberikan defenisi
baru.
Menurutnya, apa yang disebut “kiri” dan “kanan” bisa
dilacak pada sikapnya pada dua isu besar:
pertama, kesetaraan versus ketidaksetaraan;
dan kedua, kebebasan versus otoritarianisme.
Jadi, bagi Bobbio, gerakan kiri selalu dekat dengan
perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan sosial. Juga selalu memperjuangkan
kemerdekaan dan kebebasan.
Bung Karno, bapak Bangsa kita, juga punya penjelasan
sendiri tentang pengertian kiri. Menurutnya, kiri adalah penolakan terhadap
segala bentuk penindasan dan eksploitasi. Secara visi, kata si Bung Besar, kiri
selalu memperjuangkan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial. Dalam konteks
Indonesia, kita menyebutnya: masyarakat adil dan makmur. Karena itu, bagi Bung
Karno, kiri itu mestilah anti-kapitalisme dan anti-imperialisme.
Nah, berangkat dari beragam defenisi di atas, kiri bisa
diartikan sebagai gerakan yang menentang penindasan dan eksploitasi manusia.
Karena itu, gerakan kiri identik dengan gerakan yang menuntut kesetaraan
manusia dan keadilan sosial.
Sekarang, sudah terang-benderang toh defenisi kiri itu.
Jadi, kiri itu punya defenisi yang luas. Setiap orang atau gerakan yang
memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial pantas disebut sebagai kaum kiri.
Dia bisa saja seorang Sosialis, Sosial-Demokrat, Komunis, Anarkis, Nasionalis,
Muslim, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bahkan atheis.
Nah, dalam konteks sejarah Indonesia, sumbangsih kiri
bisa dilacak pada dua ranah: pertama, sumbangsih pikiran atau gagasan yang
memerdekakan atau melahirkan Indonesia; dan kedua, aktor-aktor pejuang
kemerdekaan.
Sumbangsih Gagasan
Tak bisa ditampik oleh siapapun, bahkan oleh Kivlan Zen
dan Habib Rizieq beserta pengikutnya, bahwa gagasan kiri berjasa besar
mememerdekakan dan melahirkan Indonesia.
Pertama, ketika para sang pemula baru berusaha
memercikkan api kebangsaan, pemantiknya itu adalah gagasan kiri: persamaan
nasib. Jadi, nasionalisme Indonesia lahir bukan karena kesamaan etnis atau ras
yang mencari perekatnya dari kejayaan atau warisan gemilang bersama di masa
lalu, melainkan oleh karena faktor kesamaan nasib: sama-sama diinjak-injak oleh
kolonialisme Hindia-Belanda.
Ini juga yang membuat ekspresi nasionalisme Indonesia
lebih dekat dengan gagasan nasionalisme kewargaan (civic
nationalism), yang memandang atau memperlakukan semua anggota bangsanya setara
tanpa membedakan suku, agama, dan ras.
Kedua, para pendiri bangsa kita diilhami oleh ide-ide
kesetaraan manusia. Tidak hanya di depan politik, tetapi juga dalam ruang
ekonomi. Bukankah sejak dahulu kala, di zaman Nenek-Moyang kita, sudah akrab
dengan mimpi datangnya “Sang Ratu Adil”?
Karena itu, ketika menjahit mimpinya tentang Negara yang
diperjuangkan, para pendiri bangsa selalu berimajinasi tentang sebuah
masyarakat yang setara, yang “sama-rata, sama rasa”. Tak mengherankan, dari
sejak awal Abad-20, slogan “mardika” selalu bersanding dengan slogan “sama
rata, sama rasa”.
Ya, karena sumbangsih kiri-lah, tujuan Indonesia merdeka
dirumuskan dengan kalimat mulia nan agung: masyarakat adil dan makmur. Sebuah
masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan, penghisapan, maupun
eksploitasi.
Karena cita-cita kesetaraan itulah, sekelebat setelah
Proklamasi Kemerdekaan, ada penyederhanaan panggilan di kalangan bangsa
Indonesia. Semua panggilan yang menyiratkan ketidaksetaraan alias feodalisme,
seperti Tuan-Hamba, Kakanda-Adinda, Yang Mulia, dan seterusnya, dihapuskan.
Kemudian diganti dengan panggilan yang setara: Bung untuk laki-laki,
dan Zus untuk perempuan. Jadi, semua warga Negara, tua-muda,
laki-laki atau perempuan, Presiden atau rakyat jelata, kaya-miskin, saling
memanggil dengan kata “Bung”.
Beruntunglah, karena sumbangsih kiri, kita tak jadi
mendirikan negara monarki. Padahal, di sidang BPUPKI, sempat ada yang
mengusulkan ide monarki. Bayangkan, kalau Negara ini berbentuk monarki, bukan
Republik, jangan pernah rakyat jelata bermimpi menjadi pemimpin tertinggi
negeri.
Beruntung juga, karena sumbangsih kiri, kita tak jadi
negara teokrasi yang berdasar pada satu hukum agama tertentu. Sebab, kalau
sampai itu terjadi, mungkin kepingan wilayah Indonesia jauh lebih kecil
dibanding Indonesia hari ini.
Ide-ide kiri tak hanya memperkaya imajinasi tentang
Indonesia setelah merdeka. Bahkan, kalau mau jujur mengakui, ide kiri sangat
kuat mempengaruhi pandangan hidup berbangsa dan bernegara hingga UUD 1945.
Lihatlah Pancasila, di dalamnya ada banyak ide kiri:
kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Sukarno sendiri di bulan November
1965 pernah bilang, Pancasila itu kiri. Juga, di pidato 1 Juni 1945 yang
melahirkan Pancasila, Sukarno bilang: “Kita hendak mendirikan suatu
negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, – tetapi semua
buat semua.” Kiri banget, kan?
Begitu juga UUD 1945. Konstitusi kita (pasal 1) mengakui
prinsip kedaulatan rakyat, bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat banyak, bukan
di tangan segelintir elit. Juga menganut azas persamaan (pasal 27, ayat 1),
yaitu persamaan hak dan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan.
Pengakuan terhadap kemerdekaan berpendapat, berserikat dan berkumpul, yang
merupakan esensi dari demokrasi.
Dan yang terpenting, ada pasal 33 UUD 1945, yang bicara
demokrasi ekonomi alias kesetaraan secara ekonomi. Prinsip utama pasal 33 UUD
1945, sebagaimana termaktub di pasal ayat (1), adalah pengorganisasian ekonomi,
termasuk bentuk pemilikan, dalam bentuk usaha bersama atau pemilikan
sosial. Tujuannya untuk mewujudkan kesemarataan dan kemakmuran bersama.
Sumbangsih Aktor
Sekarang kita bicara aktor, yaitu mereka atau gerakan
yang terlibat dalam memerdekakan dan melahirkan Indonesia.
Hampir semua bapak bangsa kita terilhami oleh ide-ide
kiri. Kartini, orang pertama yang memercikkan api gagasan nasionalisme,
terilhami oleh ide kiri tentang kesetaraan manusia. Makanya, disamping
anti-kolonial, dia juga anti-feodal.
Tjokroaminoto, sang Guru Bangsa dan bapak Sarekat Islam,
juga terilhami oleh ide-ide kiri, terutama sosialisme. Sampai-sampai, dia
menulis beberapa artikel dan risalah yang mempertautkan antara Islam dan
gagasan sosialisme.
Bapak bangsa yang lain, Tjipto Mangunkoesoemo dan Ki Hadjar
Dewantoro, juga sangat kiri. Walaupun keduanya turunan Ningrat, tetapi keduanya
membuang keningratannya. Keduanya menjadi penganjur nasionalisme, yang
mempertautkan semangat kebangsaan dan kemanusiaan, yang tidak membeda-bedakan
manusia karena suku, agama, maupun ras.
Apalagi Sukarno dan Hatta, keduanya kiri sekiri-kirinya.
Sukarno terilhami marxisme, Hatta juga. Keduanya mencita-citakan masyarakat
yang bercorak sosialis, yang di dalamnya setiap orang bisa hidup merdeka dan
setara. Meskipun, tentang bagaimana sosialisme diwujudkan dan seperti apa
bentuknya, keduanya agak berbeda.
Orang-orang kiri yang lain, seperti kaum komunis, juga
punya andil besar bagi kemerdekaan dan kelahiran Indonesia. Mereka menyumbang
gagasan sekaligus berkorban nyawa bagi kemerdekaan Indonesia.
Slogan “sama-rata, sama rasa” itu berasal dari syair
seorang komunis, Mas Marco Kartodikromo. Ia menulis syair yang penuh daya gugah
dan gairah menggerakkan itu dari dalam penjara kolonial.
Kita harus jujur juga, bahwa PKI-lah partai politik
pertama dalam sejarah yang menyandang nama “Indonesia”, di sebuah masa ketika
nama “Indonesia” masih dianggap barang ilegal oleh pemerintah kolonial Belanda.
Memang, Perhimpunan Indonesia yang pertama menyandang
nama itu, tahun 1922, tetapi mereka bergerak di Negeri Belanda. Tetapi di tanah
air, yang kala itu masih bernama Hindia-Belanda, PKI lah yang pertama
menyandang nama Indonesia. Itu terjadi tahun 1924.
Jangan lupa pula andil pemuda-pemuda kiri, baik sosialis
maupun komunis, pada Proklamasi Kemerdekaan RI. Anak-anak muda yang kelak
berideologi komunis, seperti Wikana dan Aidit, turut bergerak bersama
pemuda-pemuda dari Asrama Menteng 31 untuk mendesakkan Proklamasi Kemerdekaan.
Dan seperti diakui Soe Hok Gie di bukunya, Orang-Orang Kiri di
Persimpangan Kiri Jalan, tanpa kehadiran dan kerja keras kader-kader komunis,
belum tentu Proklamasi 17 Agustus 1945 terjadi.
Sukarno sendiri mengakui kontribusi besar orang-orang
komunis bagi kemerdekaan Indonesia. Di bulan Februari 1966, di hadapan peserta
Rapat Umum Front Nasional, Sukarno memberikan pengakuan sekaligus penghargaan
terhadap jasa orang-orang komunis bagi kemerdekaan Indonesia.
Demikian pula aku tidak mau menutup mata bahwa golongan
Kom, Masya Allah, Saudara-Saudara, urunannya, sumbangannya, bahkan korbannya
untuk kemerdekaan bukan main besarnya. Bukan main besarnya! Karena itu
kadang-kadang sebagai Kepala Negara saya bisa akui, kalau ada orang berkata, kom
tidak ada jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, aku telah berkata pula
berulang-ulang, malahan di hadapan partai-partai yang lain, dan aku berkata,
barangkali dari semua parpol-parpol, diantara semua parpol-parpol, ya baik dari
Nas (Nasionalis) maupun A (agamais), tidak ada yang telah begitu besar
korbannya untuk kemerdekaan Indonesia daripada golongan Komini, katakanlah
PKI, saudara-saudara.
Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di
Istora Senayan, 13 Februari 1966
Saya pernah mengalami. Saya sendiri lo Sauadara-saudara,
mengantar 2000 pemimpin PKI dikirim oleh Belanda ke Boven Digul. Hayo, parpol
lain mana ada sampai 2000 pemimpinnya sekaligus diinternir, tidak ada.
Saya pernah sendiri mengalami dan melihat dengan mata kepala sendiri, pada satu
saat 10 000 pimpinan daripada PKI dimasukkan di dalam penjara. Dan menderita
dan meringkuk di dalam penjara yang bertahun-tahun.
Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di
Istora Senayan, 13 Februari 1966
Saya tanya, ya tanya dengan terang-terangan, mana ada
parpol lain, bahkan bukan parpolku, aku pemimpin PNI, ya aku dipenjarakan, ya
diasingkan, tetapi PNI pun tidak sebesar itu sumbangannya kepada kemerdekaan
Indonesia daripada apa yang telah dibuktikan oleh PKI. Ini harus saya katakan dengan
tegas. Kita harus adil, saudara-saudara, adil, adil, adil, sekali lagi adil.
Amanat Presiden Sukarno di Rapat Umum Front Nasional di
Istora Senayan, 13 Februari 1966
Jadi, singkat cerita saudara-saudari, jangan pernah lupa
bahwa kemerdekaan dan kelahiran Indonesia adalah hasil perjuangan dan
pengorbanan banyak orang, termasuk orang-orang kiri. Suka tidak suka, itulah
fakta sejarah.
Karena itu, dalam suasana menjelang Peringatan HUT
Kemerdekaan yang ke-74, ada perlunya kita bertobat massal dari kesalahan yang
dilakukan Orde Baru sekaligus meminta maaf kepada para pejuang kemerdekaan yang
selama ini dihitamkan namanya atau ditenggelamkan perannya dalam panggung
sejarah.
Sebab, seperti kata Sukarno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
KUSNO
0 komentar:
Posting Komentar