Oleh: Faisal Irfani - 17
Agustus 2019
Suasana sidang PPKI pada Agustus 1945. Lembaga inilah yang mengesahkan
Undang-Undang Dasar 1945. FOTO/Commons.wikimedia.org
Amandemen UUD 1945
ditujukan untuk mencegah pemerintahan republik berjalan seperti Orde Baru.
Wakil Ketua MPR sekaligus politikus PDIP, Ahmad Basarah,
menyatakan partainya berfokus untuk mengamandemen UUD 1945 dan
menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
“PDIP, dalam kongres kemarin, mengingatkan kembali bahwa ayo agenda besar yang
sudah disepakati MPR periode sekarang, dilanjutkan periode yang akan datang,”
ungkapnya di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta,
Selasa (13/8/2019).
Basarah membantah PDIP menukar pelaksanaan amandemen UUD 1945 dengan
pembentukan struktur pimpinan MPR. Katanya, PDIP justru keluar dari paradigma
“barter kekuasaan” ketika menawarkan program amandemen UUD 1945.
“PDIP keluar dari paradigma itu dengan menawarkan, ’Ini loh agendanya.’
Agendanya PDIP untuk MPR yaitu amandemen terbatas UUD 1945. Mengenai siapa
pimpinannya, ya, silakan dipilih. Siapa ketuanya. Gitu, kan, memberikan
kesempatan,” tambahnya.
Amanat Reformasi
Dalam dinamika hukum dan politik Indonesia, amandemen UUD
1945 adalah salah satu implementasi dari reformasi, sebuah semangat yang muncul
pasca-tumbangnya kekuasaan Orde Baru, yang berkuasa selama tiga dekade lebih.
Sejarah mencatat, sepanjang republik berdiri, proses amandemen UUD 1945 sudah
dilaksanakan sebanyak empat kali. Taufiqurrohman Syah dalam “Amandemen UUD
Negara RI Tahun 1945 Menghasilkan Checks and Balances Lembaga Negara” (PDF) merinci proses perubahan tersebut sebagai berikut.
Perubahan pertama terjadi pada 19 Oktober 1999 dan berhasil mengamandemen
sembilan pasal. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya 18 Agustus 2000, amandemen
kembali dilakukan. Sebanyak 25 pasal diubah. Kemudian, pada 9 November 2001, 23
pasal diubah dalam amandemen. Terakhir, 10 Agustus 2002, proses amandemen turut
mengubah 13 pasal, tiga pasal Aturan Peralihan, serta dua pasal Aturan
Tambahan.
Secara garis besar bila dilihat dari segi substansi materinya, tulis
Taufiqurrohman, proses amandemen dapat dibagi ke dalam tiga kelompok: amandemen
yang menghapus atau mencabut beberapa ketentuan; amandemen yang menambah
ketentuan baru; serta amandemen yang memodifikasi ketentuan lama.
Setiap proses amandemen menghasilkan ketetapan yang berbeda-beda. Di fase
pertama, misalnya, amandemen lebih berfokus untuk membatasi presiden agar tidak
berkuasa dalam jangka waktu yang lama, sebagaimana yang terjadi di era Orde
Baru.
Sementara di fase kedua, setidaknya ada tiga fokus yang dikerjakan: memberikan
peran lebih kepada daerah melalui desentralisasi kekuasaan, menguatkan peran
DPR sebagai lembaga legislatif, dan memperluas cakupan pasal-pasal yang
berhubungan dengan jaminan HAM.
Selanjutnya, di fase ketiga, amandemen ditujukan untuk mengatur posisi lembaga
negara. MPR, misalnya, tak lagi memegang peran untuk memilih presiden dan wakil
presiden karena proses pemilihan diubah menjadi pemilihan secara langsung.
Selain itu, amandemen juga mengakomodir kehadiran lembaga baru berwujud
Mahkamah Konstitusi. Lalu di fase keempat, proses amandemen hanya meneruskan
pembahasan di fase sebelumnya.
Mengapa Diubah dan
Bagaimana Implikasi Hukumnya?
Dalam “Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Implikasinya terhadap
Sistem Ketatanegaraan Indonesia” yang terbit di Jurnal Nasional (2010),
Saldi Isra menjelaskan setidaknya terdapat tiga faktor yang melatarbelakangi
amandemen UUD 1945.
Faktor pertama, sejak awal, UUD 1945 memang tidak dibentuk untuk menjadi sebuah
konstitusi yang tetap. Kedua, UUD 1945 punya fleksibilitas yang cukup tinggi.
UUD 1945, tulis Saldi, bisa diterjemahkan sesuai perkembangan politik terkini
serta keinginan pemegang tampuk kekuasaan. Meski begitu, Saldi berpendapat
bahwa saking fleksibelnya gerak UUD 1945, ia jadi sumber dari segala masalah
seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) hingga potensi pemerintahan yang
otoriter.
Alasan ketiga, UUD 1945 punya kecenderungan untuk inkonsisten. Misalnya dalam
ketidakjelasan konstitusi menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945, menurut
Saldi, ada bermacam bentuk kedaulatan: dari kedaulatan rakyat, hukum, hingga
negara.
“Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum dapat saling melengkapi.
Tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejalan dengan kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan
dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan
oleh individu-individu yang menjalankan roda pemerintahan,” demikian tulis
Saldi.
Tidak dapat dipungkiri perubahan UUD 1945 punya dampak hukum yang jelas,
terutama dalam aspek ketatanegaraan. Perubahan tersebut terasa sampai saat ini
dan ditujukan untuk menunjang kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Dengan amandemen UUD 1945, misalnya, MPR tak lagi berkedudukan sebagai lembaga
negara tertinggi. Gantinya, kedaulatan tertinggi dipegang oleh rakyat (Pasal 1
ayat 2). Penghapusan sistem lembaga negara tertinggi, jelas Saldi, adalah
“upaya logis untuk keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang
rancu dalam menciptakan mekanisme check and balances di antara
lembaga-lembaga negara”.
Amandemen UUD 1945 juga turut menghapus sistem
unikameral—digantikan oleh sistem bikameral. Dalam sistem tersebut, supremasi
MPR ditekan. Amandemen UUD 1945 lebih menyediakan ruang untuk keterwakilan dari
DPR dan DPD. DPR merepresentasikan rakyat, sementara DPD mewakili daerah.
Yang paling kentara, amandemen UUD 1945 telah mengubah proses pemilihan
presiden dan wakilnya menjadi terbuka. Artinya, presiden dan wakilnya dipilih
oleh rakyat secara langsung lewat mekanisme pemilu. Ini dibuat untuk mengindari
pengalaman pahit selama Orde Baru ketika Soeharto berkuasa dalam waktu yang
sangat lama. Imbasnya: pemerintahan berjalan secara otoriter. Dengan amandemen
pula presiden bisa dimakzulkan bila terbukti melanggar ketentuan undang-undang.
Tak ketinggalan, proses perubahan UUD juga melahirkan lembaga kehakiman baru
dalam wujud Mahkamah Konstitusi yang termaktub melalui Pasal 24 ayat 2 UUD
1945. Kehadiran MK melengkapi kedudukan lembaga hukum yang sebelumnya hanya
dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Suwoto Mulyosudarmo, guru besar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, dalam
bukunya berjudul Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi (2004),
menjelaskan bahwa pada dasarnya amandemen UUD 1945 di awal 2000-an ditujukan
untuk mengurangi kekuasaan presiden dengan cara mendistribusikan kekuasaan
secara vertikal dan membaginya secara horizontal.
Amandemen UUD 1945, terang Suwoto, adalah mekanisme untuk menciptakan negara
demokratis yang berlandaskan keseimbangan dan pengawasan terhadap kekuasaan.
Yang jadi pertanyaannya sekarang: apa tujuan amandemen UUD 1945 yang
diwacanakan politikus Senayan di era kiwari?
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf
Indonesia sudah empat kali
mengamandemen UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar