18 August 2019 - Windu Jusuf
Ilustrasi oleh Deadnauval
SEBUAH tesis setebal 156 halaman diuji pada 1 Juni 2001 dan dinyatakan lulus. Penulisnya, Michael Boden, kembali memperoleh titel master setelah mendapat yang pertama dari Vanderbilt University pada 1997.
Penelitian Boden menguak kiprah Friedrich Engels sebagai
pemikir dan praktisi militer. Dalam bab pembuka, ia memaparkan betapa besarnya
jarak antara Engels dan kolaboratornya, Karl Marx, ketika membicarakan perang.
Engels selalu menapak di bumi. Sementara Marx selalu melontarkan “argumen khas
debat kusir yang sama sekali tak menyentuh pertimbangan rasional militer”.
Ketika membahas Pertempuran Września, misalnya, Marx
hanya mampu merutuki kelicikan balatentara Prusia:
“Serdadu Prusia kabur ke tempat di mana mereka bisa memuntahkan pelor, granat berisi 150 biji gotri, dan peluru meriam, padahal yang mereka hadapi cuma tombak dan sabit yang niscaya tak efektif dipakai dari jauh”.
Komentar Boden: “Menggunakan persenjataan semaksimal mungkin bukan hal baru dalam perang, tapi Marx sekadar mengutuknya sebagai ‘pengkhianatan Prusia’ terhadap rakyat Polandia yang tak berdaya.”
Friedrich Engels memang dikenal punya minat serius pada
dunia kemiliteran. Ketika Jerman Timur masih berdiri, namanya diabadikan
sebagai lembaga riset dan ilmu kemiliteran Militarakademie Friedrich Engels.
“Pak Jenderal”, demikian dia dipanggil kawan-kawan dekatnya, juga pernah
menjadi ajudan Brigjen August Willich selama Revolusi 1848-49.
Sepanjang Perang
Sipil Amerika (1861-1865), Engels memantau pergerakan pasukan Union
dari benua seberang, mempelajari jalur rel kereta api, kontur daratan, aliran
sungai, dan daerah-daerah strategis yang perlu dimenangkan. Hanya sekali ia
berkunjung ke Amerika, itu pun puluhan tahun setelah Perang Sipil usai. Namun,
saran-saran Engels rupanya pernah dipakai oleh Ulysses S. Grant untuk memukul
pasukan Konfederasi yang pro-perbudakan. Kelak, Grant, seorang jenderal Union,
terpilih sebagai presiden AS.
Riset Boden memperlihatkan bagaimana Engels menganalisis
tiap perang besar dan kecil sedetil-detilnya dari berbagai aspek, mulai dari
jalur logistik, taktik dan kedisiplinan pasukan, hingga jenis-jenis meriam
beserta pelurunya. Dengan sabar dia menjelaskan kaitan antara tulisan-tulisan militer
bapak sosialisme ilmiah itu dengan tradisi perjuangan bersenjata sayap kiri
abad ke-20.
Tapi Boden bukan sejarawan, apalagi sejarawan kiri. Dia
juga bukan orang sipil. Selama Perang Dingin, Boden dan negerinya adalah musuh
bebuyutan Uni Soviet, sebuah rezim yang fondasinya terinspirasi oleh
kritik-kritik Marx dan Engels terhadap kapitalisme.
Boden menjalani pelatihan di Akademi Militer Amerika
Serikat ketika Gorbachev memproklamirkan Glasnost dan Perestroika. Sempat
dikirim ke Perang Teluk, pada pertengahan 2000-an ia diposkan di Combat
Maneuver Training Center, Hohenfels, Jerman.
Boden berpangkat mayor ketika mengerjakan tesisnya di
Army Command and General Staff College, Fort Leavenworth, Kansas. Pada 2013,
penerbit kecil asal Inggris Pickle Partners Publishing merilis karya sang mayor
sebagai buku bertajuk The First Red Clausewitz: Friedrich Engels and Early
Socialist Military Theory, 1848-1870.
Adakah yang aneh ketika seorang prajurit Amerika menaruh
minat pada Engels?
Tidak, sama sekali tidak. Dalam konteks Perang Dingin,
mempelajari tulisan-tulisan militer Engels sama artinya dengan menelaah tradisi
militer sayap kiri dari Joseph Weydemeyer, Mao, Tito, Che Guevara, hingga Vo
Nguyen Giap—dengan kata lain, mempelajari cara berpikir lawan.
Orang-orang seperti Boden rupanya cukup baik mengerjakan
pekerjaan rumah itu dengan dingin, tanpa prasangka-prasangka ideologis yang
riskan membuat mereka melebih-lebihkan atau meremehkan kekuatan lawan.
***
Setidaknya ada tiga hal yang langsung terbayang ketika membicarakan
hubungan antara Marx (atau Engels) dan militer Indonesia beberapa tahun
terakhir—dua di antaranya adalah lelucon.
Yang pertama adalah penyitaan buku-buku “kiri” oleh
tentara dan polisi. Kedua, dokumen berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru
di Indonesia” (2017) yang memasukkan Hitler dan Mussolini dalam bab “Diktator
Sosialis-Komunis Dunia”.
Ketiga, ruwetnya jalan pikiran Kiki Syahnakri ketika
melacak asal-usul komunisme dan ateisme hingga ke filsafat Yunani kuno di depan
awak pers Jakarta pada 2016.
Ada masanya, jauh sebelum hari-hari ini, ketika pikiran
tentara tak sesemrawut Kiki Syahnakri atau Gatot
Nurmantyo saat berhadapan dengan Marx dan para penafsirnya.
Salah satu tentara yang pikirannya tak sesemrawut itu
adalah A.H. Nasution, jenderal besar kebanggaan TNI dan perumus Dwifungsi ABRI,
sebuah doktrin yang menempatkan tentara di dua lapangan—militer dan politik—dan
terbukti membawa malapetaka sepanjang 32 tahun Orde Baru.
Buku Nasution yang
terbit pada 1953, Pokok-pokok Gerilya: dan Pertahanan Republik Indonesia
di Masa Lalu dan Yang Akan Datang, berisi panduan dasar gerilya sekaligus
operasi anti-gerilya. Bibit-bibit dwifungsi itu sudah terlihat dalam
penentangannya terhadap konsep tentara sebagai alat negara.
Tentara, tegas Nasution, “bukanlah alat pemerintah yang buta dan bisu politik. Ia seharusnya pelopor revolusi, demikian ideal kita di masa-masa yang lalu dan di masa-masa yang akan datang. Ia harus sadar bahwa revolusi belum selesai.”
Setahun sebelum Pokok-Pokok Gerilya terbit,
Nasution dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat setelah mengarahkan
moncong meriam ke Istana. Ia menuntut Sukarno membubarkan parlemen yang
dinilainya terlalu banyak mencampuri urusan internal tentara.
Satu hal yang krusial dalam Pokok-Pokok Gerilya adalah
penyebutan tentara gerilya sebagai “prajurit rakyat” atau “tentara
rakyat” yang telah lama dipakai sebagai slogan TNI.
Gerilya, tulis A.H. Nasution, “adalah prajurit rakyat
yang sejati”. Dalam Pokok-pokok Gerilya, jenderal kebanggaan TNI itu
menyatakan gerilya hanya bisa hidup bersama rakyat, serta memperoleh
“pemeliharaan dan perlindungan rakyat” sekaligus, di sisi lain, menjadi
“pelopor” atau “ujung tombak” revolusi.
Untuk memaparkan gambaran ideal tentang hubungan antara
pasukan gerilya dan rakyat, Nasution, seorang anti-komunis tulen, menggunakan
analogi air dan ikan dari Mao Tse-tung. Bahkan salah satu bagian dari Pokok-Pokok
Gerilya dipersembahkan secara khusus untuk membahas saripati pengalaman Tentara
Pembebasan Rakyat Tiongkok melawan Chiang Kai Sek.
Tentu ada problem di sini. Kecuali sebagai proyeksi
semata, klaim atau aspirasi TNI untuk menjadi “tentara rakyat” terbentur oleh
fakta bahwa sebagian besar personelnya pada 1953 berasal dari tentara kerajaan
Belanda (KNIL) atau didikan Jepang via PETA.
“Rakyat adalah air dan pasukan gerilya adalah ikannya”, tulis Mao dalam On Guerilla War (1937).
“Kok, bisa-bisanya dibilang tak mampu hidup bersama? Hanya pasukan tak disiplin yang memusuhi rakyat dan akan mati di luar habitatnya itu.”
Untuk itu pula Nasution paham bahwa perang anti-gerilya
bertujuan pokok “memisahkan rakyat dari gerilya”—sebuah prinsip yang
diamalkan TNI dengan cara menggebuk pemberontakan-pemberontakan di daerah
selama era Sukarno dan menggelar operasi-operasi militer di Aceh hingga Papua
pada zaman Orde Baru.
Dalam kesempatan lain, Nasution juga memakai istilah
“perang teritorial” yang dicetuskan oleh Dushan
Kveder,veteran Perang Sipil Spanyol, anggota partai komunis, dan perwira
senior angkatan bersenjata Yugoslavia yang karyanya disebut-sebut berpengaruh
di lingkaran perwira Indonesia sejak akhir 1950-an.
Pada Oktober 1953, artikel Kveder berjudul “’Territorial
War’ the New Concept of Resistance” terbit di Foreign Affairs.
Delapan tahun berselang, terjemahan Indonesianya muncul di majalah Angkatan
Darat Territorial.
Sejak
itulah konsep “perang teritorial” masuk ke kepala elite-elite militer Indonesia
dan diadopsi sebagai doktrin
pertahanan nasional.
Pokok-Pokok Gerilya, tulis sejarawan Walter Laqueur dalam Guerilla (1977),
“mengingatkan orang akan Mao tanpa unsur politik.”
Komentar Laqueur wajar belaka. Teori perang tak selalu
menuntut siapapun yang mempelajarinya untuk menyepakati tujuan-tujuan politik
sang teoritikus—sebagaimana Lenin membaca karya jenderal reaksioner asal Prusia
Carl von Clausewitz selama Perang Dunia I, sebagaimana Nasution mengutip Mao
dan mengambil contoh dari Viet Cong.
Bahkan para (calon) pengusaha zaman kita, yang kerap
dibayangkan sebagai figur ksatria modern, ternyata juga merasa perlu
mempelajari ‘strategi perang’ untuk berbisnis. Bukankah sampai hari ini rak
toko-toko buku penuh dengan judul seperti Perang Bisnis: Strategi
Menaklukkan Pasar dengan prinsip Sun Tzu, Clausewitz Talks Business: An
Executive’s Guide to Thinking Like a Strategist, Mao in the Boardroom:
Marketing Genius from the Mind of the Master Guerilla, hingga Menyusun
Rencana Pemasaran Gerilya yang Unggul ?
Tapi, apa cuma teori militer yang dipelajari tentara
Indonesia dari orang-orang kiri dunia?
***
Pada Oktober 1988, pemerintahan Orde Baru meliberalisasi
sektor perbankan. Bank asing akhirnya diizinkan membuka usaha patungan dengan
bank lokal. Setahun kemudian, ada 91 bank swasta yang beroperasi, dari yang
awalnya berjumlah 66 pada 1988. Tujuh
tahun setelah deregulasi, jumlah bank patungan lokal dan asing
meningkat nyaris empat kali lipat dari yang semula hanya 11 pada 1988.
Tapi, hanya beberapa bulan sebelum deregulasi resmi
berjalan, Angkatan Darat merilis sebuah dokumen untuk keperluan program
Penataran Kewaspadaan Nasional (Tarpadnas). Di luar kecamannya terhadap “bahaya
laten komunisme”, dokumen berjudul “Materi Balatkom” itu—sebagaimana dicatat
Jun Honna dalam studinya tentang respons TNI terhadap tekanan reformasi—juga
mengecam “kapitalisme liberal” yang menyebabkan “kaum kaya bertambah kaya dan
yang miskin semakin miskin”.
Dokumen tersebut juga menunjuk perusahaan-perusahaan
multinasional sebagai biang kerok ketergantungan negara miskin pada negara
industri maju.
Di sisi lain, meski menyatakan hanya Pancasila yang mampu
mengatasi kontradiksi antara komunisme dan kapitalisme, ada yang menarik pada
kecaman “Materi Balatkom” terhadap kapitalisme. Analisis dokumen itu,
sebagaimana diamati Honna, “menolak model masyarakat kapitalis-liberal dengan
mengadopsi perspektif neo-Marxis tentang kapitalisme dan sistem [ekonomi]
dunia”.
Yang dimaksud Honna sebagai perspektif “neo-Marxis”
mengacu pada teori ketergantungan yang dikembangkan para ilmuwan kiri Amerika
Latin. Gagasan ini diperkenalkan ke Indonesia pada 1970-an oleh intelektual
pembangkang seperti Arief Budiman dan menjadi amunisi kritik terhadap kebijakan
ekonomi Orde Baru.
Tentu tak ada yang salah ketika seorang tentara Indonesia
meraba ketimpangan ekonomi global lewat kacamata Marxis—apalagi pada 1980-an,
sebuah dekade yang mengawali restorasi kuasa mutlak kapital atas otoritas
negara. Namun, saking bisa diandalkannya, kacamata itu pernah lama dilarang beredar,
tak boleh dikenakan oleh orang biasa yang tak bersenjata, petani, pekerja,
guru, pelajar, ibu rumah tangga, atau siapapun yang dinilai aparat tak cukup
cakap menafsirkan dunia.
Bukan tidak mungkin jika ia akan kembali dilarang dan
hanya aparat yang berhak menggunakannya.
Penyusun “Materi Balatkom”, Mayjen Soebijakto, pernah
menjabat gubernur Lemhanas dan atase pertahanan Indonesia di Moskow. Selebihnya
ia dikenal sebagai ‘pakar komunis’ di tubuh ABRI, sebuah super-lembaga
yang—ketika pemodal asing mulai diizinkan masuk ke dunia perbankan
Indonesia—telah lama menjalankan yayasan-yayasannya untuk
mengoperasikan ratusan bisnis di berbagai sektor.
“Soebijakto,” catat Honna, “nampaknya paham kegunaan gagasan-gagasan Marxis”.
***
0 komentar:
Posting Komentar