Oleh: Petrik Matanasi - 15
Agustus 2016
Presiden Soekarno bersama Acmad Aidit. [Foto/narakata.com]
Proklamasi hanya butuh keberanian Bung Karno dan Bung
Hatta saja setelah pemuda-pemuda mendukungnya. Namun, tanpa pergerakan
pemuda-pemuda kiri—baik yang sosialis maupun yang komunis, Proklamasi tak akan
terjadi
Malam hari, 14 Agustus 1945, berita kekalahan Jepang pun
sampai ke telinga para pemuda. Radio BBC London pada siang harinya telah mengabarkan
soal menyerahnya Jepang kepada pasukan Sekutu di kapal USS Misouri. Kabar itu
tetap sampai ke telinga pemuda Indonesia meski tentara Jepang menyita hampir
semua radio milik rakyat.
Gerakan Antifasis Perlawanan anti Jepang berhasil
menyembunyikan sejumlah radio. Kelompok Syahrir, Amir Sjarifoedin, dan lainnya
menyembunyikan dengan baik radio-radio tersebut sehingga tetap dapat menerima
kabar-kabar dari luar. Ahmad Aidit mendengar berita itu. Dia bergegas menemui
Wikana, kawannya yang bekerja di untuk Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Jakarta
dalam wadah Asrama Indonesia Merdeka.
Aidit mengusulkan sebuah pertemuan. Wikana setuju.
Esoknya, pukul tujuh pagi, 15 Agustus 1945, sejumlah pemuda berkumpul di
belakang areal laboratorium Bakteriologi. Hadir antara lain Chaerul Saleh,
Djohar Nur, Pardjono, Armansjah, Subadio Sastrotomo , Suroto Kunto, Eri Sudewo,
Syarif Thayeb, Wahidin Nasution, Nasrun, Sukarni,Karimoedin, Adam Malik,
Darwis. Chaerul Saleh memimpin rapat itu.
Kebanyakan dari
mereka adalah dari Asrama Menteng 31. Sebagian dari mereka adalah pengikut
Sutan Syahrir, seorang sosisalis yang anti Jepang seperti Subadio Sastrotomo.
Ada juga pengagum Tan Malaka, seorang Trotsky yang beda paham dengan Stalin,
seperti Adam Malik, Sukarni juga Wikana. Sementara Ahmad Aidit yang belakangan
jadi Dipa Nusantara Aidit adalah komunis. Wikana meski bekerja untuk Kaigun,
masih memelihara hubungannya dengan Tan Malaka yang sepanjang pendudukan Jepang
bersembunyi di Bayah dengan nama samaran Husein.
Menurut Harry Poeze, yang banyak menulis Tan Malaka,
rumah Sukarni bahkan pernah dikunjungi Tan Malaka menjelang Proklamasi.
Mengancam Golongan Tua
Hasil rapat 15 Agustus itu memutuskan, Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit untuk bertemu Ir Soekarno alias Bung Karno. Mereka menuntut agar kemerdekaan diumumkan. Aidit mengusulkan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia.
Mengancam Golongan Tua
Hasil rapat 15 Agustus itu memutuskan, Suroto Kunto, Subadio, Wikana, dan Aidit untuk bertemu Ir Soekarno alias Bung Karno. Mereka menuntut agar kemerdekaan diumumkan. Aidit mengusulkan Bung Karno sebagai Presiden Indonesia.
Malam itu juga,
keempat pemuda tadi menemui Bung Karno di kediamannya, Pegangsaan Timur. Malam
itu banyak tokoh-tokoh tua berkumpul bersama Bung Karno, yang baru saja pulang
dari Saigon.
Sebagai juru
bicara pemuda-pemuda itu, Wikana mendesak Bung Karno untuk menyatakan
kemerdekaan Indonesia secepatnya. Jika perlu tanggal 16 Agustus 1945. Bung
Karno tak bisa ambil keputusan sendiri. Dia harus bicara pada tokoh-tokoh tua.
Tokoh-tokoh tua ini adalah orang-orang koperatif pada Balatentara Jepang.
Belakangan mereka disebut Golongan Tua. Lalu Wikana dan kawan-kawan pemudanya
disebut Golongan Muda. Wikana dan kawan-kawan pemudanya mempersilakan para
Golongan Tua untuk berunding di dalam rumah.
Sementara Wikana menunggu di beranda rumah bersama pemuda
lain. Lalu Mohamad Hatta alias Bung Hatta keluar dan mengatakan jika
tokoh-tokoh tua para pemimpin itu enggan secepatnya memproklamasikan
kemerdekaan, karena menanti penyerahan kekuasaan dari Balatentara Jepang.
Pemimpin-pemimpin tua itu tak mau didesak untuk mengumumkan proklamasi.
“Kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamasikannya, cobalah! Saya pun ingin lihat kesanggupan saudara-saudara...” kata Hatta pada para pemuda itu.
Dengan maksud agar mereka tidak salah langkah dan
merugikan banyak pihak. Para pemuda tentu masih pada pendirian mereka.
“Jika besok siang belum juga diumumkan, kami, para pemuda akan bertindak dan menunjukan kesanggupan yang saudara kehendaki,” ancam Wikana pada golongan tua tadi.
Termasuk kepada Hatta tentunya. Hatta sendiri, sebenarnya
sudah diperingati Syahrir suatu sore sepulang Hatta dari Saigon.
“Syahrir menjumpai Hatta, menceritakan kepadanya tentang cerita-cerita penyerahan itu, dan mendesaknya supaya membuat Proklamasi Kemerdekaan diluar kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dengan alasan bahwa sekutu yang menang pasti tidak mau berurusan dengan suatu negara yang disponsori Jepang,” tulis Ben Anderson dalam bukunya Revolusi Pemoeda (1988).
Argumen Syahrir itu agaknya sulit diterima oleh Hatta dan
golongan tua lainnya. Golongan Tua itu berpikiran, jika bala tentara Jepang di
Indonesia masih kuat. Orang-orang muda yang siap mati di masih sekitar Menteng
tentu jadi harapan Syahrir. Sejak sore 14 Agustus 1945, para pemuda itu mulai
bekerja demi sebuah proklamasi. Mereka rela melakukan apapun, termasuk
“menculik”.
Jelang Proklamasi
Setelah misi Wikana dan kawan-kawan
gagal, para pemuda itu sepakat untuk “menculik” pentolan Golongan Tua tadi.
Pagi dinihari 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta dibawa ke
Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Begitu juga Fatmawati dan Guntur yang masih kecil. Di
sekitar lokasi ini, pemuda dan orang-orang Indonesia yang pernah dilatih Jepang
dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) siap bertindak jika kemungkinan
terburuk terjadi.
Alasan penculikan itu untuk menghindari pengaruh Militer
Jepang. Di Rengasdengklok, mereka berunding lagi di rumah I Siong—seorang
keturunan Tionghoa. Namun, tetap saja Bung Karno enggan. Sampai akhirnya Ahmad
Subardjo datang menjemput Bung Karno dan Bung Hatta.
Meski sorenya Bung Hatta, Bung Karno beserta istrinya
Fatmawati dan bayinya Guntur, yang diculik itu pulang juga ke Jakarta. Di
Rengasdengklok ternyata bendera Jepang Hinomaru diturunkan dan ada pernyataan
kemerdekaan juga pada 16 Agustus itu. Sejumlah orang Jepang yang ditangkapi.
Di
Surabaya, menurut Abdul Haris Nasution dalam bukunya Bisikan Nurani Seorang
Jenderal (1997), Heiho pimpinan Sadikin sudah mengibarkan Merah Putih di unit
artileri Jepang tempat mereka bekerja. Mereka sudah dengar berita kekalahan
Jepang, segera mengambil alih pimpinan di tempatnya bekerja. Pengibaran bendera
Merah Putih hari itu adalah penyataan sikap juga.
Di Cirebon, sudah ada proklamasi kemerdekaan juga pada
tanggal 15 Agustus 1945 oleh Dokter Sudarsono. Menurut Aboe Bakar Loebis dalam
bukunya Kilas Balik Revolusi (1992), kelompok Syahrir di Cirebon adalah
penyelenggara dari proklamasi itu. Naskah titipan Syahrir dibacakan oleh Dokter
Sudarsono.
Sementara di Jakarta masih belum Proklamasi. Bung Hatta
dan Bung Karno tiba di Jakarta lagi sekitar senja tanggal 16 Agustus 1945.
Malamnya, di rumah perwakilan Kaigun di Jakata, Laksamana Maeda, Bung Karno
bersama tokoh lain dan sebagian pemuda berkumpul.
Laksamana Maeda yang kenal Wikana dan tokoh tua Indonesia
lain merelakan rumahnya. Barangkali Laksamana Maeda memakai pengaruhnya agar
pihak Rikugun (Angkatan Darat) tidak mengganggu acara yang esok akan dilakukan
oelh Wikana dan kawan-kawannya. Mereka rapat hingga dinihari. Di situ, naskah
Proklamasi ditulis oleh Bung Karno. Naskah itu lalu diketik rapi oleh Sayuti
Melik. Esok paginya, sebuah peristiwa besar disiapkan para pemuda. Tak hanya
yang terpelajar.
Menurut Vintje Sumual, dalam Pemimpin Yang Menatap Hanya
Ke Depan (1998), pemuda-pemuda yang biasa mangkal di sekitar Pasar Senen pun
bersiaga di jalanan. Banyak diantara mereka adalah orang-orang Sulawesi
pimpinan Jan Rapar.
Laksamana Maeda adalah pelindung dari orang-orang
Sulawesi yang ada di Jakarta. Sementara pemuda terpelajar, juga yang sudah jadi
PETA, di sekitar Jalan Pegangsaan Timur 56. Wikana dan kawan-kawannya
mempersiapkan acara. Mereka mengundang orang-orang yang belakangan jadi saksi
Proklamasi Indonesia. Semua akhirnya aman tanpa gangguan.
Pengeras suara disiapkan pagi itu. Sebuah tiang disiapkan
beserta bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati. Semua siap. Bung Karno
nyaris tak bisa membacakan Proklamasi karena demam. Wikana sempat khawatir.
Namun, Bung Karno akhirnya membacakan juga naskah bersejarah bagi Bangsa
Indonesia itu.
Setelah Proklamasi dibacakan pada pukul 10.00 oleh Bung
Karno, Latief Hendraningrat, komandan kompi di batalyon PETA Jakarta, yang
hadir di sana jadi pengerek bendera. Sementara yang lain menyanyikan Indonesia
Raya mengawal naiknya Bendera Merah Putih ke arah langit. Akhirnya usaha keras
pemuda-pemuda kiri, mulai yang sosialis hingga komunis itu sukses.
Indonesia berutang jasa para Wikana, Sukarni, Adam Malik,
Subadio Sastrotomo dan nama-nama lain yang panjang jika disebut satu persatu.
Pastinya, Indonesia juga berutang kepada D.N Aidit, Sang Ketua
PKI terakhir.
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah
Pramisti
D.N. Aidit ikut serta merencanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar