Oleh Andri Setiawan
Kekejaman Jepang dan sakit hati Pram mengilhami novel
Perburuan. Ditulis di penjara dalam waktu seminggu.
Adipati Dolken memerankan Hardo dalam film Perburuan (2019). (Twitter
CGV Cinemas).
Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara
senja hari. Sepagi anak lurah Kaliwangan telah disunati. Tamu-tamu telah habis
pulang. Senja rembang datang.
Begitulah Pram memulai ceritanya, Perburuan. Sejak
senja rembang 16 Agustus 1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan
diri. Setelah setengah tahun bersembunyi dari buruan Nippon, ia muncul di depan
rumah Ningsih, tunangannya. Hari itu adalahhari sunatan Ramli, adik Ningsih.
Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang-orang
Kaliwangan kenal. Saat itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut
gondrong dan lengket. Wajah kotor dan dipenuhi brewok. Tidak berbaju dan
telanjang kaki.
Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan
untuk memberontak. Menjadi pelariandi bukit batu padas dan bersembunyi di dalam
gua yang pekat. Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai
kapan Hardo akan bertahan?
“Sampai Nippon kalah,” kata Hardo.
Semangat Anti
Jepang
Hardo adalah mantan sodhanco. Ia memberontak bersama
dua sodhanco lainnya, Dipo dan Karmin, serta para shodan. Namun
sayang, pemberontakan kepada balatentara Dai Nippon itu gagal karena Karmin
berkhianat. Para pemberontakan pun harus mundur ke perbukitan dan hutan-hutan.
Kengerian masa penjajahan Jepang yang kemudian melahirkan
semangat anti-Jepang nampaknya mengilhami lahirnya novel Perburuan. Bagaimana
tidak, hal itu dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari Jepang memasuki kota
kelahirannya, Blora.
“Jepang mulai memperkosai wanita. Dua serdadu Jepang yang dihukum mati di alun-alun karena perkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja sampai nenek pada berbedak jelaga,” ungkap Pram dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang.
Dua bulan Jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu Pram
meninggal dunia. Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke Batavia.
Di Batavia, kengerian penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari
penyiksaan terhadap penduduk hingga pembunuhan karena kejahatan kecil.
Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninggalkan
sakit hati bagi Pram. Suatu hari ketika Pram sedang mengayuh sepedanya di
jalanan berlubang, tiba-tiba sebuah truk militer membunyikan klakson dari
belakang.
“Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: Nan da kurah! Dan mata melotot,” ingat Pram.
Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda).
Ketika seorang serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan
melemparkannya ke pinggir jalan lalu lari.
“Dari belakangku, meraung-raung dia: Bagero mae! Genjumin! Hanya rangkaian caci-maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram.
Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita Domei milik
Jepang. Ia harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan Jepang.
“Keadaan di luar dan di dalam diri sudah tidak tertahankan, Domei kutinggalkan,” ungkapnya.
Pram kabur ke Kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan
miskin bernama Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman.
Pada 23 Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar
proklamasi. Lewat Surabaya, Pram pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat
itu sedang diadakan pertunjukan sandiwara “Indonesia Merdeka”. Namun Pram hanya
menonton selama seperempat jam.
“Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih baik dari ‘Indonesia Merdeka’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti-Jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram.
Pram dan novel Perburuan.
Kebebasan dan
Revolusi
Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari
sandiwara ‘Indonesia Merdeka’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram
sedang dipenjara di Bukit Duri oleh Belanda.
Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari
dan kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat
Pram putus asa.
“Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram.
A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam
Imajinasi Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa pengalaman mistik Pram
dalam hubungan dengan penciptaan perburuan, datang sebagai semacam pencerahan
dan pembebasan ketika Pram mengalami krisis kejiwaan yang sangat parah.
Pengalaman yang disebut Pram sebagai mistikum itu,
lahirlah proses kreatif. Perburuan kemudian mulai ia tulis di dalam
penjara, di bawah tekanan serdadu Belanda.
“Ya, dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur,” kata Pram.
Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot
serdadu KNIL yang sedang meronda, Pram segera mengemas peralatan menulisnya.
Lalu di malam hari, Pram hanya bisa menulis di bawah ambin beton sambil
tengkurap dengan menggunakan lampu minyak. Karena jika tidak sembunyi, Pram
bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela sorong tempat para serdadu
mengintip.
“Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas di dapat dari sang pacar,” ungkap Pram.
Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap
berhasil menyelesaikan naskah itu. Pram merampungkan Perburuan hanya
dalam waktu satu minggu.
“Saya mengerjakan roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih memiliki kekuatan alamiah saya,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Kees Snoek yang terbit dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir.
Naskah itu kemudian diselundupkan oleh Dr. Mr. G.J.
Resink yang sering berkunjung ke penjara untuk menemui para mahasiswanya yang
ditahan.
“Resink menyerahkan naskah Perburuan kepada H.B. Jassin yang waktu itu sebagai redaktur Balai Pustaka,” tulis sastrawan Ajip Rosidi dalam Mengenang Orang Lain: Sebuah Obituari.
Oleh Jassin, naskah Perburuan diikutkan
sayembara tanpa sepengetahuan Pram. Novel itu menang dan kemudian diterbitkan
Balai Pustaka pada 1950.
A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang
mencuat tinggi dalam mencitrakan revolusi Indonesia baik dari jumlah karya
maupun mutunya.
“Segala aspek perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala grandeur et misere (keagungan dan kemelaratan) rakyat dicitrakannya, dan berkat penguasaan bahasanya, kekuatan gayanya, keaslian imajinasinya, ia berkali-kali berhasil mentransformasikan kenyataan hulu revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia yang sebagian besar dihayatinya dalam hidupnya sendiri menjadi epos, wiracerita,” tulis A Teeuw.
Mengutip A Teeuw, novel Perburuan ditutup Pram
dengan sebuah goro-goro. Ketika kabar Nippon kalah telah terdengar, tiba
saatnya Hardo kembali. Namun, terjadi kekacauan di Kawilangan. Dada Ningsih,
tunanganya, telah ditembus oleh peluru parabellum Jepang. Terbaring
di hadapan Hardo yang gugup, Ningsih mengembuskan napas terakhirnya.
Begitulah Pram mengakhiri ceritanya. Siang hari lewat jam
dua, 17 Agustus 1945. Ketika hawa kota Blora sampailah pada puncak
panasnya… panas yang mengganggang seluruh kota.
0 komentar:
Posting Komentar