Andreas JW
Ekspor kapital dari imperialis Belanda ke wilayah Hindia Timur yang merupakan jajahan Belanda, telah mempercepat wilayah itu menjadi kesatuan ekonomi dan politik. Berdirinya perusahaan-perusahaan perkebunan seperti karet, teh, kopi dan lain-lain; perusahaan transportasi untuk melayani perkembangan ekonomi, serta perusahaan-perusahaan modern lainnya, telah melahirkan kelas baru, ialah kelas buruh modern. Lahirnya kelas buruh sangat memengaruhi cara perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan imperialis Belanda dengan menggunakan cara-cara modern seperti kampanye pembentukan opini publik (pers); juga menggunakan organisasi modern mulai dari organisasi massa, organisasi kedaerahan sampai dengan organisasi politik. Begitu juga perjuangan untuk tuntutan-tuntutan reform sosial ekonomi dan politik. Puncaknya sampai berupa pemberontakan nasional bersenjata revolusioner. Sebelumnya yang terjadi adalah perang atau pemberontakan lokal yang dipimpin oleh tokoh-tokoh bangsawaan dan pemuka-pemuka masyarakat yang kedudukannya terdesak oleh penguasa kolonial Belanda.
Peranan pelopor kelas buruh dalam babak baru perjuangan melawan imperialis ditunjukkan oleh lahirnya Serikat Buruh Kereta Api bernama SS Bond (Staats Spoor Bond), di perusahaan kereta api milik Pemerintah Hindia Belanda pada 1905. Disusul pada tahun itu juga berdiri Post Bond (Serikat Buruh Pos). Peristiwa itu berarti terjadi tiga tahun sebelum lahirnya Budi Oetomo (20 Mei 1908), yang dinilai sebagai hari kebangkitan nasional.
Pimpinan dan sebagian besar keanggotaan SS Bond memang orang-orang Belanda. Namun mereka bukan orang-orang Belanda kapitalis, melainkan orang-orang Belanda yang melawan kapitalisme. Beberapa tahun kemudian lahirlah serikat buruh kereta api yang lebih besar, yang juga meliputi buruh kereta api swasta, yang keanggotaannya terdapat banyak orang-orang Indonesia, bernama VSTP (Vereniging van Spoor en Trem Personeel), atau Perhimpunan Personil Spur dan Trem.
Setelah itu berturut-turut lahir organisasi yang bersifat politik, seperti Serikat Dagang Islam, Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia atau ISDV (Indische Sosical Democratische Vereniging) yang istilahnya lalu berubah menjadi Party. Pimpinan ISDV terdiri dari orang-orang Belanda dan Indonesia. Organisasi politik ini yang menyebarkan Marxisme di Indonesia. Mereka bersama orang-orang SI Merah mendirikan PKI pada 23 Mei 1920, di Kota Semarang. PKI adalah partai politik yang pertama kali memakai nama Indonesia, yang lahir delapan tahun sebelum terjadinya Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).
Pada tahun 1926/1927 PKI memimpin pemberontakan nasional dengan tujuan menggulingkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda. Pemberontakan ini berwatak nasional, karena: Pertama, pemberontakan direncanakan dan dipimpin oleh suatu partai politik nasional, bukan kelompok politik lokal. Dan partai tersebut adalah partai kelas buruh.
Kedua, tujuannya adalah menggulingkan kekuasaan kolonial dan mendirikan kekuasaan politik rakyat Indonesia, atau Republik Indonesia. Marx dan Engels mengatakan, bahwa kelas buruh tidak dapat membebaskan diri dari penghisapan dan penindasn kapitalis, jika tidak membebaskan seluruh masyarakat dari penghisapan dan penindasan kapitalisme. Pemberontakan 1926/1927 di Indonesia bertujuan membebaskan seluruh masyarakat Indonesia dari kapitalisme.
Ketiga, pemberontakan itu terjadi di dua pulau utama, ialah di Jawa pada 1926 dan di Sumatera pada 1927. Meskipun pemberontakan dapat dikalahkan, namun ia telah memancangkan tonggak sejarah dalam perjuangan pembebasan rakyat Indonesia. Ia memberi pelajaran, bahwa perjuangan pembebasan nasional rakyat Indonesia dari penindasan kolonial tidak bisa dicapai melalui perang-perang lokal, seperti Perang Aceh, Perang Padri, Perang Diponegoro dan sebagainya. Pembebasan rakyat Indonesia harus melalui jalan perjuangan seluruh rakyat Indonesia yang berada dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Pembebasan rakyat hanya dapat diperoleh melalui jalan revolusi menghancurkan kekuasaan kolonial. PKI telah berusaha menempuh jalan tersebut dua tahun sebelum lahirnya “Sumpah Pemuda”.
Seperti telah dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, dalam keadaan surutnya gerakan revolusioner, sesudah kekalahan pemberontakan tahun 1926/1927, perjuangan rakyat Indonesia diwarnai oleh berkembangnya gerakan yang beraliran nasionalisme. Perkembangan ini diawali dengan terjadinya deklarasi “Sumpah Pemuda”.
Ditinjau dari kondisi konkret perkembangan ekonomi dan politik waktu itu, lahirnya nasionalisme Indonesia berbeda dengan lahirnya nasionalisme di Eropa. Di Eropa, nasionalisme lahir pada awal perkembangan kapitalisme. Sebagai ide, nasionalisme memainkan peranan mempercepat perkembangan kapitalisme, dengan mempersatukan penduduk dalam suatu wilayah tertentu, yang sedang tumbuh menjadi kesatuan ekonomi dan politik, serta menghapuskan bentuk-bentuk ekonomi dan politik feodal.
Namun nasionalisme di Indonesia tumbuh dan berkembang ketika kapitalisme telah berkembang mencapai tingkat tertinggi, yaitu imperialisme. Bila di Eropa berkembangnya kapitalisme menghapuskan feodalisme, tapi di Indonesia imperialisme yang datang dari Eropa dan berkuasa di Indonesia, justru tidak menghancurkannya, melainkan mempertahankannya. Dengan demikian kolonialisme merupakan perpaduan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Indonesia sebelum Revolusi Agustus 1945 adalah negeri jajahan dan setengah feodal.
Dalam suatu negeri yang dijajah oleh imperialis, tuntutan utama rakyat adalah membebaskan diri dari penindasan imperialis. Nasionalisme Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi negeri jajahan dan setengah feodal mempunyai watak anti-imperialis.
Soekarno, seorang tokoh nasionalis Indonesia paling terkemuka, dalam karyanya “Mencapai Indonesia Merdeka” (tahun 1933) mengatakan: “… pergerakan kita janganlah pergerakan kecil-kecilan, pergerakan kita itu haruslah pada hakekatnya suatu pergerakan yang ingin mengubah sama sekali sifatnya masyarakat, suatu pergerakan yang ingin menjebol kesakitan-kesakitan masyarakat sampai ke sulur-sulurnya dan akar-akarnya, suatu pergerakan yang sama sekali ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme. Pergerakan kita, jangan hanya rendahnya pajak, jangan hanya ingin tambahnya upah, jangan hanya ingin perbaikan kecil yang bisa tercapai hari sekarang, tetapi ia harus menuju kepada transformasi yang menjungkirbalikkan sama sekali sifatnya masyarakat itu, dari sifat imperialistis dan kapitalistis menjadi sifat yang sama-rasa dan sama-rata.”
Demikianlah nasionalisme Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam negeri jajahan dan setengah feodal mempunyai watak anti-imperialis. Tetapi berbeda dengan internasionalisme proletar, nasionalisme tidak memisahkan secara tegas kelas buruh dan rakyat pekerja lainnya dengan kelas borjuis. Pengalaman menunjukkan, bahwa kelas borjuis nasional tidak teguh dalam perjuangan melawan imperialis. Sebagian dari mereka mudah menyerah menghadapi tekanan kaum imperialis, lalu berubah menjadi borjuis komprador.
Ketika melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) Indonesia memperoleh “kemerdekaan”, lapisan atas borjuasi Indonesia menjadi kelas yang berkuasa dan merasa sudah tercapai cita-citanya. Kemerdekaan semacam itu bukanlah kemerdekaan sejati, melainkan hanya setengah merdeka. Kedudukan Indonesia semacam ini berlangsung hingga sekarang.
Sekarang Indonesia menjadi setengah jajahan AS. Dalam kedudukan Indonesia semacam itu, pemerintah Indonesia bukan pelindung kepentingan rakyat, melainkan pelindung kepentingan kapital monopoli asing (imperialis) dengan borjuis kompradornya, serta kapitalis birokrat dan tuan tanah. Meskipun pemerintah dipegang oleh orang-orang nasionalis, tapi kebijakan dan tindakannya tidak mewakili kepentingan nasional.
Seluruh kebijakan pemerintah Indonesia sekarang ini dikendalikan oleh negeri-negeri imperialis, khususnya AS; dan lembaga-lembaga keuangan internasional yang memberi pinjaman serta konsesi tertentu lainnya kepada pemerintah Indonesia. Hal ini merupakan salah satu ciri imperialisme Abad XXI. Imperialisme yang kini mengalami krisis umum berusaha mempertahankan keberadaannya dengan melaksanakan apa yang dinamakan globalisasi. Yaitu, menjadikan seluruh dunia satu pasar, dengan peraturan perdagangan bebas atau neo-liberalisme atau liberalisme gaya baru. Dalam tatanan semacam ini suatu negara tidak boleh membuat peraturan yang bersifat melindungi produksi dalam negerinya. Juga tidak boleh membuat peraturan yang mempersulit masuknya produk dari negeri lain. Pemerintah tidak boleh ikut mengurusi perusahaan-perusahaan, seperti adanya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah).
Akibatnya, Indonesia harus mengijinkan masuknya produk-produk luar negeri, meskipun barang-barang tersebut sudah bisa dihasilkan di dalam negeri. Akibat selanjutnya, produk dalam negeri Indonesia mengalami persaingan di pasaran dalam negeri dan ada di antaranya menjadi terdesak karena lebih mahal. Pemerintah harus melakukan privatisasi BUMN, dengan jalan menjual saham-sahamnya hingga menjadi milik modal swasta, termasuk asing. Tindakan demikian itu bertentangan dengan pendapat umum yang menghendaki agar negara bertanggung jawab mengenai kesejahteraan rakyat. Dari sini lalu lahir pendapat tentang kemerosotan nasionalisme. Nasionalisme Indonesia tergerogoti watak anti-imperialisnya, dan berubah menjadi nasionalis komprador.
Melihat kenyataan tersebut sebagian orang yang menamakan dirinya “kiri”, dan sebagian orang yang berasal dari golongan “kiri”, ikut memprihatinkan kemerosotan nasionalisme tersebut. Mereka berusaha mencari jalan keluar untuk “merevitalisasinya”. Mereka yang menggolongkan dirinya rakyat pekerja hendak merevolusionerkan nasionalisme menjadi milik rakyat pekerja dan menjadi nasionalisme rakyat pekerja. Mungkinkah usaha mereka itu?
Rakyat pekerja adalah kelas buruh, kaum tani, dan rakyat pekerja borjuis kecil lainnya; mereka bukan kelas penghisap dan hidup dengan melakukan kerja untuk dirinya sendiri. Dalam berbagai lapisan rakyat pekerja, kelas buruh adalah golongan yang paling tinggi kesadarannya, paling terorganisasi dan paling berdisiplin. Karena itu kelas buruh dengan partainya memiliki syarat-syarat untuk memimpin rakyat pekerja lainnya. Kesadaran kelas buruh bukan nasionalisme, tetapi internasionalisme proletar, termasuk patriotisme tanah airnya, seperti yang diterangkan di depan.
Kelas buruh seluruh dunia adalah sama: sama-sama ditindas oleh kapitalisme dan sama-sama berjuang untuk membebaskan dirinya. Rakyat pekerja non-kelas buruh adalah kekuatan besar yang secara obyektif berada dalam lingkup kepemimpinan kelas buruh. Jadi tidak mungkin ada “nasionalisme rakyat pekerja”.
Andreas JW
Kamis, 29 Agustus 2019
Tentang Nasionalisme Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar