Reza
Gunadha | Muhammad Yasir
Rabu, 21 Agustus 2019 |
07:15 WIB
Untuk orang-orang seperti saya, yang terkait peristiwa
1965, tentu sampai saat ini tidak bisa bilang bahwa kami sudah betul-betul
merdeka.
[Suara.com/Ema Rohimah]
Suara.com - Fisik boleh jadi bebas, tapi lebih dari
separuh hidup anak-anak DN
Aidit, Ketua CC PKI, tak bisa dikatakan merdeka. Namun, cinta mereka kepada
Tanah Air tak pernah tergerus.
PONSEL SAYA tiba-tiba bergetar ketika masih bercakap
bersama Sardjono Kartosoewirjo, putra mendiang pendiri sekaligus Imam Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia, di Malangbong, Garut, Jawa Barat, berbarengan
semburat senja yang baru mulai berpendar, Jumat (16/8/2019) pukul 17.59 WIB.
“Saya tinggal di alamat ini, Bandung,” sepotong pesan
WhatsApp dari seorang lelaki itulah yang membuat ponsel saya bergetar.
Kami—saya, videografer Adit dan kru sekaligus driver Subhan—langsung
berpamitan dengan Sardjono, bergegas menaiki mobil, menuju alamat yang dikirim
lelaki tersebut. Kami ingin mengejar waktu, agar ketika sampai di Bandung, hari
belum begitu larut.
Perjalanan dari Garut ke Bandung menghabiskan waktu tiga
jam. Pukul 21.20 WIB, kami tiba di lokasi sesuai alamat yang diberikan lelaki
itu. Alamat tersebut mengantarkan kami menuju sebuah rumah berlantai dua.
Rumah yang kami tuju sudah gelap. Bendera Merah Putih di
ujung tiang berkibar tertiup angin malam Bandung yang cukup dingin.
Tiang bendera itu diikat pada bagian pagar rumah yang
dicat hitam. Satu kendaraan mobil mini bus dan sepeda motor terpakir di garasi
rumah.
Lelaki mengenakan kemeja Charcoal dengan celana bahan
hitam keluar dari rumah mewah itu, ketika kami baru saja mematikan mesin mobil.
Dia sepertinya cukup peka mendengar suara mesin kendaraan
yang berhenti di depan kediamannya, atau mungkin memang lelaki itu sudah
menanti kedatangan kami.
“Bung Yasir?” tanya lelaki itu.
“Iya, Bung,” jawab saya.
“Silakan masuk, sama berapa orang?” tanyanya.
“Kami bertiga Bung”.
Saya kemudian memperkenalkan Adit dan Subhan kepada
lelaki itu: Ilham Aidit,
putra keempat Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit.
“Ayo, masuk,” kata lelaki yang memiliki wajah mirip dengan ayahnya itu mempersilakan.
Enam foto yang terbingkai terpajang di dinding sebelah
kiri saat memasuki pintu utama. Lima foto dalam bingkai yang berukuran kecil,
dipampang mengitari satu bingkai ukuran poster berisi potret Presiden pertama
RI Bung Karno tengah bercengkerama dengan DN Aidit.
“Itu foto pas di Istana Merdeka,” kata Ilham Aidit.
***
SEORANG PEREMPUAN yang terlihat jauh lebih muda dari
Ilham Aidit sibuk menyiapkan makanan di meja makan.
Ruang meja makan itu berada pada posisi yang menghadap
langsung ke ruang tamu, tempat kami diterima sang empu rumah.
Ilham memperkenalkan kami kepada perempuan itu yang tak
lain adalah istrinya.
“Anak-anak sampai sekarang tidak tahu kalau mereka cucunya DN Aidit,” kata istri Ilham kepada kami.
Foto-foto yang terpajang di rumah Ilham Aidit. [Suara.com/Muhammad
Yasir]
Kerapkali, memasuki bulan September, media massa mengulas
tragedi pembunuhan tujuh perwira tinggi mililer Indonesia atau biasa disebut
peristiwa Gerakan 30 September 1965—yang sebenarnya terjadi pada tanggal 1
Oktober dini hari.
Ilham Aidit, sebagai putra Ketua CC PKI DN Aidit,
beberapa kali diundang menjadi narasumber media massa untuk menjelaskan sejarah
sebenarnya yang dinilai sudah banyak direkayasa oleh Soeharto, penguasa Orde Baru.
“Bapak masuk televisi ya?” kata istri Ilham Aidit menirukan pertanyaan anaknya tiap melihat ayahnya menjadi narasumber.
Dia lantas tertawa saat mengatakan,
"Mereka mah senang, mengira, oh bapaknya artis. Padahal mengerikan, buat saya aja mengerikan he-he-he-he."
Sang istri mengetahui Ilham adalah putra DN Aidit saat
keduanya hendak melangsungkan pernikahan. Dia tahu ketika membaca salah satu
artikel dalam surat kabar.
Awalnya dia merasa kaget, hingga membawa surat kabar
tersebut kepada orang tuanya. Beruntung, orang tua istri Ilham Aidit tidak
terlalu menyoal latar belakang calon menantunya.
Akhirnya, mereka menikah tahun 2004 dan kekinian sudah
dikaruniai dua orang anak laki-laki.
“Tapi setelah menikah, terus tahu bahwa itu diulasnya dahsyat, mamah saya bilang ‘jangan suruh dia wawancara lagi, jangan, sudah… sudah… sudah...” kata istri ilham Aidit.
“Saya juga selalu wanti-wanti, sudah enggak usah masuk televisi, mau masuk tv berapa kali juga tetap begitu, enggak ada perubahan.”
Menjadi istri putra pemimpin PKI bukan hal mudah. Pada
awal pernikahannya, istri Ilham sempat diteror ketika menetap di Bali.
Rumah mereka dilempari oleh batu, hingga diintai oleh
orang-orang tak di kenal. Kejadian tersebut terjadi pada bulan September 2004.
Sang istri berapa kali kerap bertanya pada Ilham Aidit
terkait peristiwa tahun 65. Sebab, dia hanya tahu tragedi itu berdasar film
dokudrama propaganda berjudul “Pengkhianatan G30SPKI” karya Arifin C
Noer, yang wajib ditonton ketika masih duduk di bangku sekolah.
Film itu, pada era 80-an hingga 90-an, menjadi modal
Presiden Soeharto memberikan penjelasan tentang tragedi 65 versinya sendiri.
Film tersebut disponsori pemerintah Orba dengan anggaran Rp 800 juta.
“Saya nanya, aku mah dulu dengernya PKI itu pembunuh, kok bisa sih sampai diputar-balikkan sampai beberapa tahun. Sampai sekarang juga memang enggak selesai-selesai. Yang masih jadi pikiran dan pertanyaan, kok bisa sih sampai begitu?” kata istri Ilham Aidit.
Ilham langsung menimpali, “Dari situ saya bisa tahu bahwa propaganda itu memang luar biasa melekat. Saya beda umur sama istri, 21 tahun. Generasi dia itu melekat bener bahwa cerita versinya seperti itu (film Pengkhianatan G30SPKI).”
Harapan Ilham Aidit, pembodohan melalui film propaganda
tersebut akan berakhir pascareformasi. Karenanya, Ilham terkaget-kaget saat
tahun 2017, Gatot Nurmantyo saat menjabat sebagai Panglima TNI Jenderal,
mewajibkan prajurit menonton film Pengkhianatan G30SPKI.
Instruksi Gatot Nurmantyo membuat Ilham Aidit marah.
Baginya, apa yang diinstruksikan Gatot Nurmatyo hanya akan kembali menanamkan
kebodohan kepada generasi bangsa, perihal sejarah yang telah direkayasa Orde
Baru.
“Saya marah besar, itu pembodohan ulang, dulu ada suatu generasi yang dibodohi, setelah reformasi berharap akan lebih baik dan terbuka.”
“Gila saya bilang, ini generasi mau dibohongi berapa kali,” gugat Ilham.
Ilham Aidit [Suara.com/Adit]
Perpisahan Malam
Jahanam
TERDENGAR SUARA ribut-ribut di sebuah rumah bilangan
Jalan Pegangsaan Barat, Jakarta Pusat, Kamis malam, 30 September 1965.
Hari sudah mendekati tengah malam, sekitar pukul 23.00
WIB, dua mobil berhenti di depan rumah. Sejumlah orang turun dan mengetuk
rumah.
DN Aidit, ketua partai yang mendominasi jagat politik
Indonesia, dan sang istri menemui mereka. Orang-orang itu meminta izin
menjemput dan mengawal Aidit ke Istana Presiden.
“Kenapa harus malam-malam seperti ini? Kenapa enggak besok pagi saja?” kata Soetanti, bersitegang dengan para penjemput.
”Maaf bu, ini agak mendesak,” jawab si penjemput.
Soetanti kekeh, dia tetap marah-marah kenapa sang suami
dapat perintah malam-malam begitu, dan mendadak pula.
”Maaf bu, pak, ini perintah Paduka Yang Mulia Bung Karno,” kata penjemput, tak mau kalah.
Mendengar nama Paduka Yang Mulia Bung Karno, amarah Soetanti
mereda. Ia mengalah, mempersilakan suaminya untuk pergi.
DN Aidit lantas masuk ke kamar untuk berganti pakaian.
Tak lama, dia keluar kamar dan memasuki mobil. Gayanya santai.
Sepasang mata bocah berusia 6 tahun 3 bulan mengikuti
langkah DN Aidit sejak keluar kamar.
Sebelum pergi, Aidit sempat menggendong anak itu
tinggi-tinggi hingga mata mereka bisa beradu pandang.
Aidit juga sempat berbicara kepada Soetanti. Bocah kecil
dalam gendongan Aidit tak tahu apa yang dibicarakan mama dan papanya.
Akhirnya, Aidit menurunkan bocah itu. Waktunya pergi.
Sementara kedua mata bocah itu terus memandangi sang papa mulai dari pintu
rumah, menaiki mobil, hingga melesat berlalu.
Bocah itu Ilham Aidit, putra keempat DN Aidit. Hingga
bertahun-tahun berlalu, dia yakin papanya dijemput tanggal 30 September 1965
pukul 23.00 WIB.
Njoto (kanan berkacamata) dan Ketua CC PKI DN Aidit. [Dok. majalah
Life]
Ilham kecil tahu benar lantaran dirinya menghafal suara
denting jam dinding rumahnya. Dia sudah terbiasa menghitung denting jam dinding
di rumahnya.
Bertahun-tahun setelahnya, Ilham baru menyadari itu
adalah kali terakhir dirinya dalam gendongan papa.
Tiga hari setelah DN Aidit dijemput ke istana, 3 Oktober
1965, enam jenazah jenderal TNI AD dan satu perwira menengah ditemukan di dalam
sumur berdiameter 75 sentimeter dengan kedalaman 12 meter yang kekinian dikenal
sebagai sumur Lubang Buaya, di Jakarta Timur.
Situasi mulai memanas. Sekitar satu minggu setelah
ditemukannya enam jenazah jenderal TNI AD dan satu perwira menengah di sumur
Lubang Buaya, tuduhan dalang peristiwa tersebut mulai menyasar kepada PKI.
Ilham Aidit bersama saudara kembarnya Irfan Aidit, dan
kakak mereka Iwan Aidit, dititipkan kepada adik ibunya di Bandung.
Sementara dua kakak perempuannya Ibarruri Putri Alam dan
Ilya Aidit memang sedari kecil sudah tinggal di Moskow—kala itu ibu kota Uni
Soviet.
Ternyata, situasi di Bandung turut memanas.
Tulisan-tulisan ‘Bubarkan PKI’ dan ‘Gantung DN Aidit’ tersebar di
dinding-dinding gang, sekolah, dan tempat sampah.
Ilham yang sudah bisa membaca, gemetar tiap kali membaca
grafiti-grafiti di dinding itu. Dalam benaknya muncul pikiran, “Papa dimusuhi
banyak orang.”
Secara naluriah, Ilham berpikir, kehidupannya bakal
seratus delapan puluh derajat berubah. “Sejak saat ini, hidupku bakal lebih
sulit,” kata Ilham dalam hati.
Hampir sebulan berlalu, 23 November 1965, Ilham membaca
kabar duka pada dua surat kabar milik TNI, Berita Yudha dan
harian Angkatan Bersenjata: DN Aidit ditembak mati di Boyolali, Jawa
Tengah.
Ilham Aidit [Suara.com/Adit]
Ilham hanya bisa mengingat detik-detik terakhir papa
meninggalkan rumah pada malam 30 September. Ternyata benar nalurinya, itu
adalah perjumpaan terakhirnya dengan papa.
Kabar buruk kembali mendatangi Ihlam pada bulan Maret
1966. Ibunya, Soetanti dikabarkan dipenjara. Ilham Aidit mengetahui kabar itu
dari bibi dan pamannya di Bandung.
“Ibumu sekarang dipenjara, penjaranya di Bukit Duri,” kata bibi kepada Ilham.
Ilham kerapkali berpindah tangan, diurus oleh sejumlah
orang tua angkat setelah ditinggal papa dan mama.
Sejak tahun 1965 hingga 1992 atau hampir 27 tahun pula,
Ilham tak pernah bersua maupun bisa mengontak kedua kakak perempuannya,
Ibarruri Putri Alam dan Ilya Aidit, yang terpaksa menetap di Moskow dan China.
***
SUATU HARI tahun 1992, Ilham mendapat nomor telepon
Ibarruri. Mereka banyak berbincang via telepon.
“Melalui telepon, kami berbicara banyak. Kakak saya tinggal di Prancis sebagai pelarian politik. Dia meminta saya datang ke sana,” kata Ilham.
”Soal pertemuan terakhir dengan papa, apa yang sekarang bisa bung simpulkan soal itu?” tanya saya.
“DN Aidit sebagai dalang kudeta 30 September itu sangat meragukan. Malam itu, saya lihat, papa sangat... sangat... sangat... santai.”
”Dia diminta datang ke istana oleh Bung Karno untuk dimintakan klarifikasi soal isu Dewan Jenderal. Saya yakin papa mengetahui hal itu.”
”Tapi bahwa DN Aidit merencanakan lubang buaya, penculikan, saya yakin tak seperti itu,” kata Ilham, serius.
Bully yang Merajam
NAMA AIDIT yang melekat padanya, berubah bak kutukan bagi
Ilham setelah tragedi politik serta kemanusiaan 1965.
Semasa duduk di bangku SMP, Ilham Aidit kerap diejek oleh
sebagian temannya. “Aidit Gantung” atau “anak PKI” menjadi perisakan yang
dialamatkan kepada Ilham sehari-hari.
Ilham anak yang kuat dan pemberani. Tak jarang ia
berkelahi karena tak terima ada seseorang yang menghina papanya.
“Kehidupan saya yang paling rumit itu SMP. Kalau diledek sedikit, berantem. Jadi saya masih ingat, seminggu itu ada dua kali berantem,” kata Ilham.
“Saya babak belur juga, karena waktu SMP, pikiran saya belum matang.
Jadi, kalau ada yang meledek, menghina papa, saya pikir harus dilawan dengan pukulan.”
Sikap Ilham menghadapi perundungan berubah total setelah
dirinya dipanggil menghadap seorang pastor asal Belanda yang mengelola SMP-nya.
Sang pastor mengakui kepada Ilham, dirinya mengetahui
latar belakang keluarganya. Pastor itu pula yang mengingatkan Ilham Aidit untuk
tidak terlalu menghiraukan ejekan sebagian temannya.
Ilham diminta tak ambil pusing terhadap perisakan, karena
justru dapat merugikan dirinya. Apalagi, akibat sering berkelahi, nilai
akademik Ilham Aidit semakin menurun.
“Dia mengajarkan saya untuk mengabaikan bullying itu. Dan saya merasa semenjak itu saya betul-betul disiplin.”
Ilham Aidit [Suara.com/Adit]
Diskriminasi sebagai anak PKI tidak hanya dirasakan Ilham
Aidit kecil. Selepas tamat kuliah, Ilham Aidit masih merasakan betapa tak
merdekanya dia di tengah alam kemerdekaan.
Sekitar tahun 1988, banyak peraturan-peraturan pemerintah
yang melarang bagi siapa pun yang terlibat langsung maupun tak langsung dengan
PKI untuk menjadi pegawai negeri sipil.
“Jadi guru tidak boleh, PNS juga, TNI apalagi. Diskriminasi seperti itu berjalan puluhan tahun,” kenangnya.
Tapi Ilham Aidit keras kepala. Ia sempat mencoba tes
sebagai CPNS. Ilham mengisi seluruh daftar riwayat hidupnya saat melamar, apa
adanya. Pada kolom nama orang tua, Ilham menuliskan: Dipa Nusantara Aidit.
Ilham Aidit sadar betul dirinya tidak akan diloloskan.
Namun, hal itu dia lakukan semata-mata untuk membuktikan apakah benar anak
seorang PKI tidak bisa mencalonkan diri sebagai PNS.
“Saya sudah tahu, tapi saya hanya pengin mencoba, benar atau enggak, ternyata benar. Sudah, jangan harap jadi PNS, saat itu tidak bisa.”
Kini, ketika Indonesia merayakan 74 tahun kemerdekaannya,
Ilham mengakui diskriminasi seperti pada era Orba tak lagi kental dirasakan.
Kebebasan berpendapat dan berbicara sebagai seorang
keturunan PKI jauh lebih baik jika dibandingkan saat di masa rezim orde baru.
Namun, bagi Ilham Aidit, kemerdekaan yang dirasakannya
sebagai anak keturunan PKI, apalagi putra DN Aidit, tidaklah sama dengan warga
negara Indonesia lain.
Stigma terhadap PKI dan DN Aidit sebagai dalang tragedi
berdarah 1965 masih cukup kuat tertanam pada benak masyarakat, akibat
propaganda Orde Baru.
“Untuk orang-orang seperti saya, yang terkait peristiwa 1965, tentu sampai saat ini tidak bisa bilang bahwa kami sudah betul-betul merdeka.”
0 komentar:
Posting Komentar