Kamis, 08 Agustus 2019

Razia Buku Itu Tindakan yang Bodoh


Rionanda Dhamma Putra | Mahasiswa

sulselsatu.com

Setelah tulisan Takut Kok Sama Komunis terbit, drama razia buku masih berlanjut. Seperti sinetron Cinta Fitri yang berlangsung berjilid-jilid. 

Kali ini, razia buku berlanjut ke Gramedia Trans Studio Mall Makassar. Empat orang pemuda bertindak layaknya “penegak hukum” dengan mengambil semua buku yang dianggap Marxis. Mulai dari buku bersampul Marx sampai buku berjudul “Marxis”.

Foto razia tersebut sudah tersebar di berbagai media sosial. Di antara buku-buku tersebut, terdapat buku karya Franz Magnis-Suseno. 
Melihat hal ini, berbagai reaksi langsung bercampur aduk. Antara ingin tertawa, tetapi miris juga melihatnya. Mengapa?
Fakta ini mencerminkan  kurangnya literasi masyarakat kita.

Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis) adalah seorang rohaniawan Katolik dan budayawan Indonesia. Ia dikenal sebagai intelektual yang anti-Marxis. Dari Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme sampai Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Romo Magnis mengkritik habis Marxisme in all its forms. 

Bahkan, Romo Magnis menyatakan Marxisme sebagai sebuah fosil.
 "Marxisme tidak lebih dari ideologi perjuangan buruh industri akhir abad ke 19, dia sekarang tidak akan lebih menarik perhatian daripada pemikiran Michail Bakunin dan Robert Owen,” tulisnya. Selain itu, Marxisme tidak cocok diterapkan di Indonesia yang demokratis dan pluralis.

Mengapa? Sebab Marxisme memerlukan sebuah kediktatoran proletariat untuk memulai pembangunan sebuah masyarakat sosialis. Kediktatoran ini harus mampu mengatur segenap kehidupan masyarakat, seperti sebuah mesin besar. And it must not tolerate any opposition. Dampaknya, semua oposisi terhadap pemerintahan ini dianggap sebagai “borjuis reaksioner” yang harus ditumpas.

Padahal, oposisi adalah pelaksana check and balance sebagai mekanisme dasar demokrasi. Tidak ada oposisi, tidak ada demokrasi. Apalagi jika ketiadaan oposisi itu dipaksakan oleh sebuah kediktatoran. Ini adalah sebuah antitesis dari demokrasi sebagai cara memerintah suatu negara.

Tetapi, tidak menyetujui bukan berarti menutup akses pembelajaran terhadap ideologi tersebut. Justru, Romo Magnis percaya bahwa Marxisme harus dipelajari dengan pandangan kritis dan ilmiah. Ini diperlukan agar seluruh rakyat Indonesia paham mengapa Marxisme harus kita lawan. It is a spectre that haunts our freedom and democracy.

Masalahnya, rakyat Indonesia tidak pernah memahami musuhnya sendiri. Banyak manusia Indonesia belum paham mengapa Marxisme-Leninisme harus dilawan. Kebanyakan dari kita masih melawan Marxisme karena memori G30S/PKI atau Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Jadinya, kita seperti seorang petarung buta. Main pukul membabi buta ke segala arah, tanpa melihat dan memahami lawan.

Razia buku kemarin adalah contoh pukulan membabi buta tersebut. “Pukulan” seperti ini bukanlah perlawanan yang efektif. Justru, kita menjadi bahan tertawaan banyak pihak, terutama pihak-pihak pro-Marxis dan Gerakan Kiri secara umum. Kita ditertawakan karena ketidakmampuan membedakan literatur pro dan anti-Marxis. Menandakan kurangnya literasi di antara masyarakat kita.

Lantas, bagaimana melawan Marxisme di era mobilisasi ini?

Pertama, cabut Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Menurut hemat penulis, legislasi ini adalah blindfold yang menutup mata masyarakat terhadap Marxisme-Leninisme. Dampaknya, landasan posisi Indonesia sebagai lawan Marxisme-Leninisme menjadi rapuh. Ia hanya berlandaskan koersi pemerintah di era yang lalu. Bukan karena posisi ideologis yang diambil berdasarkan studi empiris-kritis.

Maka, kita harus memulai studi empiris-kritis yang lebih luas pada Marxisme-Leninisme. Ciptakanlah sebuah mobilisasi literasi ideologi yang baik dalam masyarakat kita. Ini diperlukan agar kita mengetahui segenap kelebihan dan kekurangan Marxisme. Lantas, kekurangan inilah yang menjadi fokus serangan kita.

Bagaimana cara memulainya?

Pertama, pemerintah harus melindungi literatur dan diskusi ideologi Kiri dari persekusi. Dari upaya ini, diharapkan muncul sebuah pemahaman baru tentang Marxisme-Leninisme dalam masyarakat. Agar Marxisme tidak lagi menjadi hantu yang ditakuti, melainkan sebuah musuh yang kita pahami cacat dan bobroknya.

Kedua, pendidikan ideologi juga harus diperkuat dalam sistem pendidikan kita. Harusnya, pelajaran PKn di SMP dan SMA tidak hanya menjadi  outlet pendidikan Pancasila. Ia juga harus mampu membandingkan Pancasila dengan ideologi-ideologi lain secara objektif. Terutama dengan Marxisme-Leninisme yang sempat berpengaruh besar terhadap alam pikiran founding fathers kita.

Kalau ketiganya berhasil dilakukan, perlawanan kita terhadap Marxisme pasti jauh lebih efektif. Kita bisa mempunyai sebuah posisi ideologis yang Anti-Marxis karena studi empiris-kritis. 

Selain itu, perlawanan ini juga berdasar pada literasi ideologi yang baik. Dengan kata lain, kita menjadi petarung yang terbuka matanya. Tidak lagi memukul lawan secara serampangan dan mampu memahami segenap kelemahannya

Kesimpulannya, perlawanan terhadap Marxisme harus dilakukan dengan literasi ideologi yang baik di masyarakat. Kalau tidak, tindakan-tindakan bodoh seperti razia buku akan berlanjut di masa depan. Bukannya memenangkan peperangan, kita justru menjadi bahan tertawaan.

Mari perluas literasi ideologi kita. Kuliti kontradiksi Marxisme sampai ke akar-akarnya. Tunjukkan bahwa kita adalah bangsa pemenang, bangsa yang berani mengkonfrontasi segala ideologi yang mengancam.

0 komentar:

Posting Komentar