Rionanda Dhamma Putra | Mahasiswa
sulselsatu.com
Setelah tulisan Takut
Kok Sama Komunis terbit, drama razia buku masih berlanjut. Seperti
sinetron Cinta Fitri yang berlangsung berjilid-jilid.
Kali ini, razia buku berlanjut ke Gramedia Trans Studio Mall Makassar.
Empat orang pemuda bertindak layaknya “penegak hukum” dengan mengambil semua
buku yang dianggap Marxis. Mulai dari buku bersampul Marx sampai buku berjudul
“Marxis”.
Foto razia tersebut sudah tersebar di berbagai media
sosial. Di antara buku-buku tersebut, terdapat buku karya Franz
Magnis-Suseno.
Melihat hal ini, berbagai reaksi langsung bercampur aduk.
Antara ingin tertawa, tetapi miris juga melihatnya. Mengapa?
Fakta ini mencerminkan kurangnya literasi masyarakat kita.
Franz Magnis-Suseno (Romo Magnis) adalah seorang
rohaniawan Katolik dan budayawan Indonesia. Ia dikenal sebagai intelektual yang
anti-Marxis. Dari Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme sampai Dari Mao ke Marcuse: Percikan
Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Romo Magnis mengkritik habis Marxisme in all
its forms.
Bahkan, Romo Magnis menyatakan Marxisme sebagai sebuah
fosil.
"Marxisme
tidak lebih dari ideologi perjuangan buruh industri akhir abad ke 19, dia
sekarang tidak akan lebih menarik perhatian daripada pemikiran Michail Bakunin
dan Robert Owen,” tulisnya. Selain itu, Marxisme tidak cocok diterapkan di Indonesia yang demokratis
dan pluralis.
Mengapa? Sebab Marxisme memerlukan sebuah kediktatoran
proletariat untuk memulai pembangunan sebuah masyarakat sosialis. Kediktatoran
ini harus mampu mengatur segenap kehidupan masyarakat, seperti sebuah mesin
besar. And it must not tolerate any opposition. Dampaknya, semua oposisi
terhadap pemerintahan ini dianggap sebagai “borjuis reaksioner” yang harus
ditumpas.
Padahal, oposisi adalah pelaksana check and
balance sebagai mekanisme dasar demokrasi. Tidak ada oposisi, tidak ada
demokrasi. Apalagi jika ketiadaan oposisi itu dipaksakan oleh sebuah
kediktatoran. Ini adalah sebuah antitesis dari demokrasi sebagai cara
memerintah suatu negara.
Tetapi, tidak menyetujui bukan berarti menutup akses
pembelajaran terhadap ideologi tersebut. Justru, Romo Magnis percaya bahwa
Marxisme harus dipelajari dengan pandangan kritis dan ilmiah.
Ini diperlukan agar seluruh rakyat Indonesia paham mengapa Marxisme harus kita
lawan. It is a spectre that haunts our freedom and democracy.
Masalahnya, rakyat Indonesia tidak pernah memahami
musuhnya sendiri. Banyak manusia Indonesia belum paham mengapa
Marxisme-Leninisme harus dilawan. Kebanyakan dari kita masih melawan Marxisme
karena memori G30S/PKI atau Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Jadinya, kita seperti
seorang petarung buta. Main pukul membabi buta ke segala arah, tanpa melihat
dan memahami lawan.
Razia buku kemarin adalah contoh pukulan membabi buta
tersebut. “Pukulan” seperti ini bukanlah perlawanan yang efektif. Justru, kita
menjadi bahan tertawaan banyak pihak, terutama pihak-pihak pro-Marxis dan
Gerakan Kiri secara umum. Kita ditertawakan karena ketidakmampuan membedakan
literatur pro dan anti-Marxis. Menandakan kurangnya literasi di antara
masyarakat kita.
Lantas, bagaimana melawan Marxisme di era mobilisasi ini?
Pertama, cabut Tap MPRS No. 25 Tahun 1966. Menurut hemat
penulis, legislasi ini adalah blindfold yang menutup mata masyarakat
terhadap Marxisme-Leninisme. Dampaknya, landasan posisi Indonesia sebagai lawan
Marxisme-Leninisme menjadi rapuh. Ia hanya berlandaskan koersi pemerintah di
era yang lalu. Bukan karena posisi ideologis yang diambil berdasarkan studi
empiris-kritis.
Maka, kita harus memulai studi empiris-kritis yang lebih
luas pada Marxisme-Leninisme. Ciptakanlah sebuah mobilisasi literasi ideologi
yang baik dalam masyarakat kita. Ini diperlukan agar kita mengetahui segenap
kelebihan dan kekurangan Marxisme. Lantas, kekurangan inilah yang menjadi fokus
serangan kita.
Bagaimana cara memulainya?
Pertama, pemerintah harus melindungi literatur dan
diskusi ideologi Kiri dari persekusi. Dari upaya ini, diharapkan muncul sebuah
pemahaman baru tentang Marxisme-Leninisme dalam masyarakat. Agar Marxisme tidak
lagi menjadi hantu yang ditakuti, melainkan sebuah musuh yang kita pahami cacat
dan bobroknya.
Kedua, pendidikan ideologi juga harus diperkuat dalam
sistem pendidikan kita. Harusnya, pelajaran PKn di SMP dan SMA tidak hanya
menjadi outlet pendidikan Pancasila. Ia juga harus mampu
membandingkan Pancasila dengan ideologi-ideologi lain secara objektif. Terutama
dengan Marxisme-Leninisme yang sempat berpengaruh besar terhadap alam
pikiran founding fathers kita.
Kalau ketiganya berhasil dilakukan, perlawanan kita
terhadap Marxisme pasti jauh lebih efektif. Kita bisa mempunyai sebuah posisi
ideologis yang Anti-Marxis karena studi empiris-kritis.
Selain itu, perlawanan ini juga berdasar pada literasi
ideologi yang baik. Dengan kata lain, kita menjadi petarung yang terbuka
matanya. Tidak lagi memukul lawan secara serampangan dan mampu memahami segenap
kelemahannya
Kesimpulannya, perlawanan terhadap Marxisme harus
dilakukan dengan literasi ideologi yang baik di masyarakat. Kalau tidak,
tindakan-tindakan bodoh seperti razia buku akan berlanjut di masa depan.
Bukannya memenangkan peperangan, kita justru menjadi bahan tertawaan.
Mari perluas literasi ideologi kita. Kuliti kontradiksi
Marxisme sampai ke akar-akarnya. Tunjukkan bahwa kita adalah bangsa pemenang,
bangsa yang berani mengkonfrontasi segala ideologi yang mengancam.
0 komentar:
Posting Komentar