Reporter: Dewi Nurita
Editor: Syailendra
Persada
Senin, 2 September 2019
09:55 WIB
Amarzan Ismail Hamid atau yang dikenal Amarzan Loebis menghadiri acara
bulanan `Teras Budaya` yang digelar di gedung Tempo, Jakarta, 11 Desember 2015.
Amarzan yang merupakan redaktur senior Tempo, puisi-puisinya menyebar di banyak
penerbitan, yang sedang disiapkan menjadi kumpulan `Memilih Jalan ke Guci`.
TEMPO/Wahyurizal Hermanuaji
Jakarta - Wartawan Senior
Amarzan Ismail Hamid atau Amarzan Loebis meninggal di usia 78 tahun pada Senin,
2 September 2019. Semasa hidup, dia pernah diasingkan ke Pulau Buru, Maluku
oleh rezim orde baru. Cerita ini terjadi ketika Amarzan menjadi redaktur Koran
Harian Rakyat, media yang dianggap dekat dengan gerakan kiri.
Selama 12 tahun hidup di pengasingan, Amarzan
memiliki banyak pengalaman. Dia menyesalkan tak ada lagi bekas bangunan yang
tertinggal di tempat pembuangan tahanan politik itu.
Barak-barak yang dulu menjadi tempat tidur para tahanan
di 22 unit sejak lama dihancurkan. Tak ada lagi jejak untuk sekedar mengingat
sejarah.
"Bangunan kamp sudah diratakan untuk menghapus jejak. Tidak ada lagi bangunan yang ditinggalkan. Padahal kalau ditinggalkan, ya saya kira bagus untuk obyek wisata sejarah," ujar dia di sebuah wawancara dengan Tempo Institute pada 2012.
"Bagaimana kita bisa punya sejarah, wong kita merusak sejarah kita sendiri".
Bagi Amarzan, diasingkan ke Pulau Buru menyisakan
kenangan pahit tentang rezim Soeharto. Pada tahun 1965 adalah awal berkuasanya
rezim yang sangat otoriter, tak percaya demokrasi, tak peduli hak asasi
manusia, dan tak mau mendengar perbedaan pendapat.
Ketika itu, rezim Soeharto dapat menangkap siapa saja
yang mengkritik pemerintah, tanpa proses pengadilan.
"Hal yang paling sulit dilupakan, Soeharto merampas usia produktif saya. Ditahan usia 27, dilepaskan usia 39 tahun. Saya keluar, teman-teman saya sudah jadi doktor," kata Amarzan.
0 komentar:
Posting Komentar