Rabu, 20 April 2016

[SETENGAH ABAD MENANGGUNG LUKA]

BAGIAN III | LIMA KEPING REKOMENDASI

"Ujungnya untuk pemerintah mungkin menyesalkan," ucap Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan ketika diberondong pertanyaan wartawan di kantornya, Rabu (18/5/2016). 
Tiga jam sebelumnya, purnawirawan TNI ini menerima dua anggota Tim Perumus Simposium Nasional 1965, Agus Widjojo dan Roichatul Aswidah. Tujuannya; menyerahkan hasil rekomendasi tim yang hampir sebulan digodok.

Luhut tak banyak bicara malam itu. Ia justru kembali menegaskan, bahwa desakan agar pemerintah menyatakan permintaan maaf atas peristiwa keji itu muskil. "Permintaan maaf, saya kira masih jauh dari kami," tegasnya. Bekas Kepala Staf Kepresidenan ini mengaku butuh waktu untuk mempelajari rekomendasi Tim Perumus.

Simposium Nasional Tragedi 1965, digelar April lalu di Hotel Arya Duta, Jakarta, selama dua hari. Sekira dua ratus peserta yang terdiri dari pihak korban dan pelaku yang mengalami langsung insiden itu datang. Juga lembaga pendamping. Simposium yang disokong pemerintah tersebut sedari awal menekankan penuntasan lewat jalan kekeluargaan atau rekonsiliasi.

Mulanya, banyak pihak yang menentang digelarnya simposium. Belakangan pihak purnawirawan yang menolak terang menyebut simposium ini mencoba membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Jadi memang ini dari kiri dan kanan diserang. Tapi nggak apa-apa deh, kita tujuannya perbaikan kok," kata anggota Tim Perumus, Suryo Susilo ketika ditemui KBR.

Dan demi meredam amarah para purnawirawan TNI Angkatan Darat itu, Menko Luhut, kata Suryo, menyambangi satu-persatu mereka juga TNI. "Pak Luhut keliling dan menjelaskan pada TNI juga pada purnawirawan yang seangkatan."

Pengungkapan Kebenaran oleh Pemerintah

Judul simposium itu adalah ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan’. Pendekatan kesejarahan yang dimaksud Ketua Panitia Pengarah Simposium, Agus Widjojo yakni mengawalinya dari rentang 1948 hingga pasca 1965. 
Baginya, rentetan peristiwa yang terjadi selama 17 tahun itu saling berkelindan. 

"Kami mencoba menghubungkan antara prolog sebelum 65 dengan epilog setelah 65. Kebanyakan yang diungkap sekarang adalah epilog pasca 65, 1965-1968. Yang sebelumnya ke mana? Ini pasti ada sebuah proses, yang tak ujug-ujug turun dari langit tiba-tiba langsung tragedi 65," katanya Sabtu, 16 April 2016.

Dalam perjalanan dua hari simposium setidaknya ada lima sejarawan hadir; Asvi Marwan Adam, Baskoro, Batara Hutagalung, Salim Said, dan Anhar Gonggong. Asvi sedari awal menolak jika peristiwa Madiun, aksi sepihak PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) pada 1960 serta pembantaian 1965, menjadi satu rangkaian tak terpisah. Pasalnya dari segi waktu, jumlah korban dan konteks yang melingkupinya, berbeda. Menurut dia, peristiwa G30S hanya terkait dengan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI dan perwira muda. Di mana kasusnya sudah diselesaikan melalui jalur peradilan. "Secara hukum sudah ada persidangan seribu orang menurut Pusat sejarah TNI. Pada subversif, 
Mahkamah Tinggi, Mahmilub semua anggota Cakrabirawa sudah diadili. Jadi secara hukum, apa yang terjadi 30 September atau 1 Oktober sudah diselesaikan di Pengadilan," jelasnya.

Tapi tak begitu, menurut Salim Said –sejarawan militer. Baginya, pembantaian massal 1965 mustahil terjadi, jika PKI tak berulah terlebih dahulu di Madiun pada 1948. "Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, 'Membunuh lebih dahulu atau dibunuh'," ucapnya. Tak hanya peristiwa Madiun yang menjadi pencetus kekejian di masa 1965, kata Salim, jelang G30S masyarakat dibanjiri tulisan mengenai kekejaman komunis di Uni Soviet, Tiongkok dan Eropa Timur. Bacaan-bacaan tersebut, kian menguatkan ketakutan rakyat pada PKI. "Ketakutan demikian jelas menambah semangat memberantas PKI dan orang-orangnya hingga ke akar-akarnya," pungkasnya.

"Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, 'Membunuh lebih dahulu atau dibunuh',"

Silang pendapat ini rupanya menjadi pembahasan yang alot di Tim Perumus. Suryo Susilo yang juga menjadi anggota tim perumus menyebut, aksi PKI di masa 1948 itu tak sepenuhnya selesai. "Jadi (aksi-red) PKI pada 1948 itu, tidak semuanya selesai," ucap Suryo. Bahkan 'aksi sepihak' yang dilancarkan PKI dan pendukungnya di Bali, Jawa dan Sumatera Utara, turut memengaruhi. Tapi suara berbeda datang dari Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley. 
Menurutnya, kejadian kala 1948 sudah dituntaskan Presiden Sukarno, setahun setelahnya. "Terutama mengaitkan sebab akibat ya. Bahwa peristiwa 1965 disebabkan karena ulah PKI mulai dari 1948," kilahnya.

Merujuk bahwa dua peristiwa itu; 1948 dan 1965 yang saling berkaitan, Tim Perumus melihat negara saat itu belum berpengalaman menangani konflik. Itu disebabkan karena usia negara yang masih bayi, juga belum sahihnya dasar negara Indonesia. "Baru tiga tahun merdeka. Undang-undang berubah terus, dari UUD 45 menjadi UU Sementara, kemudian kembali ke UUD 45," pungkasnya. 
Tapi, tak hanya persoalan internal pemerintahan yang melatari, Stanley menilai "(Itu-red) diikuti satu proses masyarakat yang sebetulnya belum siap berbeda pendapat. Sehingga menggunakan cara-cara kekerasan. Kill or to be killed."

Sanggahan Stanley juga tiga komisioner Komnas HAM yang berada dalam Tim Perumus, menengahi perbedaan tersebut. Itulah kemudian dalam rekomendasinya, Tim Perumus menyebut peristiwa 1965 merupakan pelanggaran HAM berat. Sementara, 1948 sebagai tindakan kekerasan secara masif. Dan hal itu menurut Stanley, harus diungkap oleh pemerintah.

"Pemerintah harus membuat sendiri bagaimana proses telling the truth itu bisa dijalankan, supaya bisa jadi pembelajaran. Dan ke depan ini tidak terjadi," tegasnya. 
Dengan begitu jalan rekonsiliasi bisa terbuka lebar.

Menyatakan Penyesalan

Satu-satunya kesaksian yang menohok para peserta simposium, ketika bekas komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Jawa Tengah, Sintong Panjaitan buka suara mengenai jumlah korban 1965 yang menurutnya tak sampai ratusan ribu apalagi satu juta jiwa. "Ini pembohongan. RPKAD memang benar ke sana untuk menumpas PKI. Itu tidak salah. Tapi, RPKAD harus melindungi masyarakat yang ada di Jawa Tengah, baik PKI atau tidak. Bahkan anggota PKI yang senang dengan kami," klaimnyanya, Senin (18/4/2016).

Sintong juga mengklaim, pemeriksaan terhadap simpatisan PKI ataupun orang-orang yang dituduh terlibat PKI, dilakukan dengan santun, tanpa kekerasan. Dalam hitungannya, tak kurang dari 80 ribu orang mati dalam peristiwa itu –termasuk di Jawa, Bali dan Sumatera. 
"Ditahan 2-3 hari setelah itu dilepaskan. Karena diberikan surat pada mereka, sehingga banyak berbondong-bondong ke RPKAD untuk melapor. Jadinya takut kalau mereka belum lapor. Dikatakan banyak dibunuh, itu tidak benar sama sekali." 
Padahal atasannya kala itu, Sarwo Edhi Wibowo sempat mengatakan, jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa.

Tapi klaim lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1963 itu disanggah para penyintas. Salah satunya Sumini, Ketua Ranting Gerwani di Pati mengisahkan bagaimana dirinya disiksa tiap kali diinterogasi.

"Tiap pemeriksaan, kaki ditindih sama kaki meja, para interogerator duduk di atas meja sampai saya tak sadar. Itu selama dalam tahanan di resort," kenang Sumini.

Perempuan berusia 70 tahun ini juga menyebut di Pati, setidaknya ada tujuh titik kuburan massal, semisal di Perhutani Grogolan (40 orang), Perkebunan Karet Kalitelo (15 orang), Kebun Kopi Jolong (39 orang), Hutan Barisan Jegong (25 orang), Perkebunan Brati Desa Brati (35 orang), Perhutani Brati Hutan Panggang (25 orang), dan Perhutani Lamin Regaloh (15 orang).

Bahkan dalam catatan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65, ada 122 lokasi kuburan massal yang tersebar di 12 provinsi. Kalau ditotal maka angkanya mencapai 19.566 orang terbunuh. Data semacam ini terserak di sejumlah lembaga pendamping. Itupun belum termasuk tahanan politik yang dibuang ke tanah pembuangan, Pulau Buru. Komnas HAM memperkirakan jumlahnya 11.500 orang. Mereka dibawa antara tahun 1969-1971.

Salah satu tahanan politik, Tedjabayu Sudjojono mengaku tak bisa melupakan sosok seorang kapten yang selalu membangunkan para tahanan pukul 3 pagi. Di tengah udara dingin, mereka disuruh merayap di bebatuan sampai tangan luka semua. Setelah itu mereka pergi ke sawah menjadi petani. Pemerintah punya target Pulau Buru sebagai proyek beras di Maluku dan target itu berhasil dilaksanakan para tahanan. 
"Sekali waktu dia bertanya pada kami, 'Kamu tahu sekarang tanggal berapa?' Dia tanya sampai memukuli kami. 'Ini tanggal 23 Mei. Hari ulang tahun kalian'," kata Tedjabayu. Ternyata 23 Mei adalah hari ulang tahun PKI. "Lah, mana saya tahu," ucap Tedjabayu.

Dalam simposium itu, psikiater dari Yogjakarta, Mahar Agusno, mengatakan baik korban dan pelaku tragedi 1965 banyak yang menderita depresi dan gangguan stres pasca trauma atau PTSD (Post-traumatic stress disorder). 
"Kami menemukan kasus korban, kami dapatkan di anti asuhan Bantul jogjakarta. Waktu itu kami bekerja dengan pengungsi dari timor timor," kata Agusno. 
"Namanya Budi. Dia merupakan anak dari lelaki yang ditahan di Pulau Buru. Budi merupakan generasi kedua yang sama seperti Bapaknya mendapatkan penyiksaan dari aparat setempat." Di simposium itu, Agusno juga menemukan seorang tentara yang menjadi pelaku penembakan dalam tragedi 65. Dia menderita stroke, dan Gangguan Stres Pasca Trauma atau PTSD. Bahkan, sang tentara sering bermimpi bersama orang-orang yang dibunuhnya.

Begitu banyak korban dan membekasnya luka itu, sempat terlontar usulan agar pemerintah menyatakan permintaan maaf kepada seluruh korban baik setelah 65 maupun sebelumnya. Hanya saja Tim Perumus, kata Suryo Susilo, sadar hal itu pasti dikecam sejumlah kalangan yang mengaku anti-PKI. Hingga akhirnya, tim mengambil jalan kompromi dengan menyebut negara menyatakan penyesalan. "Jalan tengah dari hasil diskusi kita (tim-red), memang akhirnya sepakat tidak perlu. Cukup penyesalan," katanya.

Rehabilitasi Umum

Sejumlah kalangan, termasuk psikiater dari Yogjakarta, Mahar Agusno, juga mengatakan korban maupun pelaku perlu direhabilitasi. Jangan sampai, generasi penerus mereka juga kehilangan masa depan yang sama dengan kedua orang tuanya. Kata Agusno, pemerintah harus memberikan kecukupan kebutuhan dasarnya dan rasa aman. Sebab, traumatis dan depresi bisa diwariskan.

"Masalah ini perlu mendapatkan penanganan yang sebaik-baiknya. Karena inividu yang traumatis dan depresi akan membentuk masyarakat yang serupa, dan ini akan diwariskan kepada anak cucunya," ungkap Agusno.

Usulan rehabilitasi umum itu diamini Tim Perumus. Stanley memastikan bakal mendorong agar negara merehabilitasi orang-orang yang dituduh PKI tanpa proses pengadilan. 
"Dipulihkan nama baiknya dan dipenuhi haknya sebagai warga negara," tegasnya. 
Menurutnya kalau itu dijalankan maka negara secara tak langsung mengakui adanya peristiwa keji itu. Hanya saja, Suryo Susilo tak merinci payung hukum seperti apa yang ditelurkan pemerintah. Kata dia, Tim Perumus menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah. 
"Pemerintah yang lebih paham ya. Payung hukumnya juga pemerintah. Apakah mau membentuk tim khusus."

Sementara bagi Dewan Pengawas IPT 65, Reza Muharam, rehabilitasi umum bisa dijalankan dalam bentuk Keputusan Presiden. 
"Itu argumentasinya cukup lihat data-data fakta yang menunjukkan ratusan ribu tapol yang waktu itu ditahan dan dipenjara serta mendapat siksaan tanpa proses pengadilan," usul Reza.

Namun begitu, rehabilitasi ini, kata Suryo, ditujukan kepada seluruh korban peristiwa 1948 hingga pasca 1965. 
"Ada kejadian pemerintah tidak bisa menjaga warga negaranya, bentrok. Itu kan perlu direhabilitasi." Pasalnya, sebelum peristiwa 1965 meletus, keturunan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga dilanda kesusahan.

Dikutip dari konfrontasi.com, Agustanzil Sjahroezah, putra Pendiri dan Sekjen Partai Sosialis Indonesia (PSI), Djohan Sjahroezah mengisahkan pasca G30S, partai-partai yang dibubarkan Presiden Sukarno seperti PSI dan Masyumi tak direhabilitasi oleh Presiden Soeharto. "Muncul konflik-konflik baru. Selalu ada orang-orang PSI yang dijadikan kambing hitam," ungkapnya. 


Cabut Peraturan Diskriminatif

Rekomendasi lain yang diserahkan Tim Perumus ke pemerintah adalah pencabutan aturan-aturan diskriminatif. Suryo Susilo menyebut salah satunya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 atau tenar dengan sebutan 'Bersih Diri dan Bersih Lingkungan'. "Peraturan diskriminatif harus dihapuskan, ya ini memang harus dihapuskan," ucapnya.

Dalam aturan itu, orang-orang yang dituduh terlibat PKI dilarang bekerja menjadi PNS, anggota TNI/Polri, guru ataupun pendeta. Beleid ini sempat digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2005 dalam bentuk Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Senada dengan Suryo, Stanley juga mengatakan,

"Nggak boleh ada lagi orang yang mempersoalkan anda bekas PKI, anda wajib lapor, dibebaskan,"

Pembentukan Tim Ad hoc

Untuk memverifikasi seluruh korban 1948 hingga 1965 memperoleh rehabilitasi, Tim Perumus mengusulkan dibentuknya tim Ad hoc independen yang langsung di bawah Presiden Joko Widodo. Stanley menyebut, tim tersebut bisa saja diserahkan pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Meski Undang-Undangnya telah digugurkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam, tapi menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, sangat mungkin dihidupkan kembali melalui dekret atau keputusan presiden untuk hal-hal luar biasa.

"Ada usulan membentuk tim khusus atau menghidupkan KKR? Itu bisa dalam bentuk Undang-undang, tapi bisa juga dalam bentuk presidensial decree (dekret presiden). Meski begitu, tetap perlu pengesahan dari DPR"

Tugas Tim Perumus, berakhir ketika hasil rekomendasi diserahkan ke Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan pada Rabu (18/5/2016). Anggota Tim, Stanley takkan mempersoalkan kalau pemerintah tak menjalani hasil rekomendasi. Sebab, ketika rekomendasi itu memasuki ranah politik, maka ada hal lain yang dipertimbangkan pemerintah. 
"Saya kira kalau negara ini punya political will dan kemampuan, ya tidak ada yang sia-sia," pungkasnya.

 

0 komentar:

Posting Komentar