Selasa, 19 April 2016

Simposium Tragedi 1965, Kisah Penyintas, 50 Tahun Mencari Bapak


Selasa, 19 Apr 2016 22:50 WIB - Ria Apriyani
"Orang diarahin jalan terus dipenggal, mati. Langsung masuk lubang. Penggal, mati, masuk lubang. Setelah itu disikat lagi pakai senapan."
Simposiun Nasional Tragedi 1965. (Sumber: Youtube)

KBR, Jakarta- Sukatno sudah lebih 50 tahun mencari tahu nasib ayahnya. Pasca tragedi 65/66 banyak orang yang terkena operasi 'pembersihan' tidak diketahui bagaimana nasibnya. Keluarga bertanya-tanya apakah mereka mati saat pemeriksaan? Bagaimana mereka mati? Dimana mereka dikuburkan?

Ayah Sukatno yang bekas pejuang kemerdekaan itu memang anggota Partai Komunis Indonesia. Ia diciduk aparat sepulang kerja di Perusahaan Jawatan Kereta Api(PJKA). Setelah ditangkap, kabarnya tidak pernah diketahui. Saat itu, Sukatno masih bertugas sebagai anggota Brimob di Kalimantan. Cerita raib ayahnya ia dapat dari ibunya.

Sukatno berusaha mencari. Tapi siapapun yang dia tanya tidak ada yang punya informasi. Dari keluarganya, hanya Sukatno sendiri yang masih mencari. Keluarganya yang lain termasuk ibunya sendiri terlalu takut. Stigma PKI yang buruk membuat keluarga diawasi.
"Pulang dari pekerjaan, bapak dijemput paksa oleh orang ga dikenal. Tapi hari lain ternyata Bapak saya itu ditahan di kantor polisi. Ibu saya menjemput, menengok, besuk. Tiga kali membesuk, Bapak saya udah ga ada dipindahkan ke kantor polisi lain," kata dia sedih, Selasa(19/4/2016).
Ia tidak tahu dimana ayahnya dikuburkan. Satu per satu tempat kuburan massal PKI ia datangi, tapi jejak ayahnya raib. Sukatno justru menemukan fakta. Ada 4 lokasi kuburan massal di Madiun. Salah satunya terletak di hutan Kampung Sirapan, satu lagi di Giringan tempat tenaga listrik, lainnya di sekitar kolam tambak di Wonoasri.

Berdasarkan cerita kawannya, satu lubang kubur digunakan untuk setidaknya 50 hingga 100 jenazah. Mereka adalah korban pembantaian yang dilakukan aparat. Kawannya dulu dipaksa orang kelurahan untuk menggali lubang. Jika menolak, ia diancam akan dibunuh.
"Kalau mau dibunuh, diambil pakai truk. Dekat lokasi, mata mereka ditutup. 10 m dari lubang, orang diarahin jalan terus dipenggal, mati. Langsung masuk lubang. Penggal, mati, masuk lubang. Setelah itu disikat lagi pakai senapan. Kalau udah sampai 100, baru ditutup," kisahnya kepada KBR sembari meniru apa yang diperagakan kawannya.
Nasib pilu memang menimpa para korban tragedi 65/66 hingga ke lubang kubur. Banyak kuburan berakhir tanpa nisan. Salah satu cucu korban, Baja Suseno mengaku kakeknya dikubur bersama dua orang lainnya dalam satu lubang, tanpa nisan penanda.
"Hanya tahu dari saksi hidup. Katanya mbah dieksekusi. Dia juga yang menunjukkan kira-kira di mana mbah dikubur."
Kakek Seno adalah anggota DPRD dari fraksi PKI di Boyolali. Berdasarkan cerita yang dia warisi dari ibunya, kakeknya ditangkap saat pulang menemui anaknya. Dalam ingatan ibunya, saat itu pintu rumah mereka digedor sembari terdengar teriakan, "Gantung PKI! Bakar! Hancurkan!". Saat itu ibunya baru berusia 9 tahun.

Seno selalu mengunjungi kuburan itu setiap berkunjung ke Boyolali. Dia menyaksikan sendiri banyak kuburan tanpa nisan. Menurutnya, kebanyakan anggota keluarga takut diteror jika tahu bahwa keluarganya tersangkut PKI.

Selain tidak dikuburkan dengan layak dan berakhir tanpa nisan penanda, banyak kuburan PKI pun sudah beralih fungsi. Budianto asal Magetan mengatakan di kawasan Sukerejo, Sudimoro, kuburan massal PKI sudah berubah menjadi kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap.

Menurut pria asal Magetan ini, selain lahan yang sudah beralih fungsi itu, di tempat asalnya masih ada satu kawasan lagi yaitu di tepi pantai di Kabupaten Magetan. Di sana, menurut keterangan seorang saksi hidup yang ditemuinya, ada yang dikuburkan hidup-hidup bersama anaknya karena dituding PKI.

Hingga kini, Budiono bahkan masih membantu seorang kawan mencari keberadaan ayahnya. Ayah kawan tersebut hilang diciduk   usai ikut rombongan reog.

Sebelumnya, Komnas HAM sudah menyatakan akan merekomendasikan pencarian dan penggalian makam korban tragedi 65/66. Menurut Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi, Komnas HAM ingin mengupayakan pemakaman yang lebih layak bagi para korban.

Pada sesi  simposium tadi, sejarawan Yunantyo Adi juga mendesak harus ada payung hukum bagi pemakaman ulang korban tragedi 65/66. Tahun lalu, ia dan kawan-kawannya meresmikan nisan korban 65 di kuburan massal di Semarang. Di situ, ada 24 korban dikuburkan.

Kemarin, putri Soekarno, Sukmawati Soekarnoputri juga mengatakan sebaiknya lokasi pembantaian dan kuburan massal dibuat monumen peringatan. Menurutnya, permintaan maaf tidaklah cukup.

Ia membandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Kamboja. Kamboja menjadikan tempat penyiksaan rakyat jadi museum peringatan.  

Editor: Rony Sitanggang

0 komentar:

Posting Komentar