Bagian 1: Di Balik Rumusan Simposium
Seorang lelaki membolak-balik lembar-lembar
kertas.
Tumpukan A4 itu disusun dalam sebuah map transparan.
Isinya, catatan-catatan rekomendasi penyelesaian kasus
pelanggaran HAM yang, usianya sudah lebih dari 50 tahun.
Ia adalah satu dari belasan tim perumus simposium 65, sebuah
forum akademis yang disokong Kementerian Koordinator Politik,
Hukum dan Keamanan.
Tujuannya, menemukan konsep penyelesaian
tragedi 65/66. Belakangan kegiatan itu bernama
"Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 melalui Pendekatan
Kesejarahan". Kamis sore (19/5) itu,
cerita tentang proses perumusan rekomendasi mengalir.
Untuk mematangkan itu, pada 18-19 April digelarlah simposium. Pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan tragedi pada tahun-tahun itu, dipertemukan.
Sekitar 200 peserta hadir, mulai dari akademisi lintas disiplin, penyintas 65/66, pendamping korban, perwakilan pemerintah hingga purnawirawan TNI.
Sepanjang dua hari, forum itu mengupas seluk-beluk tragedi kemanusiaan 65/66. Mulai dari sisi kesejarahan, latar belakang politik dan psikologis, kesaksian tentang penyiksaan dan pembunuhan hingga konsep penyelesaian.
Berulang kali tim pengarah yang, nantinya juga merupakan tim perumus itu menggarisbawahi terma: yang dicari dalam forum tersebut bukanlah siapa yang salah, melainkan apa yang salah sehingga saat itu terjadi pembunuhan dengan skala besar dalam runutan waktu yang panjang.
Poin-poin penting dicatat, dijadikan kerangka hasil simposium. Dan, sehari setelahnya, 20 April 2016, untuk pertama kalinya tim perumus berembug. Masih di tempat yang sama, Hotel Arya Duta Jakarta. 16 orang memeras usulan, baik dari peserta maupun buah pikir dari sekitar 30an narasumber simposium.
"Kami membagi di dalam proses alur jarak, sebelum tragedi '65 dan setelah '65. Kami mencoba fokus ke pendekatan kesejarahan," jelas salah satu anggota tim perumus, Suryo Susilo.
Materi rumusan sebagian besar dipungut dari hasil pembahasan simposium. Ditambah sejumlah referensi seperti buku, penelitian dan kajian sejarah, serta kesaksian para pelakon sejarah.
Melalui pendekatan kesejarahan, tim perumus akan menelurkan sejumlah rekomendasi penyelesaian tragedi 65/66 untuk pemerintah. Pengagasnya, Agus Widjojo menyebut metode ini paling realistis, faktual dan objektif.
"Karena itu perlu ada runutan proses, tidak dipotong-potong berdasarkan kurun waktu. Dari pendekatan sejarah itu kita juga bisa melihat ciri masyarakat Indonesia itu bagaimana, kok dia bisa dengan mudah disulut dalam jumlah besar, dalam waktu yang berkesinambungan," jelas Agus.
Kadang, Lima Kali Bertemu Baru Sepakat
Bisa dibayangkan, betapa rimbun data dan informasi yang harus diseleksi tim perumus. Tapi untung, hal tersebut dipermudah lantaran anggota tim telah memiliki kesamaan visi."Ada semacam reaksi kimiawi yang mempersatukan kami; mengakhiri seluruh stigma dan kejahatan HAM yang terus dipelihara dari tahun ke tahun," jelas Stanley kepada KBR saat ditemui di Tangerang.
Yoseph Adi Prasetyo atau dikenal sebagai Stanley, adalah Ketua Dewan Pers yang menjadi anggota tim perumus, bersama Agus Widjojo dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siti Noor Laila.
Pro dan kontra antar-anggota tentu ada. Namun kemudian, menurut Stanley, tim mencari rujukan, memberi jeda dan, kembali bertemu untuk membahasnya ulang. Hampir setiap proses perumusan selalu dijalani dengan pola macam itu.
"Perdebatan, adu argumen itu biasa dalam diskusi akademis," imbuh Noor Laila.
Dua hal yang paling kentara.
Misalnya, Noor Laila bercerita, soal perlu tidaknya permintaan maaf oleh negara. Pembahasan berlangsung alot. Hingga akhirnya tim perumus sepakat mengambil jalan tengah; negara cukup menyatakan penyesalan karena saat itu belum mampu mengelola konflik horizontal dan perbedaan ideologi.
Hal lain adalah, saat membahas periodisasi peristiwa. Sebagian menilai, tragedi 65 dan setelahnya tak bisa dikaitkan dengan peristiwa sebelum ’65. Namun sebagian lagi menganggap sebaliknya.
"Ada kontroversi mengenai kejadian 65 itu adalah konsekuensi logis dari tindakan PKI sebelum 65. Yang mereka bilang sebagai konflik horizontal. Mereka selalu menarik ke belakang bahkan hingga 1948. Menurut saya, sejarah 48 itu berbeda dengan 65," tegas anggota tim perumus, Bonnie Setiawan.
Bonnie dan Stanley adalah anggota yang tak setuju jika peristiwa pra dan pasca '65 dikaitkan. Sedangkan, Agus Widjojo misalnya, berseberangan dengan pandangan itu. Stanley sempat memberi catatan keberatan kepada tim sebelum keberangkatannya ke Helsinki pada akhir April lalu.
"Terutama mengaitkan sebab akibat bahwa 1965 disebabkan ulah PKI mulai 1948, kemudian provokasi sebelum 65. Tapi untuk menyebut itu sebagai pelanggaran HAM berat, menurut saya itu misleading, terlalu gegabah menggunakan istilah pelanggaran HAM berat, karena istilah itu ada dan melekat pada UU Nomor 26 tahun 2000 (UU tentang Pengadilan HAM-red)," ujar Stanley.
Titik temu ini tak cukup didapat dari satu-dua kali pertemuan, kadang kesepakatan baru beroleh hasil pada pertemuan ke-lima.
Nyaris setiap perbedaan pandang diselesaikan melalui diskusi. Setiap anggota dibebaskan mengungkapkan keberatan. Ini pula yang kerapkali memungkinkan hasil pertemuan sebelumnya, boleh jadi berubah drastis ketika dibawa ke perjumpaan berikutnya.
"Sangat dinamis. Pertemuan kadang tiga hingga empat jam. Ada yang mengatakan orang ngamuk, lalu dibalas ada keterlibatan negara. Tapi menurut saya (perdebatan—Red) itu tidak penting. Yang penting bagaimana agar rumusan itu tak cacat, tidak lagi jadi benang kusut," tandas Stanley.
Namun ada kalanya juga pertemuan berlangsung ayem, hanya berkutat pada kegiatan membaca ulang eberapa poin mendasar, mengoreksi redaksional dan sebagainya.
Mengurai Benang Kusut Geger '65
Upaya mengurai benang kusut penuntasan tragedi kemanusiaan 65/66, memang kerap terjal. Sebagaimana usaha yang sudah-sudah, pengungkapan kebenaran seringkali diikuti tekanan dari kelompok tertentu. Nyaris seluruh anggota tim perumus memahami hal tersebut."Usaha ini tak pernah mudah. Kami ditentang, tidak hanya dari kelompok kiri, tapi juga kanan. Kalau menunggu semuanya ideal, kita tidak merdeka tahun ini. Ini kesempatan langka, siapa sih yang pernah mencoba?"
Kata Agus Widjojo yang juga menjadi anggota tim perumus.
Berikutnya, di tengah proses perumusan konsep penyelesaian, tiba-tiba muncul isu kebangkitan PKI. Rekayasa propaganda kebangkitan komunisme itu diikuti aksi sweeping anggota kodim di berbagai daerah terhadap segala bentuk atribut yang dianggap menyebarkan komunisme, marxisme dan leninisme. Sulit untuk tak mengaitkan aksi tersebut dengan upaya pengungkapan kebenaran melalui simposium.
Mendekati tenggat penyerahan hasil rekomendasi ke pemerintah, kelompok penentang semakin lantang.
Sejumlah purnawirawan TNI menggelar pertemuan di Balai Kartini, Jakarta untuk merencanakan simposium tandingan. Pertemuan itu dihadiri Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Gabungan purnawirawan dan Ormas anti-PKI itu ingin melawan simposium yang digagas Agus Widjojo dan, didukung Luhut Panjaitan.
Kiki Syahnakri, bekas Wakil Kepala Staf Angkatan Darat itu menjadi pimpinannya. Padahal sebelumnya, Kiki diikutsertakan dalam jajaran tim pengarah simposium bentukan Agus Widjojo. Namun saat itu ia menolak.
"Terlalu mendadak, saya diberi tahu satu minggu sebelum acara," kilah Kiki ketika dikonfirmasi wartawan.
Kawan satu korps Agus Widjojo ini terang-terangan melawan, juga menekan. Bahkan putera Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo itu dituding hendak membangkitkan PKI.
Tapi Agus toh kalem saja menanggapi itu. Pembawaan lulusan Akademi Militer tahun 1970 itu memang kerap santai menyikapi urat beberapa purnawirawan TNI.
"Padahal kan Ayah saya juga mati di lubang buaya, tapi toh tak ada yang bisa menghidupkan ayah saya lagi. Kita harus berdamai dulu dengan diri sendiri," seloroh Agus.
Namun tak ada yang menyangka, di balik sikap tenang itu, Agus adalah seorang pembela TNI yang gigih. Laku itu tercermin dalam rapat-rapat tim perumus.
"Beliau kadang ini, di luar dipikirnya bagaimana (mengkhianati TNI—Red) padahal di dalam (tim perumus--Red) dia keras membela TNI. Walaupun di luar diserang juga oleh purnawirawan," cerita Suryo.
Kini, rekomendasi tim perumus sudah di tangan Menkopolhukam, Luhut Panjaitan. Sejumlah poin, menurut Luhut, masih harus dikaji. Namun dia menyampaikan, ujung rekomendasi itu adalah permintaan agar negara menyatakan penyesalan atas tragedi '65.
Salah satu penyintas 65/66, Ilham Aidit mengaku senang mendengar kabar itu. "Kalau permintaan maaf muskil, penyesalan sudah cukup. Ini satu tingkat di bawahnya. Nilainya ya 6,5 lah," ujarnya saat dihubungi KBR.
Meski begitu, menurut putra keempat Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit itu, nasib penyelesaian kasus tersebut masih menyisakan tanya. "Melegakan kalau sudah jadi kebijakan dan statement pemerintah. Kalau masih merupakan rekomendasi buat pemerintah, kan masih ada satu langkah lagi," katanya.
Anggota tim perumus, mengibaratkan peran mereka seperti juru masak yang hanya mampu memilihkan bumbu-bumbu. Tim perumus hanya memberikan usulan penyelesaian, sementara pelaksanaan rekomendasi sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.
"Harus diakui dalam penumpasan 65 itu terjadi ekses penggunaaan power secara berlebihan, penghilangan orang besar-besaran, itu muncul di simposium. Rekomendasinya, ini harus diadili dan didorong supaya ada rehabilitasi umum. Kebenaran harus diungkap," papar Stanley.
Bagian 2: Benang Merah Yang Dipaksakan
Berkali sejak 2 bulan lalu, Agus Widjojo mengaitkan pelbagai
peristiwa yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan tragedi 1965.
Bagi pensiunan TNI Angkatan Darat ini, tragedi ‘65 ibarat sebuah pentas yang mana prolog
dan epilog saling berkait. "Kami melakukan pendekatan sejarah, di mana satu peristiwa
dengan peristiwa lain saling terkait," ungkap Agus.
"Bagi saya itu kan peristiwa Madiun itu kan harus dikaji kembali, dikaji ulang. Dalam arti memang ada penculikan. Ayah dari alm. Letnan Jenderal Kharis Suhud. Ia mengatakan ayahnya diculik pada 1948 dan hilang. Saya mengakui pembunuhan itu. Tapi kan persoalannya seberapa banyak? Kan harus jelas. Sedangkan 1965 itu setengah juta paling tidak," jelas Asvi.
Sedangkan menurut Yunantyo, peristiwa 1948 merupakan konflik antarkelompok politik. Sementara, pasca 1965 adalah kekerasan massal negara kepada rakyatnya.
Oleh sebab itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan diminta selesaikan tragedi ‘65 dengan bertolok pada peristiwa yang dimulai 1960-an. "Cukup tahun 60-an. Karena saat itu kan sudah memperlihatkan peningkatan masalah politik. Meningkatnya ketegangan dan lain sebagainya itu sejak 60-an," ujar Asvi.
Pada 1960, PKI melakukan Aksi Sepihak. Ketika itu pemerintah menerbitkan Undang-Undang Land Reform dan Undang-Undang Bagi Hasil antara petani dan pemilik tanah. UU ini membuat batasan kepemilikan tanah. Sedangkan sisanya wajib dikembalikan pada Negara. Dengan UU ini peluang bagi buruh tani kecil untuk mendapat tanah makin besar. Sayang, pemerintahan Soekarno tak becus mengimplemantasikan aturan, sehingga perlawanan rakyat yang dimotori PKI dan BTI terjadi.
"Tanah-tanah yang luas itu diambil, untuk diserahkan kepada negara. Dan ini menimbulkan konflik di pedesaan dengan pemilik-pemilik tanah itu. Di antara pemilik tanah itu ada tokoh-tokoh Islam. Di situlah munculnya konflik yang horizontal sifatnya," jelas Asvi.
Tetapi baik Agus dan Luhut bergeming. Terakhir pada 19 Mei lalu, KBR mengulang pertanyaan mengenai relasi antar peristiwa dan jawaban yang kami terima masih sama.
"Terutama pada peristiwa pemberontakan 1948. Walaupun memang skalanya lebih besar dalam skala tindakan kekerasan setelah 1965," ungkap Agus kepada KBR minggu lalu.
Pulang dari Praha
Awal Agustus 1948 saat itu, seperti dikutip TEMPO. Dua pria di dalam pesawat intai amfibi Catalina mendarat di rawa-rawa Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Rawa luas di dekat terowongan buatan Jepang, Niyama ini memang kerap digunakan sebagai titik pendaratan pesawat yang mengangkut tamu rahasia pada masa Republik ini mempertahankan kemerdekaan. Satu orang berperawakan tinggi kurus, sedang yang lain gempal.Mereka turun beriring setelah menempuh perjalanan panjang selama 6 minggu dari Praha, lewat Kairo, New Delhi dan berhenti sejenak di Bangkok.
Pria pertama bernama Soeripno, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Praha, Cekoslovakia. Sedangkan pria lain di belakangnya mengaku bernama Soeparto, sekretaris pribadi Soeripno. Keduanya dijemput pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemadi Partoredjo di bibir rawa. Mereka kemudian bergegas menuju Surakarta, Jawa Tengah.
Di Surakarta, identitas sang sekretaris Soeripno tak lagi bisa disembunyikan.
Pria gempal umur 50an tahun itu bernama Musso, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pria yang pernah mencetuskan perlawanan buruh pada 1926 ini kembali ke Indonesia setelah lebih dari 20 tahun bermukim di Moskow, Rusia.
Sejak itu, Musso mulai safari menjabarkan "Jalan Baru untuk Republik Indonesia" pada pertemuan Politbiro di Yogyakarta. Gagasan Jalan Baru ini selaras dengan garis perjuangan baru Moskow atau lazim disebut sebagai doktrin Andrei Zhdanov.
Musso mengkritik kaum komunis Indonesia sepeninggalnya yang mengambil jalan lunak nan kompromistis dengan Belanda. PKI tak menggalang massa buruh dan tani, tetapi masuk menyusup ke pemerintah dan pelbagai organisasi. Ia anggap tak efektif dan lebih ingin komunis Indonesia memakai garis perjuangan lebih radikal.
Buntut Perjanjian Renville
Delapan bulan sebelum dua pria ini tiba, Indonesia memparaf Perjanjian Renville dengan Belanda di atas kapal Amerika yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Paraf inilah yang membuat Moskow curiga terhadap pemimpin koalisi sayap kiri di Kabinet Indonesia, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin.Seminggu kemudian, paraf ini menimbulkan petaka. Amir dipaksa mundur dan meletakan jabatan perdana menteri. Karena itu posisi politik Masyumi dan Partai Nasional Indonesia makin kuat. Langkah Amir ini dikritik Musso. Menurutnya, melepaskan sebuah kekuasaan yang telah berada di tangan merupakan kesalahan besar.
Pada tahun yang sama dibuatnya Re-Ra, Presiden Amerika Serikat, Harry S. Truman untuk kali kedua mengumumkan kebijakan pembendungan atas ekspansi Uni Soviet di pelbagai negara. Di Indonesia, angkatan perang pun terbagi dalam dua kutub, antara yang komunis dan yang berlawan.
Itu sebab, sulit menghilangkan konteks Perang Dingin antar blok dengan beragam peristiwa yang terjadi di Indonesia. “Saat 60-an itu kan politik Indonesia yang melakukan ganyang Nekolim. Politik yang konfrontatif terhadap blok Barat dan blok Timur,” ungkap sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam saat ditemui KBR, Kamis, 19 Mei 2016.
Keputusan Hatta lantas menimbulkan sentimen Perwira di daerah. Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia dalam buku Revolusi Agustus menyebut kebijakan Hatta sangat merugikan Barisan Laskar yang dibangun Front Demokrasi Rakyat (FDR), seperti Pesindo, Biro Perjuangan, Perwira Politik dan TNI Masyarakat. Padahal kekuatan militer ini telah dibangun lama untuk melawan agresi militer Belanda. "Sebenarnya kamilah sasaran tembak utama Kabinet Hatta," ujar Mayor Jenderal yang dipecat Hatta dari Pendidikan Politik Tentara pada awal Mei 1948. Saat ini Soemarsono tinggal di Australia.
Hatta sebagai Menteri Pertahanan kemudian mengerahkan 29 ribu prajurit Brigade II Siliwangi ke Madiun dan sekitarnya yang mana menjadi basis kekuatan PKI. Dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa, puluhan ribu prajurit pimpinan Kolonel Drg.Mustopo ini diangkut melalui jalur darat dan laut beserta alat tempur.
Parade perpindahan kekuatan militer ini lah yang memprovokasi pasukan Panembahan Senopati. Kedua pasukan ini pun terlibat saling kontak senjata secara terbuka dan menyerbu markas masing-masing. Ultimatum Jenderal Besar Soedirman untuk menghentikan peperangan pun diabaikan saat itu. Hingga pada 18 September, pasukan Brigade 29 yang dipimpin Soemarsono berhasil melucuti pasukan Divisi Siliwangi.
Sedangkan Musso, kala itu, tengah bersafari mengonsolidasikan kekuatan bersama pimpinan PKI di Surakarta, Madiun, Bojonegoro, hingga Wonosobo. Musso menyatukan gerakan kaum buruh dan tani yang sebelumnya terpecah ke pelbagai organisasi, antara lain Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Barisan Tani Indonesia.
Tetapi gelombang kabar mengenai Musso sebagai dalang pemberontakan tak dapat dibendung. Melalui Radio Republik Indonesia (RRI), Pemerintahan Soekarno berseru!
"...Ikut Musso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka atau ikut Soekarno-Hatta yang insyalah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Republik Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga," ungkap Soekarno dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie.
Saling Serang di Madiun
Semua berawal dari pemogokan serikat buruh dalam negeri di Madiun pada awal September 1948, jelas Soemarsono dalam bukunya Revolusi Agustus. Mereka menuntut kenaikan upah dan berunjuk rasa di depan kantor wali kota. Tetapi setelah mogok sehari, tiga orang pemimpin serikat itu hilang. Soemarsono lantas bertanya kepada komandan teritorial, Letkol Sumantri mengenai penculikan tersebut. Namun, Sumantri mengaku tak tahu.Mendapat jawab itu, Soemarsono menyimpulkan ada tentara gelap masuk Madiun. Ia pun bertekad membebaskan pimpinan buruh. Karena itu, Soemarsono diteror.
"Di Madiun banyak informasi akan ada teror atas orang-orang kiri. Semua resah. Apalagi di Solo sudah ada pertempuran. Kami mendengar kabar, pasukan Brimob dan polisi militer akan melucuti Brigade 29. Kami tidak bisa tinggal diam,"
Soemarsono kepada TEMPO.
Enam jam setelah selongsong peluru berserak, pasukan Soemarsono berhasil menguasai Madiun. Lima prajurit tewas dalam perang ini, 3 dari kubu Siliwangi dan 2 Senopati. Namun dalam buku Ayat-Ayat yang Disembelih, jumlah korban yang disampaikan keluarga korban berbeda.
"Ayah saya seorang veteran pejuang 1965. Bersama lebih 200 orang, terdiri dari Kyai dan tokoh masyarakat digiring dan dimasukan ke dalam lumbung padi tua tinggalan Belanda di Desa Kaliwungu, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Mereka disekap 2 hari 2 malam, tidak diberi makan. Semua aktifitas seperti tidur dan buang air jadi satu di dalam gudang penuh sesak. Jerigen bensin sudah disiapkan untuk membakar lumbung itu. Alhamdulilah ayah saya bisa lolos dan berlari sejauh 10 kilometer untuk mencari bantuan pasukan Siliwangi. Mereka selamat," ujar Fuadi, anak korban peristiwa Madiun.
Sementara pegiat sejarah, Yunantyo Adi menganggap peristiwa itu sebagai aksi saling serang antar tentara yang berbeda ideologi.
"Dalam peritiwa 1948 itu ada anak-anak muda PKI yang lepas kontrol dan melakukan kekerasan ke lawannya. Tetapi terjadi kekerasan juga baik dari pihak militer dan laskar Yogya melakukan kekejaman serupa terhadap anggota PKI. Banyak anggota PKI di kamp tawanan yang sudah tak berdaya, disiksa dan dibunuhi juga. Artinya, kasus Madiun itu dua-duanya melakukan kekejaman, PKI dan lawannya saling melakukan kekejaman," kata Yunantyo kepada KBR.
Telegram tersebut disampaikan melalui perwira menengah Soeharto (Presiden RI ke-2) yang pada saat itu diutus Panglima Soedirman ke Madiun. Namun di Yogyakarta, Hatta terlanjur menganggap pelucutan tentara Siliwangi sebagai pemberontakan. Sedang Soekarno menyasar Soemarsono, juga Musso sebagai dalang pemberontakan pada 19 September malam.
Mendengar pidato Soekarno lewat RRI-Yogyakarta, emosi Musso sontak meledak. Ia menjawab pidato tersebut melalui radio di Madiun dan mengatakan Soekarno-Hatta sebagai budak Jepang, juga Amerika. "Sudah 3 tahun revolusi nasional kita berjalan di bawah pimpinannya kaum borjuis-nasional yang bersifat goyang menghadapi imperialis umumnya dan terhadap Amerika khususnya. Inilah sebab yang terakhir, bahwa keadaan ekonomi dan politik dalam Republik semuanya menjadi terus-menerus buruk,&qout; seru Musso.
Oleh Hatta, pasukan dikerahkan ke Madiun., lalu Cepu, Kudus dan Blora. "Memang Madiun diserbu oleh Yogyakarta. Dalam hal ini Hatta dan Nasution. Sesungguhnya pada awalnya Jenderal Soedirman keberatan atas penyerangan ke Madiun. Karena menurut Soedirman kasus Madiun itu perselisihan antar laskar yang ia yakini dapat dilerai. Nah, tetapi kemudian ada tindakan militer," jelas Yunantyo.
Perburuan pasukan Hatta ini lantas membuat basis kekuatan militer Front Nasional kocar-kacir, termasuk Musso. Apalagi setelah Mayor Jenderal Atmadji, Letkol Kusnandar dan Letkol Dachlan yang prokomunis ditangkapi pasukan pemerintah.
Pada 31 Oktober 1948, pengembaraan Musso berakhir. Tak mudah prajurit Batalion Sunandar menangkap Musso di Desa Balong, Ponorogo. Musso sempat melarikan diri dengan berlari, menggowes sepeda hingga saat mocong senjata persis di hadapan, ia tak menyerah.
"Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani meminta supaya saya menyerah pada engkau. Lebih baik meninggal daripada menyerah. Walaupun bagaimana, saya tetap Merah Putih," tegas Musso dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie.
Bagian 3: Lima Keping Rekomendasi
"Ujungnya untuk pemerintah mungkin menyesalkan,"
ucap Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan,
Luhut Binsar Panjaitan ketika diberondong pertanyaan wartawan di kantornya,
Rabu (18/5/2016). Tiga jam sebelumnya, purnawirawan TNI ini menerima dua anggota
Tim Perumus Simposium Nasional 1965, Agus Widjojo dan Roichatul Aswidah.
Tujuannya; menyerahkan hasil rekomendasi tim yang hampir sebulan digodok.
Simposium Nasional Tragedi 1965, digelar April lalu di Hotel Arya Duta, Jakarta, selama dua hari. Sekira dua ratus peserta yang terdiri dari pihak korban dan pelaku yang mengalami langsung insiden itu datang. Juga lembaga pendamping. Simposium yang disokong pemerintah tersebut sedari awal menekankan penuntasan lewat jalan kekeluargaan atau rekonsiliasi.
Mulanya, banyak pihak yang menentang digelarnya simposium. Belakangan pihak purnawirawan yang menolak terang menyebut simposium ini mencoba membangkitkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Jadi memang ini dari kiri dan kanan diserang. Tapi nggak apa-apa deh,
kita tujuannya perbaikan kok," kata anggota Tim Perumus, Suryo Susilo ketika
ditemui KBR.
Dan demi meredam amarah para purnawirawan TNI Angkatan Darat itu, Menko Luhut, kata Suryo,
menyambangi satu-persatu mereka juga TNI. "Pak Luhut keliling dan menjelaskan pada TNI
juga pada purnawirawan yang seangkatan."
Pengungkapan Kebenaran oleh Pemerintah
Judul simposium itu adalah ‘Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan’. Pendekatan kesejarahan yang dimaksud Ketua Panitia Pengarah Simposium, Agus Widjojo yakni mengawalinya dari rentang 1948 hingga pasca 1965. Baginya, rentetan peristiwa yang terjadi selama 17 tahun itu saling berkelindan."Kami mencoba menghubungkan antara prolog sebelum 65 dengan epilog setelah 65. Kebanyakan yang diungkap sekarang adalah epilog pasca 65, 1965-1968. Yang sebelumnya ke mana? Ini pasti ada sebuah proses, yang tak ujug-ujug turun dari langit tiba-tiba langsung tragedi 65," katanya Sabtu, 16 April 2016.
Dalam perjalanan dua hari simposium setidaknya ada lima sejarawan hadir; Asvi Marwan Adam, Baskoro, Batara Hutagalung, Salim Said, dan Anhar Gonggong. Asvi sedari awal menolak jika peristiwa Madiun, aksi sepihak PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) pada 1960 serta pembantaian 1965, menjadi satu rangkaian tak terpisah. Pasalnya dari segi waktu, jumlah korban dan konteks yang melingkupinya, berbeda.
Menurut dia, peristiwa G30S hanya terkait dengan pembunuhan terhadap enam jenderal TNI dan perwira muda. Di mana kasusnya sudah diselesaikan melalui jalur peradilan. "Secara hukum sudah ada persidangan seribu orang menurut Pusat sejarah TNI.
Pada subversif, Mahkamah Tinggi, Mahmilub semua anggota Cakrabirawa sudah diadili. Jadi secara hukum, apa yang terjadi 30 September atau 1 Oktober sudah diselesaikan di Pengadilan," jelasnya.
"Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu,
terutama di Jawa Tengah dan Timur,
'Membunuh lebih dahulu atau dibunuh',"
Silang pendapat ini rupanya menjadi pembahasan yang alot di Tim Perumus. Suryo Susilo yang juga
menjadi anggota tim perumus menyebut, aksi PKI di masa 1948 itu tak sepenuhnya selesai.
"Jadi (aksi-red) PKI pada 1948 itu, tidak semuanya selesai," ucap Suryo.
Bahkan 'aksi sepihak' yang dilancarkan PKI dan pendukungnya di Bali, Jawa dan Sumatera Utara,
turut memengaruhi. Tapi suara berbeda datang dari Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley. 'Membunuh lebih dahulu atau dibunuh',"
Menurutnya, kejadian kala 1948 sudah dituntaskan Presiden Sukarno, setahun setelahnya. "Terutama mengaitkan sebab akibat ya. Bahwa peristiwa 1965 disebabkan karena ulah PKI mulai dari 1948," kilahnya.
Merujuk bahwa dua peristiwa itu; 1948 dan 1965 yang saling berkaitan, Tim Perumus melihat negara saat itu belum berpengalaman menangani konflik. Itu disebabkan karena usia negara yang masih bayi, juga belum sahihnya dasar negara Indonesia. "Baru tiga tahun merdeka. Undang-undang berubah terus, dari UUD 45 menjadi UU Sementara, kemudian kembali ke UUD 45," pungkasnya.
Tapi, tak hanya persoalan internal pemerintahan yang melatari, Stanley menilai "(Itu-red) diikuti satu proses masyarakat yang sebetulnya belum siap berbeda pendapat. Sehingga menggunakan cara-cara kekerasan. Kill or to be killed."
Sanggahan Stanley juga tiga komisioner Komnas HAM yang berada dalam Tim Perumus, menengahi perbedaan tersebut. Itulah kemudian dalam rekomendasinya, Tim Perumus menyebut peristiwa 1965 merupakan pelanggaran HAM berat. Sementara, 1948 sebagai tindakan kekerasan secara masif. Dan hal itu menurut Stanley, harus diungkap oleh pemerintah.
"Pemerintah harus membuat sendiri bagaimana proses telling the truth itu bisa dijalankan,
supaya bisa jadi pembelajaran. Dan ke depan ini tidak terjadi,"
tegasnya. Dengan begitu jalan rekonsiliasi bisa terbuka lebar.
Menyatakan Penyesalan
Satu-satunya kesaksian yang menohok para peserta simposium, ketika bekas komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di Jawa Tengah, Sintong Panjaitan buka suara mengenai jumlah korban 1965 yang menurutnya tak sampai ratusan ribu apalagi satu juta jiwa."Ini pembohongan. RPKAD memang benar ke sana untuk menumpas PKI. Itu tidak salah. Tapi, RPKAD harus melindungi masyarakat yang ada di Jawa Tengah, baik PKI atau tidak. Bahkan anggota PKI yang senang dengan kami," klaimnyanya, Senin (18/4/2016).
Sintong juga mengklaim, pemeriksaan terhadap simpatisan PKI ataupun orang-orang yang dituduh terlibat PKI, dilakukan dengan santun, tanpa kekerasan. Dalam hitungannya, tak kurang dari 80 ribu orang mati dalam peristiwa itu –termasuk di Jawa, Bali dan Sumatera. "Ditahan 2-3 hari setelah itu dilepaskan. Karena diberikan surat pada mereka, sehingga banyak berbondong-bondong ke RPKAD untuk melapor. Jadinya takut kalau mereka belum lapor. Dikatakan banyak dibunuh, itu tidak benar sama sekali." Padahal atasannya kala itu, Sarwo Edhi Wibowo sempat mengatakan, jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa.
Tapi klaim lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1963 itu disanggah para penyintas. Salah satunya Sumini, Ketua Ranting Gerwani di Pati mengisahkan bagaimana dirinya disiksa tiap kali diinterogasi.
"Tiap pemeriksaan, kaki ditindih sama kaki meja, para interogerator duduk di atas meja sampai
saya tak sadar. Itu selama dalam tahanan di resort,"
kenang Sumini.
Perempuan berusia 70 tahun ini juga menyebut di Pati, setidaknya ada tujuh titik kuburan massal,
semisal di Perhutani Grogolan (40 orang), Perkebunan Karet Kalitelo (15 orang),
Kebun Kopi Jolong (39 orang), Hutan Barisan Jegong (25 orang), Perkebunan Brati Desa Brati (35 orang),
Perhutani Brati Hutan Panggang (25 orang), dan Perhutani Lamin Regaloh (15 orang). Bahkan dalam catatan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65, ada 122 lokasi kuburan massal yang tersebar di 12 provinsi. Kalau ditotal maka angkanya mencapai 19.566 orang terbunuh. Data semacam ini terserak di sejumlah lembaga pendamping. Itupun belum termasuk tahanan politik yang dibuang ke tanah pembuangan, Pulau Buru. Komnas HAM memperkirakan jumlahnya 11.500 orang. Mereka dibawa antara tahun 1969-1971.
Salah satu tahanan politik, Tedjabayu Sudjojono mengaku tak bisa melupakan sosok seorang kapten yang selalu membangunkan para tahanan pukul 3 pagi. Di tengah udara dingin, mereka disuruh merayap di bebatuan sampai tangan luka semua. Setelah itu mereka pergi ke sawah menjadi petani. Pemerintah punya target Pulau Buru sebagai proyek beras di Maluku dan target itu berhasil dilaksanakan para tahanan.
"Sekali waktu dia bertanya pada kami, 'Kamu tahu sekarang tanggal berapa?' Dia tanya sampai memukuli kami. 'Ini tanggal 23 Mei.
Hari ulang tahun kalian'," kata Tedjabayu. Ternyata 23 Mei adalah hari ulang tahun PKI. "Lah, mana saya tahu," ucap Tedjabayu.
Dalam simposium itu, psikiater dari Yogjakarta, Mahar Agusno, mengatakan baik korban dan pelaku tragedi 1965 banyak yang menderita depresi dan gangguan stres pasca trauma atau PTSD (Post-traumatic stress disorder).
"Kami menemukan kasus korban, kami dapatkan di anti asuhan Bantul jogjakarta. Waktu itu kami bekerja dengan pengungsi dari timor timor," kata Agusno. "Namanya Budi. Dia merupakan anak dari lelaki yang ditahan di Pulau Buru. Budi merupakan generasi kedua yang sama seperti Bapaknya mendapatkan penyiksaan dari aparat setempat." Di simposium itu, Agusno juga menemukan seorang tentara yang menjadi pelaku penembakan dalam tragedi 65. Dia menderita stroke, dan Gangguan Stres Pasca Trauma atau PTSD. Bahkan, sang tentara sering bermimpi bersama orang-orang yang dibunuhnya.
Begitu banyak korban dan membekasnya luka itu, sempat terlontar usulan agar pemerintah menyatakan permintaan maaf kepada seluruh korban baik setelah 65 maupun sebelumnya. Hanya saja Tim Perumus, kata Suryo Susilo, sadar hal itu pasti dikecam sejumlah kalangan yang mengaku anti-PKI.
Hingga akhirnya, tim mengambil jalan kompromi dengan menyebut negara menyatakan penyesalan. "Jalan tengah dari hasil diskusi kita (tim-red), memang akhirnya sepakat tidak perlu. Cukup penyesalan," katanya.
Rehabilitasi Umum
Sejumlah kalangan, termasuk psikiater dari Yogjakarta, Mahar Agusno, juga mengatakan korban maupun pelaku perlu direhabilitasi. Jangan sampai, generasi penerus mereka juga kehilangan masa depan yang sama dengan kedua orang tuanya. Kata Agusno, pemerintah harus memberikan kecukupan kebutuhan dasarnya dan rasa aman. Sebab, traumatis dan depresi bisa diwariskan.
"Masalah ini perlu mendapatkan penanganan yang sebaik-baiknya. Karena inividu yang traumatis
dan depresi akan membentuk masyarakat yang serupa, dan ini akan diwariskan kepada anak cucunya,"
ungkap Agusno.
Usulan rehabilitasi umum itu diamini Tim Perumus. Stanley memastikan bakal mendorong agar negara
merehabilitasi orang-orang yang dituduh PKI tanpa proses pengadilan.
"Dipulihkan nama baiknya dan dipenuhi haknya sebagai warga negara," tegasnya. Menurutnya kalau
itu dijalankan maka negara secara tak langsung mengakui adanya peristiwa keji itu. Hanya saja,
Suryo Susilo tak merinci payung hukum seperti apa yang ditelurkan pemerintah. Kata dia,
Tim Perumus menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah. "Pemerintah yang lebih paham ya.
Payung hukumnya juga pemerintah. Apakah mau membentuk tim khusus." Sementara bagi Dewan Pengawas IPT 65, Reza Muharam, rehabilitasi umum bisa dijalankan dalam bentuk Keputusan Presiden. "Itu argumentasinya cukup lihat data-data fakta yang menunjukkan ratusan ribu tapol yang waktu itu ditahan dan dipenjara serta mendapat siksaan tanpa proses pengadilan," usul Reza.
Namun begitu, rehabilitasi ini, kata Suryo, ditujukan kepada seluruh korban peristiwa 1948 hingga pasca 1965. "Ada kejadian pemerintah tidak bisa menjaga warga negaranya, bentrok. Itu kan perlu direhabilitasi." Pasalnya, sebelum peristiwa 1965 meletus, keturunan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi juga dilanda kesusahan.
Dikutip dari konfrontasi.com, Agustanzil Sjahroezah, putra Pendiri dan Sekjen Partai Sosialis Indonesia (PSI), Djohan Sjahroezah mengisahkan pasca G30S, partai-partai yang dibubarkan Presiden Sukarno seperti PSI dan Masyumi tak direhabilitasi oleh Presiden Soeharto. "Muncul konflik-konflik baru. Selalu ada orang-orang PSI yang dijadikan kambing hitam," ungkapnya.
Cabut Peraturan Diskriminatif
Rekomendasi lain yang diserahkan Tim Perumus ke pemerintah adalah pencabutan aturan-aturan diskriminatif. Suryo Susilo menyebut salah satunya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 1981 atau tenar dengan sebutan 'Bersih Diri dan Bersih Lingkungan'. "Peraturan diskriminatif harus dihapuskan, ya ini memang harus dihapuskan," ucapnya.Senada dengan Suryo, Stanley juga mengatakan,
"Nggak boleh ada lagi orang yang mempersoalkan anda bekas PKI, anda wajib lapor, dibebaskan,"
Pembentukan Tim Ad hoc
Untuk memverifikasi seluruh korban 1948 hingga 1965 memperoleh rehabilitasi, Tim Perumus mengusulkan dibentuknya tim Ad hoc independen yang langsung di bawah Presiden Joko Widodo. Stanley menyebut, tim tersebut bisa saja diserahkan pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Meski Undang-Undangnya telah digugurkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam, tapi menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Sidarto Danusubroto, sangat mungkin dihidupkan kembali melalui dekret atau keputusan presiden untuk hal-hal luar biasa.
"Ada usulan membentuk tim khusus atau menghidupkan KKR? Itu bisa dalam bentuk Undang-undang,
tapi bisa juga dalam bentuk presidensial decree (dekret presiden). Meski begitu,
tetap perlu pengesahan dari DPR"
Tugas Tim Perumus, berakhir ketika hasil rekomendasi diserahkan ke Menkopolhukam,
Luhut Binsar Pandjaitan pada Rabu (18/5/2016). Anggota Tim, Stanley takkan mempersoalkan kalau
pemerintah tak menjalani hasil rekomendasi. Sebab, ketika rekomendasi itu memasuki ranah politik,
maka ada hal lain yang dipertimbangkan pemerintah. "Saya kira kalau negara ini punya political will
dan kemampuan, ya tidak ada yang sia-sia," pungkasnya. Bagian 4: Meruntuhkan Tembok Stigma
"Ibu tidak butuh permintaan maaf, ibu tidak butuh
ganti rugi. Ibu hanya butuh dinyatakan tidak bersalah dan tidak terlibat G30S,"
ungkap Nani Nurani dengan getir. Diusianya yang beranjak ke-75 tahun dia masih
mencari keadilan dan lepas dari bayang stigma G30S.
Selang tiga tahun, kala ia baru kembali dari Jakarta, Nani dicokok di kampung halamannya lantaran dituduh sebagai kader Lekra, sebuah organisasi underbow PKI. Bahkan di tanah kelahirannya itu, tersiar kabar, Nani bernyanyi saat Ahmad Yani dibunuh di Lubang Buaya. Setelahnya bisa ditebak, Nani ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan selama tujuh tahun. Tapi kebebasan itu semu. Cap ET atau eks-tapol masih membayangi.
Di umurnya yang kian sepuh, ia tak rela terus dihantui stigma PKI. Pada 2008 lalu, Mahkamah Agung akhirnya menyatakan negara telah melanggar hak sipilnya. Karena itu, Nani kemudian mendapat KTP seumur hidup- tanpa cap ET.
Tak puas, dia lalu kembali menggugat negara. Tujuannya agar namanya direhabilitasi. Upaya banding pasca kekalahannya di sidang menemui jalan buntu. Itu sebab, dia mengadu kepada Komisi Informasi Publik (KIP) agar kasusnya menjadi jelas. Sial, hingga hari ini kasusnya mandeg.
Perhelatan Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 April lalu, menjadi ajang melepas gundah perempuan yang memutuskan tak menikah karena enggan dicap terlibat PKI ini. Dalam kesempatan tersebut, dia kembali tegaskan keinginannya,
"Saya tidak butuh maaf, tapi hanya kepastian hukum. Saya tidak ingin dicurigai. Saya ingin nama baik dan kehormatan saya kembali melalui rehabilitasi. Saat saya mati, saya ingin orang tua saya tersenyum karena saya dinyatakan tidak terlibat G30S,"
Stigma yang Dibuat Sistematis
Salah satu rekomendasi yang ditelurkan Tim Perumus Simposium yakni penghapusan pasal-pasal diskriminasi yang imbasnya menstigma korban 1965. Dalam kesempatan wawancara bersama KBR, Ketua Panitia yang juga menjadi anggota perumus, Suryo Susilo mengatakan, pemerintah harus bisa menjamin tak ada lagi perlakukan diskriminasi yang diterima mereka yang disebut terkait G30S, termasuk PKI. "Ya kita seperti membuka jalan untuk paling tidak pemerintah tahu apa yang harus dilakukan kepada warga negaranya supaya tidak melakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif, penekanan," ujarnya.Stigma PKI itu, tak begitu saja datang dari langit. Semuanya sudah dirancang oleh penguasa saat itu, Soeharto yang memanfaatkan secara leluasa wewenang dari Soekarno. Melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang dibuatnya, Soeharto seolah menjadi penguasa kedua di negeri ini dengan membuatnya menjadi alat untuk kontrol politik.
Maka tak heran, dalam gelaran Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, kembali diungkit menyoal stigmatisasi yang melekat pada mereka yang terkait PKI. Salah satu pemateri, Yuniyanti Chuzaifah dari Komnas Perempuan memaparkan, stigma itu terpelihara di masyarakat.
"Masyarakat mengadopsi budaya kekerasan kebal rasa, anarki dan apatis; kekerasan post konflik terus terjadi,"
Tak hanya itu, menurutnya, tanpa proses penyelesaian dan penghapusan stigma, peristiwa 65 tak mustahil bisa terulang. Hal lainnya jelas, pengucilan dari masyarakat. "Korban per wilayah yang tidak dipulihkan akan diasosiasi sebagai bagian dari bangsa, baik secara politis mau pun budaya," katanya lagi.
Aturan - aturan Diskriminatif
"Kekuasaan" yang dimandatkan kepada Soeharto, membuatnya bisa menancapkan kuku di segala aspek dalam kultur masyarakat saat itu.Serangkaian aturan-aturan, baik dalam surat keputusan presiden, bahkan dalam undang-undang dan peraturan menteri sebagai turunannya, dibuat sedemikian rupa agar tetap terpelihara stigma tersebut. Kelak kemudian, rezim Orde Baru ini menyebutnya bersih diri dan bersih lingkungan.
Soeharto lalu menempatkan mereka yang terlibat PKI kedalam tiga bagian besar, yaitu:
Sementara, mereka yang masuk pada Kategori B, pemerintah pada 1976 berjanji akan melepasnya pada 1979. Dan kategori A, telah diadili di depan mahkamah militer.
Keppres ini juga mengatur pegawai negeri sipil (PNS) yang dianggap terlibat G30S dan PKI. Pasal 2 aturan itu menyebutkan, pemerintah bisa saja langsung memberhentikan atau menskorsnya. Pasal keempat kemudian mengaturnya lebih jelas. Pemberhentian dengan tidak hormat, bisa dilakukan bila PNS atau mereka yang bekerja di perusahaan milik negara, termasuk pada Golongan C 1. Sementara bila terindikasi masuk dalam Golongan C 2 dan C 3, sanksi disesuaikan dengan keterlibatan mereka.
Pengecualian pada Golongan C 2 dan C 3 juga diatur dalam pasal kelima. Jika masih bekerja pada instansi pemerintah, mereka tetap diperbolehkan untuk bekerja namun harus dibina dan diawasi secara khusus. Poin berikutnya, mereka masih diberi kesempatan untuk memperbaiki iri sendiri dan terakhir akan mendapat sanksi pidana bila tetap melakukan kegiatan yang dianggap membahayakan.
Selang 15 tahun kemudian, pemerintah semakin menguatkan mereka yang disebut terkait PKI dan G30S, dengan dikeluarkannya surat Keputusan Presiden No 16 tahun 1990 tentang penelitian khusus bagi PNS. Dengan keppres ini, pemerintah melakukan screening mereka yang mendaftar sebagai PNS. Itu dilakukan agar menjamin pegawai pemerintah nantinya, bebas dari pengaruh PKI dan komunis. Nantinya hasil rekam jejak itu, dijadikan pertimbangan untuk pengangkatan, mau pun peningkatan jabatan.
Tak hanya itu, jika dalam litsus ditemukan keterkaitan dengan kasus 65 mau pun tergabung dalam PKI, sudah barang tentu proses hukum akan berlanjut untuk dikategorikan peranannya.
http://kbr.id/simposium65/#bagian-1
0 komentar:
Posting Komentar