Jumat, 17 Mei 2019
Pantai Sanleko
Pantai Sanleko tempat mendaratnya para tahanan politik unit IV saat di
buang di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Bergetar tangan Diro Utomo saat menceritakan tersiksanya
ia dan ribuan tahanan politik lainnya pada awal masa pembuangan mereka di Pulau
Buru untuk dipaksa bekerja membuka hutan dan membuat sawah hanya dengan sebuah
cangkul.
Diro Utomo pria berusia 83 tahun itu dibawa ke Pulau Buru
pada tahun 1971 dan langsung ditempatkan Unit XVIII meski tanpa ada alasan yang
jelas mengapa ia ditangkap dan ditahan.
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) memeluk kawan senasibnya
Slamet (kanan) di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pulau Buru yang berada di Maluku menjadi lokasi tempat
pemanfaatan (Tefaat) yang kemudian berubahan menjadi Inrehab (Instalasi
Rehabilitas) para tahanan politik yang ditangkap pasca-G30S/PKI untuk
dimanfaatkan membangun kawasan persawahan.
Hamparan sawah hasil kerja paksa para tahanan politik di Savana Jaya,
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Namun dari sekitar 12 ribu tahanan politik yang dibawa ke
Pulau Buru tak semuanya terkait dengan organisasi terlarang PKI. Banyak dari
mereka yang difitnah sebagai anggota PKI karena ada yang tak suka pada mereka.
Tugu peresmian nama desa Savana Jaya pada masa pembuangan tahanan
politik di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Pada saat itu telunjuk lebih mematikan dari pada
senjata, seseorang yang tidak suka sama kita dengan mudahnya menunjuk kita
sebagai PKI sehingga kita ditangkap dan dijadikan tahanan politik tanpa melalui
proses pengadilan”, ujar Diro.
Seperti Solikhin, pria berusia 84 tahun itu ditangkap
bersama istrinya pada pertengahan 1966 di Tasikmalaya karena di halaman
rumahnya ditemukan peta rencana penyerangan kantor polisi yang sama sekali ia
tak pernah melihat peta tersebut sehingga ia harus dibuang ke Pulau Buru pada
tahun 1970 dan menghuni unit IV/Savana Jaya.
Mantan tahanan politik Sugito (kanan) bersama istrinya Sugiharti yang
juga anak mantan tahanan politik memilih menetap di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA
FOTO/Hafidz Mubarak A)
Selama menjalani kerja paksa, para tahanan politik pun
kerap mendapatkan kekerasan dari tentara yang mengawasi mereka selama bekerja
di unit masing-masing.
Foto hasil reproduksi empat tahanan politik saat melakukan panen padi
di Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Boleh dibilang Pulau Buru ini dibangun dengan keringat
dan air mata tahanan politik sehingga Buru kini telah menjadi lumbung padi di
kawasan Indonesia Timur”, tutur Solikhin yang memilih hidup di Savana Jaya.
Mantan tahanan politik Diro Utomo berladang di Pulau Buru, Maluku.
(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Mulai tahun 1972, banyak istri dan anak para tapol
didatangkan dari Pulau Jawa sehingga setelah masa pembebasan pada tahun 1979
banyak para mantan tahanan politik lebih memilih menetap di Pulau Buru tempat
dimana mereka menghabiskan waktunya dalam bekerja paksa.
Anak mantan tahanan politik bekerja sebagai pegawai di SDN 1 Waepo,
Savana Jaya, Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Kehadiran anak-anak tapol yang masih gadis pun
menimbulkan benih-benih cinta dari para tahanan politik yang masih bujangan.
Banyak dari mereka yang menikah dan memilih menetap di Buru.
Foto mantan tahanan politik Solikhin memeluk istrinya sebelum ditangkap
dan dibuang ke Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Seperti Sugito, pria kelahiran 1942 itu jatuh hati dengan
seorang anak tahanan politik bernama Sugiharti yang akhirnya menikah pada masa
tahanan politik 1978 meski di akte pernikahannya tertulis pekerjaan seorang
tahanan politik.
Foto hasil reproduksi pernikahan tahanan politik Sugito (kedua kiri)
dan anak mantan tahanan politik Sugiharti (kedua kanan) pada tahun 1978 di
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Para mantan tahanan politik yang berada di Pulau Buru
kini sudah hidup dengan tenang, ada yang menghabiskan sisa hidupnya dengan
bertani hingga membuka warung untuk memenuhi kebutuhan hidupnnya.
Mantan tahanan politik Solikhin berada di depan rumahnya di Pulau Buru,
Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Mereka pun telah berbaur dengan para transmigran yang
didatangkan dari Pulau Jawa meski sesekali ada saja yang menyebut mereka “dasar
PKI” bila ada seseorang yang jengkel dengan mereka.
Mantan tahanan politik Diro Utomo (kiri) dan anak dari tahanan politik
Sugiharti (kedua kiri) melakukan pencoblosan saat Pemilu 2019 di Savana Jaya
Pulau Buru, Maluku. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pascapemilu 2019, mantan tahanan politik berharap
siapapun presiden yang terpilih nanti dapat mengembalikan nama baik mereka dan
keluarganya agar mereka dapat hidup lebih aman dan tentram. Harapan tak terjadi
lagi peristiwa yang pernah mereka rasakan pun terus terucap.
Foto dan teks : Hafidz
Mubarak A
0 komentar:
Posting Komentar