Rabu, 29 Mei 2019

Kiri Indonesia Menunggu Ratu Adil?


29 May 2019 - Appridzani Syahfrullah

Kredit ilustrasi: Reddit
  • Kontribusi Untuk Perdebatan


PROBLEMATIKA gerakan progresif di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto masih sama; rekonsolidasi dan penyamaan persepsi dalam rangka pembangunan gerakan alternatif. Perdebatan yang terjadi dikalangan kaum progresif mengerucut pada dua hal. 
Pertama mereka yang meyakini jalan infiltrasi kekuasaan sebagai langkah untuk menelurkan kebijakan progresif. Kedua mereka yang berkeyakinan menjadi golongan putih (Golput) dengan harapan membangun gerakan politik oposisi murni.

Di antara kedua faksi tersebut ada yang hilang terhadap pembangunan narasi relevan untuk mengambil tindakan konkret; refleksi historis. Dalam sejarah Indonesia, sejak periode kolonial, setidaknya kaum kiri telah melakukan tiga kali percobaan revolusi untuk melawan kelas yang menindas. Yang pertama peristiwa 1926-1927 yang terjadi di Banten dan Silungkang Sumatera Barat; yang kedua turut ambil bagian dalam revolusi nasional hingga pecah peristiwa 1948 di Madiun. Yang paling akhir ialah memilih jalan damai yang bergulir dalam rentan waktu 1950-1965 yang kemudian berujung pada pembunuhan massal kaum kiri.

Meski ketiganya gagal, namun gerakan kiri mampu melakukan rekonsolidasi dan persatuan total untuk membangun gerakan rakyat. Namun pada periode setelah meletusnya peristiwa 1965, belum ada rekonsolidasi ulang hingga dekade 1990an. Baru setelah golongan pemuda terpelajar dan progresif kembali membangun sebuah kekuatan politik alternatif Partai Rakyat Demokratik (PRD), kekuasaan Orde Baru tumbang. Namun tumbangnya rezim Orba, kelompok kiri susah untuk menyatukan diri dalam sebuah organisasi yang revolusioner.

Apa Yang Hilang Dari Gerakan Progresif di Indonesia?

Setelah kegagalan perlawanan bersenjata tahun 1926-1927, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan sebuah kebijakan pengasingan bagi mereka yang dianggap terlibat dan berpotensi mengganggu stabilitas keamanan nasional. Namun karena pemerintah Hindia Belanda sedikit “longgar”[1], gerakan kiri dapat dikonsolidasikan ulang oleh tokoh komunis terkemuka, Musso. Pembangunan basis massa progresif oleh Musso melalui gerakan bawah tanah (1930-1942) nampaknya berhasil dilakukan.

Hal itu terbukti ketika rezim fasis Jepang masuk menguasai Indonesia, barisan massa yang terorganisir dengan baik telah siap terbentuk. Mereka mengonsolidasikan diri di bawah naungan organisasi Geraf (Gerakan Anti Fasis) yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Gerakan ini tidak berdiri sendiri, mereka di danai oleh pemerintah Belanda untuk menjadi barisan oposisi pemerintah militer Jepang.

Keberhasilan Geraf dalam mengorganisir massa yang cukup banyak dan militan, itu tidak bisa dilepaskan terhadap kecakapan pengorganisiran yang dilakukan oleh Amir Syarifuddin. Ia mengerti kapan harus berkompromi kepada para pemangku kepentingan oligarki, kapan harus melepaskan sama sekali pengaruh oligarki dan membangun gerakan oposisi sepenuhnya. Poin inilah yang seringkali gagal dipahami oleh kelompok intelektual kiri dalam membaca kondisi realitas.

Setelah kejatuhan Jepang, Amir menjadi tokoh nasional yang disegani oleh kaum pergerakan dan menjabat sebagai menteri pertahanan dan perdana menteri pada tahun-tahun paling awal revolusi Indonesia 1946-1948.
Jabatan yang diambil oleh Amir ini berkat reputasinya sebagai tokoh utama gerakan bawah tanah anti fasis Jepang. Posisi yang berhasil dikuasai oleh Amir ini dapat dengan mudah dipatahkan oleh barisan konservatif dalam pemerintahan Indonesia melalui jebakan perjanjian Renville[2]. Setelah perjanjian itu ditandatangani, seketika Amir diturunkan dari jabatannya. Hal ini mengacu pada sebab utama dalam internal gerakan kiri progresif; keterlambatan mereka dalam rekonsolidasi.

Kedatangan Musso (1948) sebagai simbol gerakan kiri di Indonesia yang sedikit terlambat,[3] secara perlahan mulai merintis persatuan kaum kiri. Musso sebagai orang yang disegani, justru kecewa terhadap keputusan Amir yang melepas jabatan strategis tersebut. Oleh sebab lemahnya organisasi perlawanan bersenjata kelompok kiri dan terjadinya provokasi oleh golongan konservatif pada masa itu memicu perlawanan bersenjata yang terjadi di Madiun tahun 1948. Kegagalan kaum progresif dalam mengonsolidasikan perlawanan mereka, dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh kaum kiri, yaitu terbunuhnya pada kader partai terbaik; Amir Syarifuddin dan Musso.

Seharusnya ini dapat menjadi refleksi kaum kiri kekinian di Indonesia bahwa sekecil apapun struktur pemerintahan yang dapat direbut, harus dipertahankan terlebih golongan kiri sebagai –meminjam istilah Airlangga Pribadi- creative minority yang potensial menelurkan kebijakan progresif di kalangan massa rakyat.

Kemajuan Kecil yang Dirintis Kaum Progresif Dalam Kemerintahan Kekinian
Presiden Jokowi memenangkan kontestasi pemilihan umum presiden pada tahun 2014. Hal itu tidak luput dari dukungan kelompok progresif kiri yang menilai bahwa Jokowi layak didukung karena tidak lahir dan besar dalam lingkaran oligarki politik Orde Baru. Konsekuensinya, terdapat beberapa nama seperti Teten Masduki dan Hilmar Farid yang duduk dalam pemerintahan.

Namun di antara keduanya, perubahan signifikan yang paling dapat dirasakan ialah terbitnya Undang-undang Pemajuan Kebudayaan tahun 2017 yang di koordinasikan oleh Hilmar Farid. Bayangkan, selama beberapa dekade kaum progresif tidak mendapatkan tempat dalam pemerintahan, sekalinya mendapatkan ruang, ada kebijakan yang dapat dirasakan oleh kebanyakan pihak.

Pemberdayaan korban pelanggaran HAM 1965 juga kerap dilakukan oleh Ditjen Kebudayaan. Berbagai acara yang berbau kesenian dan melibatkan penyintas korba kekerasan HAM sudah dapat kita lihat. Memang benar, bahwa janji Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM tidak sepenuhnya terwujud, namun adanya pemberdayaan korban 1965 melalui program pemerintah juga sebuah kemajuan yang harus kita nilai dengan pikiran lebih jernih.

Meskipun di bawah pemerintahan Jokowi masih marak pembubaran diskusi, perampasan tanah, dan politik upah murah, kita harus sadar bahwa di bawah rezim yang sekarang ini, suara kelompok kiri mulai terakomodir. Setelah rezim Gus Dur jatuh, belum ada upaya pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lalu utamanya mereka yang telah di stigma komunis sejak tahun 1965. Dan yang terlebih penting, pemerintah Jokowi mempunyai kemauan untuk merangkai rekonsiliasi atas nama negara.

Kita harus sadar bahwa perubahan secara radikal tidak bakal terjadi meski di dorong gerakan paling radikal sekalipun. Revolusi Oktober yang terjadi di Russia, meski bergulir secara radikal, perubahan yang dilakukan oleh Uni Sovyet yang revolusioner-pun tetap melewati fase-fase transisi. Dalam hal ini, perubahan tersebut bisa dikatakan evolusionis.

Apalagi sekarang? Kita harus realistis bahwa kelompok kiri ialah kelompok yang paling sulit bersatu dan berjumlah minoritas. Berbeda dengan kelompok konservatif agama yang mudah disatukan melalui retorika yang dibangun berdasarkan ilusi belaka. Ini yang menjadi tantangan kita!

Membangun Gerakan Kiri yang Dialektis

Lebih jauh lagi kita harus melihat dalam sejarah Indonesia bahwa kemerdekaan yang dirintis tidak murni dilakukan oleh mereka yang menamakan diri sebagai oposisi kolonial Hindia Belanda. Terdapat beberapa tokoh yang dapat dijadikan rujukan seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Mohammad Husni Thamrin, yang notabene mereka tergabung dalam struktur pemerintahan, namun juga menyokong gerakan rakyat dengan membangun basis-basis riil di tengah massa.

Kaum kiri kekinian seringkali terjebak dalam narasi romantik dan heroik dalam membangun argumentasinya. Seolah revolusi yang dirintis oleh bangsa Indonesia merupakan murni hasil kinerja kaum oposisi. Memang gerakan oposisi mempunyai peran, namun mendiskreditkan perjuangan kaum progresif yang masuk dalam pemerintahan merupakan hal yang ahistoris, seperti yang dapat kita lihat dalam pengalaman pemerintahan Amir Syarifuddin 1946-1948.

Kalau mendaku diri kaum kiri kekinian namun terjebak dalam retorika romantik, akibatnya kita cenderung merindukan masa lalu, utamanya ketika Sukarno menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia tahun 1945-1967.
Namun fakta historis mengatakan bahwa Sukarno pada tahun 1942-1945, sebelum diangkat sebagai Presiden RI, merupakan bagian dari suksesor Jepang yang fasis. Oleh karena keberhasilan infiltrasi kelompok kiri dalam menggalang kekuatan massa dan masuk dalam struktur pemerintahan di bawah Rezim Sukarno, terdapat kemajuan pesat yang dapat dirasakan kekuatan kiri; arah kebijakan politik yang pro terhadap kaum proletar.

Silang pendapat yang dibangun berdasarkan sentimen pribadi akan berimbas secara langsung terhadap psikologis kedua belah pihak yang berseteru. Akibatnya, upaya persatuan gerakan rakyat yang selalu diimpikan oleh kaum progresif akan sukar untuk diwujudkan. Apabila bisa diwujudkan, kemungkinan terbaik kekuatan kaum progresif akan melemah akibat konflik horizontal yang kontraproduktif.

Sentimen yang mendakwa bahwa salah satu pihak ialah pendukung presiden Jokowi dan di pihak lain ialah gerakan kiri yang ompong dan lumpuh, merupakan bagian dari retorika psywar yang menjauhkan kelompok progresif dalam cita-cita utama; persatuan total dalam bentuk organisasi konkret. Memang perbedaan ialah bagian dari dialektika untuk memperdebatkan hal guna mencari jalan keluar paling rasional. Namun yang paling penting saat ini, ialah upaya pembangunan organisasi persatuan konkret, yang harus disokong oleh banyak pihak dan kalangan, utamanya mereka yang mempunyai paradigma sama dalam upaya penyelesaian persoalan ekonomi politik saat ini. Untuk masalah perdebatan dan penyatuan pendapat, itu lebih produktif apabila dilakukan setelah wadah organisasi ini terbentuk.

Ingat bung, kaum kiri tidak sedang menunggu ratu adil untuk dapat bersatu. Saya yakin itu!

***

Appridzani Syahfrullah adalah Mahasiswa S2 Sejarah Universitas Gadjah Mada
————

[1] Pengasingan bagi mereka yang dianggap pemberontak ke Boeven Digul, dianggap lebih longgar apabila dibandingkan dengan yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap mereka yang dianggap komunis. Pada masa Hindia Belanda, tidak ada pembunuhan massal semasif yang dilakukan pemerintahan Orde Baru dalam mengganyang dan melenyapkan gerakan kiri pada masa itu.
[2] Perjanjian Renville yang begitu merugikan pemerintah Indonesia ditandatangani oleh pemerintahan Amir yang didorong oleh kondisi kekuatan kaum kanan dalam pemerintahan dan lemahnya kontrol politik kaum kiri yang belum juga bersatu sebelum meletusnya peristiwa Madiun 1948.
[3] Musso datang setelah Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya.

0 komentar:

Posting Komentar