Oleh: Indira Ardanareswari -
11 Mei
Mohammad Misbach, haji
komunis. tirto.id/Sabit 2019
Haji Misbach memadukan Islam dan komunisme sebagai landasan perjuangan. Radikalismenya membuat ia diasingkan pemerintah kolonial.
Mohammad Misbach atau Haji Misbach adalah tokoh unik
dalam sejarah Indonesia. Di samping menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, ia
juga dikenal sebagai penganut setia komunisme. Misbach sangat mengagumi
kepribadian Nabi Muhammad sekaligus mengidolakan Karl Marx.
Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan
(2005: 6) menjuluki Misbach sebagai Haji Revolusioner. Sebagai seorang yang
berpikir radikal, Misbach memperjuangkan antikolonialisme. Herman Hidayat
melalui makalah “Perjuangan dan Pemikiran H.M. Misbach” yang dimuat dalam
antologi Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel (2013)
menyatakan pemikiran Misbach tentang aktualisasi dan kontekstualisasi
nilai-nilai Islam dan marxisme ditujukan untuk menentang penindasan kolonial
Belanda (hlm. 44).
Jauh sebelum orasi dan perjuangannya menggema di beberapa
surat kabar sepanjang dekade 1910-an dan 1920-an, masa kecil Misbach tergolong
biasa saja.
Ia lahir di Kampung Kauman Surakarta pada 1876 dari
keluarga pedagang batik yang cukup berada. Orang tuanya memberikan nama kecil
Ahmad. Pendidikan Ahmad diawali dengan ngelmu di pesantren. Kemudian ia
menuntut ilmu pengetahuan dasar di sekolah bumiputra Ongko Loro selama delapan
bulan.
Menurut Hidayat, perpaduan belajar di sekolah agama dan
sekolah umum memberikan Ahmad perspektif yang luas terhadap lingkungan
sosialnya. Meski datang dari keluarga saudagar sekaligus pejabat Muslim di
Keraton Solo, tak lantas membuat Ahmad berperilaku layaknya ningrat. Ia justru
digambarkan sebagai pribadi yang ramah kepada siapa saja termasuk rakyat miskin
dan sangat alim.
Lulus dari sekolah bumiputra, Ahmad langsung meneruskan
usaha dagang ayahnya. Di bawah pengawasannya, bisnis batik keluarga Ahmad
menjadi sangat maju. Kebetulan bisnis batik di awal abad ke-20 memang tengah
melejit. Tak lagi menjadi pengepul, Ahmad berhasil membuka rumah pembatikan
sendiri di kampungnya.
Hidup Demi Kaum
yang Tertindas
Rupanya, berdagang tak membuat Ahmad berpuas hati. Ia
justru tertarik pada gejolak sosial-politik yang mewarnai tanah Jawa di
permulaan abad ke-20. Menurut Mu’arif dalam artikelnya di alif.id, ketertarikan
Ahmad bermula dari kesukaannya membaca surat kabar Doenia Bergerak. Surat kabar
berhaluan kiri itu diterbitkan oleh Indische Journaist Bond (IJB), sebuah
organisasi pers pribumi bentukan Sarekat Islam (SI).
Memasuki usia dewasa, Ahmad—kala itu telah menikah dan
beralih nama menjadi Darmodiprono—memutuskan pergi berhaji. Sepulang dari ibadah
haji ia mengambil nama Islam: Mohammad Misbach. Di saat bersamaan keinginan
untuk terjun ke dunia pergerakan semakin bulat. Haji Misbach pun bergabung ke
IJB pada 1914.
Perjuangan Haji Misbach melawan penindasan pemerintah
kolonial dimulai dari balik meja redaksi. Sepanjang 1915 hingga 1919 ia
berkenalan dengan haji-haji tokoh pergerakan dari Surakarta dan Yogyakarta,
termasuk di antaranya Kiai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Sepanjang
tahun-tahun itu pula Misbach giat menulis untuk surat kabar Medan Moeslimin
(1915) dan Islam Bergerak (1917).
Kembali merujuk pada penelitian Herman Hidayat, sekitar
April 1919 Misbach membuat karikatur di surat kabar Islam Bergerak yang
menyebut kapitalis Belanda suka menindas petani dengan membebani mereka dengan
kerja paksa, upah yang kecil, dan pajak yang tinggi.
Tak hanya pemerintah kolonial, penguasa-penguasa feodal,
termasuk Pakubuwana X yang terkenal lengket kepada Belanda, pun dicerca.
Retorika khas Haji Misbach, menurut Hidayat, berhasil menggerakkan aksi mogok
petani di beberapa perkebunan Belanda di tahun 1919. Sikapnya yang terlampau
vokal perihal ketimpangan hubungan antara penguasa dengan kaum pekerja membuat
Misbach dikejar-kejar pemerintah kolonial. Ia akhirnya dibui pada 1920 atas
tuduhan penistaan.
Penjara tampaknya telah menempa Misbach menjadi pribadi
yang baru. Selama dalam tahanan dia banyak bersosialisasi dengan para aktivis
Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), embrio Partai Komunis
Indonesia (PKI). Dari dalam penjara Misbach mulai mengenal marxisme.
Berdasarkan penelusuran Ruth T. McVey dalam The Rise of
Indonesian Communism (1965), setelah terbebas dari penjara di tahun 1922,
Misbach dan para pendukungnya berhasil mengambil alih Medan Moeslimin dan Islam
Bergerak. Di sanalah ia dengan lantang menunjukan sikap menentang kapitalisme.
Akibatnya, hubungan antara Misbach dengan Partai Sarekat
Islam jadi tak harmonis. Misbach juga mulai menyerang organisasi-organisasi
pembaruan Islam, seperti halnya Muhammadiyah. Ia menjuluki mereka sebagai
kapitalis Muslim. Kritik tersebut dikeluarkannya dalam Medan Moeslimun edisi 20
November 1922 dan Islam Bergerak edisi 10 Desember 1922.
Propaganda Komunis
Lewat Jalan Islam
Nor Hiqmah dalam H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi
Pemikirannya (2000) mempertegas alasan Haji Misbach memerangi kapitalisme.
Menurut pandangan sang haji, kapitalis merupakan kaum serakah yang menebar
kezaliman dan kekejian.
Sebagaimana keyakinannya, kaum-kaum tersebut harus
diperangi. Saat tengah menyampaikan pemikirannya ini Misbach turut mengutip
surat an-Nisa ayat 75 yang menyerukan anjuran berperang melawan kezaliman (hlm.
29).
Sebelumnya, lanjut Hiqmah, Misbach juga pernah
mengutarakan pemikiran serupa lewat surat kabar Islam Bergerak pada 1922.
Misbach menggambarkan tentang terbelenggunya rakyat Indonesia yang mayoritas
Islam akibat ulah kapitalisme dan imperialisme yang ia sebut penuh tipu muslihat.
Misbach kerap menyebut kecenderungan para penguasa feodal
dan para polisi yang suka menindas rakyat kecil, sementara kelompok kapitalis
menghisap tenaga para buruh tani. Hal ini menimbulkan kemiskinan terstruktur.
Misbach percaya, seharusnya seorang Muslim dapat bersatu memerangi keburukan
tersebut.
Berbekal pandangan yang kemudian populer dengan sebutan
Islam-Komunis, sejak 1923 Misbach muncul sebagai propagandis PKI dan SI merah
yang efektif. Bahkan ia sempat naik podium untuk berorasi dalam kongres PKI/SI
di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923.
Misbach berargumen, sudah kewajiban seorang Muslim untuk
mengakui hak-hak manusia, sama halnya dengan program-program komunis. Misbach
juga yakin, dengan memilih jalan komunis siapapun masih bisa menjadi seorang
Muslim sejati.
Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan
Propagandis Komunis Di Serambi Mekah 1923-1949 (2018) menuturkan orasi Misbach
pada perhelatan kaum kiri tersebut menginspirasi para haji dari pulau seberang.
Salah seorang haji yang terkagum-kagum mendengar pidato Misbach ialah Haji
Datuk Batuah yang kemudian mendirikan Sarekat Rakyat di Padang pada November di
tahun yang sama (hlm. 46).
Pada Juni 1924 Haji Misbach kembali ditangkap pemerintah
kolonial atas tuduhan agitasi di wilayah Surakarta. Ia lantas dibuang bersama
keluarganya ke Penindi, Manokwari. Meskipun terasingkan, perjuangan Misbach
belumlah berakhir.
Herman Hidayat mencatat bahwa di Manokwari Misbach justru
lebih banyak berinteraksi dengan suku-suku pendatang lain. Bersama-sama, mereka
membentuk komunitas Islam dan mendirikan masjid untuk beribadah. Selain itu,
Misbach juga masih berjuang mengemukakan pemikirannya melalui beberapa surat
kabar di Jawa yang pernah diampunya.
Menurut Mu’arif, selama dalam pembuangan Misbach berteman
dengan Haji Muhammad Abu Kasim, pemilik perusahaan jasa pengiriman dari Ambon
ke Manokwari. Melalui Abu Kasim, Misbach kerap memesan buku dan majalah yang
diterbitkan organisasi-organisasi Islam modern di Jawa. Kuat dugaan, melalui
Abu Salim pulalah Misbach mengirimkan tulisan-tulisannya.
Penelitian Nor Hiqmah menunjukan tulisan bersambung
Misbach yang berjudul “Islam dan Komunis” ditulis ketika ia berada dalam
pengasingan di Manokwari. Tulisan tersebut dimuat secara berkala di Medan
Moeslimin yang terbit berurutan sebanyak enam kali sepanjang tahun 1925.
Sebelum meninggal di tahun 1926, Misbach sempat
mengeluarkan tulisan terakhir. Tulisan berjudul “Nasehat” terbit di Medan
Moeslimin dan berisikan pesan kepada rekan seperjuangannya agar tetap melakukan
pergerakan melawan kezaliman berlandaskan agama.
Perjuangan Haji Misbach
melawan penindasan pemerintah kolonial dimulai dari balik meja redaksi.
0 komentar:
Posting Komentar