Muhamad Ridlo - 03 Mei
2019, 17:00 WIB
Patok batas tanah Perhutani peninggalan Belanda yang merupakan batas
kawasan hutan. Tetapi kini, lahan Perhutani semakin luas dan masuk ke tanah
milik warga Karangreja, Cipari, Cilacap.
(Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Cilacap - Tragedi 1965 tak hanya tentang peristiwa upaya
kudeta yang berakhir dengan hilangnya ribuan nyawa. Berpuluh tahun kemudian,
dampaknya masih dirasakan oleh sebagian masyarakat.
Ribuan masyarakat kehilangan harta, benda, dan hak atas
tanah tumpah darahnya. Guratan kelam sejarah 1965 tentang manusia yang
tercerabut dari tanahnya salah satunya terjadi di Cilacap, Jawa Tengah.
Syahdan, usai tragedi 1965, warga Desa Grugu, Cilacap, diminta untuk
bedol desa. Alasannya, demi keamanan. Maklum, pedesaan terpencil kerap
dijadikan persembunyian bekas anggota PKI yang melarikan diri.
Warga setuju bedol desa lantaran dijanjikan tukar guling.
Warga desa yang kemudian secara administratif masuk Kecamatan Kawunganten ini
pun setuju meninggalkan desanya.
Singkat kata, mereka pun pindah. Namun, tak pernah
terbayangkan sedikit pun, janji-janji tukar guling itu hanya omong kosong
belaka. Hingga puluhan tahun kemudian, mereka tak mendapatkan haknya.
"Dikenal ada Grugu baru dan Grugu lama. Grugu lama itu adalah kawasan hutan yang asal usulnya adalah desa Grugu yang warganya dipaksa bedol desa dengan alasan keamanan," Petrus Sugeng, Direktur LSM Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, mengungkapkan.
Perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah yang hilang
usai tragedi 1965 kembali
mulai dilakukan sejak akhir 1990-an dan awal milenium, seturut bergulirnya
reformasi. Akan tetapi, hingga 2019 ini, pemilik tanah di Grugu lama atau
keturunannya tak kunjung memperoleh kejelasan.
Petrus Sugeng, Direktur LSM Setam Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad
Ridlo)
Angin harapan lantas berembus pada 2017 dan 2018 lalu,
dengan pembaruan skema redistribusi lahan. Pemerintah meluncurkan berbagai
program redistribusi tanah. Salah satunya reforma agraria dengan skema Izin
Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial alias IPHPS.
Warga kembali terpantik untuk mengajukan IPHPS sebagai
alternatif penguasaan lahan penuh melalui skema kepemilikan hak. Bersama dengan
empat desa lain di Cilacap, Warga Grugu kembali memperjuangkan tanahnya.
Selain Grugu, empat desa lainnya itu yakni Bringkeng,
Babakan, dan Panikel Kecamatan Kawunganten. Bersama Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif (JKPP) mereka tengah bersiap mengajukan lahan sengketa sebagai
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Petrus menjelaskan, di keempat desa itu terdapat ratusan
hektare lahan yang disengketakan antara warga dengan Perhutani. Serupa dengan
Grugu, Bringkeng, Babakan, dan Panikel adalah desa-desa lama yang warganya
bedol desa usai peristiwa 1965.
Saat ini, warga tengah mengumpulkan bukti-bukti sejarah
bahwa lahan perhutani di tiga desa itu merupakan bekas desa. Di antaranya bekas
pemakaman, pondasi rumah atau tempat ibadah, bekas sumur, dan tanda-tanda
perkampungan yang kini masih tersisa.
"Kita sedang persiapan pemetaan lagi. Beberapa desa yang kemarin tertunda, karena Pemilu, yakni Bringkeng, Grugu, Babakan, dan Penikel. Ada empat desa yang kita rencanakan," dia menerangkan.
IPHPS di 3 Desa
Kabupaten Cilacap
Peta pengajuan IPHPS Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten. (Foto:
Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dan salah satu bukti yang paling kuat adalah penyebutan
tiga desa tersebut. Di wilayah sekitar, ada penyebutan Grugu lama dan Grugu
baru, Bringkeng lama dan Bringkeng baru, serta Babakan lama dan Babakan baru.
"Nama-nama ini merujuk pada kawasan yang pernah telah ditinggalkan dan yang kini didiami oleh warga," ujar Petrus.
Berbeda dari kasus tiga desa yang tukar gulingnya tidak
terealisasi, desa keempat yang sebagian lahannya akan diajukan sebagai TORA,
Panikel adalah lahan timbul. Lahan ini sebelumnya adalah kawasan Laguna Segara
Anakan.
Sedimentasi telah menyebabkan ratusan hektare laguna
berubah menjadi daratan. Setelah digarap oleh warga selama puluhan tahun,
mendadak lahan timbul itu diklaim sebagai kawasan hutan oleh Perhutani.
Empat desa ini akan menyusul tiga desa lain di Kabupaten
Cilacap yang juga telah mengajukan IPHPS. Tiga desa tersebut meliputi Mentasan
dan Sarwadadi Kecamatan Kawunganten, serta Desa Gintungreja Kecamatan
Gandrungmangu.
Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah
memverifikasi lahan dan penggarapnya pada pertengahan April lalu.
Desa Gintungreja mengajukan IPHPS seluas 176 hektare.
Desa Sarwadadi mengajukan seluas 486,5 hektare, adapun Desa Mentasan seluas 500
hektare lebih.
0 komentar:
Posting Komentar