Kamis, 23 Mei 2019

Sebuah Masa Kelam yang Melahirkan Keterasingan Satu ke Keterasingan yang Lain


TITIK KARTITIANI - 23 MAY

Buku kumpulan cerpen "Kata-Kata Membasuh Luka" karya Martin Aleida. FOTO: JATIMPLUS.ID/Titik Kartitiani

Kadang, ketakutan memang sengaja diwariskan. Apalagi ketakutan kolektif yang bisa digunakan kapan saja bila dibutuhkan. Pada sebuah bangsa yang miskin literasi, maka hoaks pun menjadi senjata pemusnah massal untuk membunuh nalar.

Judul buku          : Kata-Kata Membasuh Luka
Penulis               : Martin Aleida
Penerbit             : Penerbit Buku Kompas
Tahun                : 2019
Jumlah halaman  : xii+340hlm

Tahun 1965 saya belum lahir. Saya hanya mendengar kisah dari bapak saya, betapa mencekam masa itu. Cekaman yang terus diwariskan dari generasi ke generasi melalui narasi kekejian PKI. Narasi yang ditanamkan sejak belia. Melalui film wajib tonton dan buku-buku P dan K.

Jahat dalam satu sisi, sisi si pencerita a.k.a penguasa. Tak ada pembanding dan pendapat kedua. Bagi kami yang miskin “bacaan”, maka narasi itu menjadi kebenaran tunggal. “KTP merah” adalah label yang berarti kesialan hidup di atas NKRI. Generasi yang tak mengalami masa itu, lahir tahun 1970-an, 1980-an, hingga 1990-an akan mewarisi nalar itu. Ada yang kemudian terbuka menerima wacana bahwa kedua belah pihak bisa jadi adalah korban. Ada yang sudah nyaman dan tak mau menerima masukan.

Bahkan sampai hari ini, ketika politik elektoral sudah kehabisan bahan, PKI yang sudah berkalang tanah pun dibangkitkan lagi. Menjadi sumba yang bisa mewarnai siapa saja. Mereka paham betul bahwa memori kolektif ini pun serupa bahaya laten. Dengan sedikit pemantik, maka kekelaman itu kembali berkecambah. Kekelaman yang rasanya tak hendak dituntaskan. Atau memang untuk digunakan jika sewaktu-waktu dibutuhkan?

Kekejian itu tak pernah menemukan cermin untuk berkaca. Sampai 21 Mei 1998, ketika Soeharto (yang tentu saja punya peran besar dalam masa yang suram itu) tumbang. Tumbang pula jajaran si pencerita satu sisi. Saya mulai mendengar versi lain. Baik dari risalah sejarah yang mengais fakta, juga fakta-fakta yang dikemas dalam karya sastra.

Pernah ada suatu masa ketika angin kebebasan berekspresi bertiup sepoi-sepoi, menulis tentang PKI dan komunis terasa begitu seksi. Sehingga banyak sastrawan yang menggeluti tema ini.

Namun tidak dengan Martin Aleida. Ia menulis bukan karena tren. Ia menulis karena mengabarkan lukanya. Luka yang akan selalu memar ketika narasi kegelapan ini selalu disamarkan. Oleh sebab itu, ia adalah penulis Indonesia yang konsisten mengajak pembaca untuk bermuka-muka dengan kekelaman itu. Kekelaman pelaku sejarah.

Martin atau Nurlan ditangkap dan dipenjara karena ia wartawan Zaman Baru. Koran terbitan Lembaga Kesenian Rakyat yang berafiliasi dengan Lekra. Di sanalah karya-karya Martin berpijak.

Membaca cerpen-cerpen Martin bagi generasi yang dibesarkan dengan narasi satu sisi tentu tak mudah. Harus “berdamai” pada narasi lain dan mengelola jarak untuk mendekat. Tanpa bermaksud membandingkan dalam hal bobot karya, akan lebih mudah dan sesuai alur rasa ketika membaca karya-karya Iwan Simatupang (dan anggota Manikebu lainnya) untuk tema yang sama, G30 S PKI. Ini soal sisi berpijak penulis yang sama dengan sisi pembaca seperti saya. Perlu merobohkan sekat yang sudah membaja tertanam sejak belia.

Jarak memang menerbitkan pesona. Namun untuk masuk dalam alam kumpulan cerpen “Kata-Kata Membasuh Luka,” harus sejenak tak berjarak, lebur di dalamnya. Agar tokoh-tokoh yang dibangun penulis menjadi “aku” dan “kita”, bukan “kamu” dan “kalian”. Agar bisa meraba rasa kelam yang disajikan dalam 35 cerita pendek dalam buku ini.

Kekelaman yang sesungguhnya tanpa pelita. Gelap. Dalam gelap, segalanya bisa terjadi. Ketakutan tanpa anatomi, menginjak pecahan beling, hingga terperosok dalam jurang. Efek gelap itulah yang akan dipaparkan dalam cerpen-cerpen yang mengisahkan politik tahun 1965-1966. Sebagaimana yang ditulis Arswendo Atmowiloto dalam pengantar buku ini, kisah ini bukan teriakan amarah, menyumpah, dan meludah. Namun terasa pedih yang mendidih, sayatan yang mengentikan napas.

Kepedihan masyarakat biasa, yang hanya ingin menemui kekasihnya yang takkan pernah bisa pulang. Meski di sana dituliskan bahwa cinta tak membutuhkan secarik kertas. Dia hanya memanggil-manggil keteguhan hati (Asmara dan Kematian di Perbatasan Tiga Negara, hal. 27).
Namun tentu saja, cinta mengharapkan sebuah pertemuan, bahkan pertemuan kecil yang begitu sederhana. Itu pun susah terwujud karena impak sebuah pergolakan.

Pun orang-orang terasing karena “KTP merah” ini dialami oleh Mangku yang tak bisa mendapat pekerjaan layak. Ia menjadi pengamen topeng monyet yang bahkan monyetnya pun mati (Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh, hal 95).

Ada juga kisah yang begitu lugas dituturkan oleh seorang tapol (Surat Tapol kepada TKW, Cucunya, hal.9). Mengisahkan sisi manusiawi dari sebuah ideologi yang dipilih.

Separuh dari cerpen-cerpen ini pernah dimuat di KOMPAS. Tak semua tentang kisah politik tahun 1965-1966. Kisah keseharian yang tampaknya tak berhubungan dengan 1965, namun ternyata menghasilkan kesan yang sama: kekelaman yang melahirkan keterasingan bahkan di tanah sendiri.
Daulat yang tak dihelat bahkan di rumahnya sendiri. Misalnya seperti kisah anjing yang ditinggal pergi tuannya yang ditulis dari sisi si anjing bernama Eric (Eric, Makanlah…, hal. 85). Atau kisah paus pembunuh yang mengorbankan diri untuk menghentikan darah di Lamalera (Tiada Darah di Lamalera, hal. 67).

Bahasa lugas namun puitis sebagai ciri khas kumpulan cerpen ini mengetuk pembaca untuk berdialog dengan rasa yang mengendap. Hal yang semakin sulit didapatkan dalam sebuah era percepatan informasi seperti sekarang ini.
Pun menorehkan sisi-sisi kemanusiaan dari dua belah pihak yang berkonflik. Bagaimanapun, ketika dua gajah bertempur, maka pelanduk yang akan mati di tengah-tengahnya. Pelanduk yang kerap takkan mendapat apa-apa bahkan ketika dua gajah itu tidak bertarung.

Harus ada yang mencatat luka si pelanduk, bukan hanya untuk membasuh lukanya. Namun tersemat harap, masa gelap tak terulang. Pelanduk pun harusnya belajar untuk tak masuk dalam ring gajah, meski kerap diajak. Bahkan, diajak setiap 5 tahun sekali.

0 komentar:

Posting Komentar