Mei 12, 2019
MASA lalu awet di lagu. Petaka, suram, derita, dan
penghinaan. Masa lalu itu telah sering ditulis dalam buku-buku. Kini, masa lalu
itu lagu. Acara di Metro TV diturunkan menjadi ulasan sehalaman di Media
Indonesia, 4 Mei 2019. Ulasan berjudul besar “Melodi Perjalanan Suram”. Para
tokoh mengalami getir di masa Orde Baru gara-gara malapetaka 1965 memilih
berlagu, bukan membalas dendam atau melawan segala makian politik masa lalu.
Mereka bersenandung sejarah, biografi, dan keluarga. Lagu bukan “membatalkan”
bedil, perintah, dan tendangan telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu
bercerita, mengajak ke renungan perempuan dan Indonesia.
Lagu bukan “membatalkan” bedil, perintah, dan tendangan
telah memberi siksaan dan kematian. Lagu itu bercerita, mengajak ke renungan
perempuan dan Indonesia.
Mereka bergabung di paduan suara Dialita, mengeluarkan
album berjudul Dunia Milik Kita. Kita mengutip di Media Indonesia: “Peran
Dialita merangkul memulihkan para korban eks tapol terkait dengan peristiwa
G-30-S/PKI, tahun ini mendapatkan penghargaan dari luar negeri.” Kaum perempuan
sanggup mengusung sejarah sampai masa sekarang dengan suara-suara bercerita.
Perempuan bernama Utati Koesalah, 75 tahun. Pada masa
1960-an, ia bergabung di Pemuda Rakyat ingin berkesenian. Ia ditangkap dan
ditahan berdalih terlibat dengan PKI. Hari-hari buruk dialami di penjara Wanita
Bukit Duri. Ia tak mau mati sia-sia di penjara. Utati pun berbuat demi
mengartikan hidup dan mendapatkan nafkah untuk membeli gula, sabun, dan
pelbagai kebutuhan. Hidup tak selalu buruk. Keluar dari penjara, ia berkumpul
bersama keluarga dan menikah dengan sesama eks tapol, Koesalah Soebagyo Toer.
Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang sedih dan suram.
Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan bersenandunglah!
Sekian perempuan lain memiliki cerita-cerita bergelimang
sedih dan suram. Mereka tak mau terpuruk dan tersiksa. Berkumpulah dan
bersenandunglah!
Di buku wadah CD album Dialita, kita simak penjelasan Ita
Fatia Nadia: “Ibu-ibu Dialita ingin menyampaikan pengalaman tentang sejarah
hidup yang mereka alami sesudah tragedi kekerasan secara struktural yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1965.” Lagu-lagu itu bersejarah,
bukan lagu kasmaran atau hiburan.
Biografi mereka ada di lagu. Album lagu Dialita tak
terlalu menampilkan simbol-simbol politis. Di buku album Dialita, kita malah
disuguhi gambar tanaman-tanaman liar dan resep masakan. Sekian gambar
bersanding dengan lirik-lirik lagu dan cerita kecil. Buku itu menjadi album
tanaman, album “liar” bagi kita telanjur memiliki keterbatasan pengetahuan
tentang jenis tanaman untuk pangan.
Lagu berjudul “Taman Bunga Plantungan” mengajak kita
mengunjungi kamp Plantungan di perbatasan Kendal-Batang, Jawa Tengah. Lagu dan
lirik digubah oleh Zubaedah Nungtjik AR, 1971. Lagu bercerita cinta kasih dan
persahabatan para perempuan di Plantungan. Mereka bertugas membuat taman di
tempat bekas rumah sakit bagi penderita lepra. Hari demi hari, mereka
berbarengan membuat taman. Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka
menjadikan hidup indah meski dinodai ulah rezim Orde Baru.
Hari demi hari, mereka berbarengan membuat taman.
Jadilah! Taman itu indah, ejawantah kemauan mereka menjadikan hidup indah meski
dinodai ulah rezim Orde Baru.
Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (2006)
Di situ latar pembuatan lagu, nama Mia Bustam (1920-2011)
disebut sebagai penghuni dan pembuat taman di Plantungan. Kita membaca peran
Mia Bustam dan tanggungan derita di buku berjudul keras: Dari Kamp ke Kamp (2008).
Mia Bustam jadi musuh Orde Baru. Ia dijadikan penghuni penjara dan kamp. Masa
lalu memberi muatan memicu marah rezim membenci PKI. Orang-orang masih mungkin
mengenang Mia Bustam adalah perempuan tangguh. Masa lalu menempatkan nama Mia
Bustam bersanding Sudjojono, sebelum mereka berpisah. Dua orang pernah
suami-istri, berpisah menempuhi jalan berbeda. Mia Mustam memanggul derita
berat, berbeda nasib dari Sudjojono.
Dua orang pernah suami-istri, berpisah menempuhi jalan
berbeda. Mia Mustam memanggul derita berat, berbeda nasib dari Sudjojono.
Kita mengingat dua nama di buku memoar berjudul Sudjojono
dan Aku (2006). Semula, Mia Bustam menulis memoar untuk anak-cucu. Pada suatu
masa, memoar terbit jadi buku untuk “pelajaran” manusia, sejarah, seni, dan
Indonesia. Mia Bustam mengisahkan Mas Djon (Sudjojono) di masa lalu: “Mas Djon
meski bisa lembut selembut sutera, wataknya keras… Warna wataknya hitam atau
putih. Tidak ada warna pastel pada dirinya. Kebenaran yang diyakininya, entah
benar atau salah menurut orang lain, akan dibelanya mati-matian. Jika perlu ia
sanggup mengorbankan pekerjaan dan keluarganya sekali pun. Ini telah
berkali-kali dibuktikannya.” Mia Bustam mengerti Sudjojono sebagai seniman dan
suami.
Pada saat bersama Sudjojono, ia dipanggil Nyi Sudjojono.
Kisruh asmara dan keluarga menjadi penentu dalam pengukuhan nama. Perempuan
memiliki nama tak wajib membawa atau mengikuti nama suami. Situasi ruwet antara
Sudjonono-Mia Bustam-Rose tak ingin panjang memberi siksa. Pada 26 November
1958, ia menunggu jawaban tak pasti dari Sudjojono mengenai predikat
suami-istri. Ia pun memilih melukis potret diri dan anak-anak, tak pernah
selesai. Mas Djon datang memberi jawab: “Jeng, ternyata aku tidak bisa
meninggalkan Rose. Kalau dia kutinggalkan, dia akan kehilangan pegangan, dan
itu aku tidak mau. Jadi kita berpisah. Aku tahu, kau ini kuat. Mungkin akan
menderita beberapa waktu, tapi kau akan mampu mengatasinya, aku yakin.”
Sudjojono salah. Mia Bustam malah mengaku derita telah
selesai. Ia memilih berjalan ke terang nasib dengan melukis dan turut pameran
diadakan Seniman Indonesia Muda di Surabaya. Ia mulai mencantumkan nama
menampik derita: Mia Bustam, bukan lagi Nyi Sudjojono.
Nasib dua orang itu berbeda. Sudjojono tak menanggung
kutukan rezim Orde Baru. Sudjojono terus bergerak di seni dan meraih pengakuan
meski sempat “mampir” di politik gara-gara godaan kiri. Mia Bustam
menanggungkan “hukuman”. Ia tak selamat dari politik sedang memusuhi segala hal
berkaitan PKI. Hari demi hari, Mia Bustam dipaksa jadi manusia terhukum sampai
tiba ke kamp Plantungan. Di situ, ia bertemu dengan para perempuan memiliki
keragaman masa lalu tapi terikat oleh politik “kebencian” dan “pengutukan” khas
rezim Orde Baru.
Masa lalu mencatat nama Mia Bustam dan para perempuan
pantang kalah. Paduan suara Dialita mengabarkan kemauan mereka mentas dari
“kutukan-kutukan” diawetkan di pidato pejabat dan buku-buku pelajaran di
sekolah. Mereka pun pernah direndahkan melalui film-film dan buku sejarah
selera Orde Baru. Di album Dunia Milik Kita, mereka memilih mengangkut sejarah
digenapi tanaman. Dulu, mereka hidup dengan tanaman-tanaman untuk pangan.
Di buku album, sejarah dan keperempuanan semakin mengena
dengan pemuatan resep pangan liar. Warisan dan pengetahuan ampuh bagi kita
ingin mengerti derita dan pemaknaan pangan. Di halaman mengenai genjer, kita
kembali belajar pangan, kemiskinan, dan sejarah petaka: “Genjer adalah sejenis
tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di sawah atau perairan dangkal. Biasanya
ditemukan bersama-sama enceng gondok. Genjer adalah sumber sayuran ‘orang
miskin’, yang dimakan orang desa apabila tidak ada sayuran lain yang dapat
dipanen.”
Kita menghormati mereka, mendengar lagu mereka, dan
menanti masa bisa bersantap pangan liar. Cara terpantas untuk mengingat sejarah
dan membaca biografi para perempuan dalam album petaka Indonesia masa lalu.
Begitu.
Bandung Mawardi,
FB: Kabut
0 komentar:
Posting Komentar