10 Mei 2019
Menko Polhukam Wiranto memberi keterangan pers usai rapat koordinasi
pengamanan di Kementerian Koordinator Polhukam, Jakarta, Kamis (18/4). Menko
Polhukam mengapresiasi semua pihak yang mewujudkan Pemilu 2019 berjalan aman,
lancar, dan damai. ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta
Tim Asisten Hukum bentukan Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan dibubarkan.
Melalui tim yang akan dibentuk ini, pemerintah berusaha
menyeret persoalan hukum ke ranah politik, kata Komisioner Komnas HAM, Choirul
Anam.
Choirul mengatakan hal itu terlihat dari tugas tim yaitu
memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil
kajian hukum terhadap tindakan yang dinilai melanggar hukum pasca Pemilu 2019.
Choirul mengatakan tugas yang diberikan kepada anggota
tim itu adalah tugas penyelidik.
"Tugas itu karakternya intervensi terhadap penegakan hukum. Apalagi melihat struktur keanggotaannya. Artinya, setelah diputuskan lewat kajian dan dinyatakan orang itu melanggar pasti akan jalan kasusnya. Itu kan sarat kriminalisasi," ujar Choirul Anam kepada wartawan di kantor Komnas HAM, Jakarta (10/05).
"Menkopolhukam menarik persoalan hukum jadi persoalan politik yang mestinya dihindari. Karena itu cerminan dari karakter Orde Baru," sambungnya.
Pada Surat Keputusan yang diteken Menteri Koordinator
bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, pada 8 Mei 2019, tugas tim
tersebut juga menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menteri
Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan selaku Ketua Pengarah.
Setidaknya ada 24 anggota yang terdiri dari 13 orang
berlatarbelakang pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi.
Anggotanya termasuk I Gede Panca Astawa dari Universitas
Padjajaran, Farida Patittinggi yang menjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, dan Bintar R. Saragih dari Universitas Indonesia. Selebihnya
terdapat pejabat di empat kementerian, Kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Tapi menurut Komnas HAM, kehadiran tim tersebut akan
memangkas dan menakut-nakuti seseorang dalam menyampaikan pendapat maupun
pikirannya. Padahal, hal itu telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar dan
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM menilai pembentukan Tim Asistensi Hukum inskonstitusional. DETIK
"Kita ketahui karakter demokrasi bersifat noise atau riuh. Itu karena demokrasi memang memberi ruang kepada setiap orang mengeluarkan pikiran dan pendapat dan kerap berbeda-beda," ujar Komisioner Komnas HAM, Munafrizal Manan.
"Tidak seharusnya ada suatu kebijakan yang bernuansa menebar ancaman dan menciptakan atmosfer ketakutan bagi warga negara," sambungnya.
Lebih jauh Choirul Anam mengatakan, keterlibatan belasan
pakar hukum dalam Tim Asistensi Hukum, tidak menjamin adanya objektivitas dalam
menilai suatu kasus, sekalipun mereka dianggap berintegritas tinggi. Sebab
bagaimanapun, para ahli itu bekerja di bawah kewenangan pemerintah.
"Mau nggak mau karena di bawah Kemenkopolhukam, mau isinya semua profesor, hukum jadi instrumen untuk kepentingan-kepentingan politik. Karena ini di bawah kementerian politik. Jadi tokoh-tokoh itu tidak menjawab apapun," tegas Choirul Anam.
Publik diminta
tidak berburuk sangka
Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi
Warman, menilai kekhawatiran Komnas HAM tidak tepat.
Justru menurutnya, tim ini bertujuan melindungi agar
"tidak ada pihak yang terzalimi".
Ia mengatakan prosesnya dilakukan secara terbuka dengan
menggandeng para pakar hukum yang independen dan tidak memiliki afiliasi
politik dengan siapapun.
"Justru ini kemajuan di zaman modern, membuka diri kepada tokoh-tokoh ahli hukum yang memiliki kapasitas, integritas, orang kampus. Malah tim diberikan kesempatan berdiskusi dengan tim lain yang bisa dipertanggung jawabkan secara akademisi," ujar Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam, Adi Warman, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
"Mereka digaransi bekerja berdasarkan ilmu. Jadi jangan buruk sangka, lihat dulu hasilnya," sambungnya.
Dia juga mengatakan, Tim Asistensi Hukum dibentuk supaya
aparat penegak hukum tidak terus menerus disudutkan dan dipersalahkan ketika
menyelidiki suatu kasus yang tersangkut dengan pihak yang berseberangan dengan
pemerintah. Sebab, keputusan Kepolisian maupun Kejaksaan Agung telah melewati
pertimbangan pakar.
"Ini akan membuat nyaman tindakan penyidik benar-benar murni hukum, bukan area abu-abu atau kepentingan politik," jelasnya.
Adi Warman pun mengklaim, kajian hukum dan hasil rekomendasi
dari para pakar hukum Tim Asistensi, tidak dimaksudkan melompati proses
penyelidikan di Kepolisian.
"Tidak masuk (penyelidikan)."
Terpanggil untuk
kepentingan negara
I Gede Panca Astawa yang merupakan Guru Besar Universitas
Padjajaran, mengatakan menerima permintaan menjadi salah satu anggota Tim
Asistensi Hukum, karena "untuk kepentingan negara". Ia mengaku tak
memiliki kedekatan dengan Presiden Joko Widodo ataupun Menkopolhukam, Wiranto.
"Saya melihat negara memanggil, saya tidak lihat Wiranto-nya," ujar I Gede Panca Astawa, kepada BBC News Indonesia, Jumat (10/05).
Dalam bekerja nanti, ia mengklaim akan objektif sebagai
akademisi di bidang hukum tata negara dan administrasi negara. Begitu pula
dengan pakar lain yang memiliki latarbelakang ilmu hukum pidana.
"Dalam melakukan kajian itu, akan diletakkan secara proporsional. Kami akan berembuk apakah ucapan ini masuk kategori yang melanggar atau tidak. kalau tidak melanggar diberikan rekomendasi, misalnya tindakan ini tidak perlu ditindak," jelasnya.
Hasil kajian dan rekomendasi yang diberikan itupun, tidak
dimaksudkan mengintervensi proses hukum yang akan berjalan. Para pakar, kata
dia, hanya menjadi pagar agar aparat penegak hukum "tidak lepas
kontrol".
Massa yang tergabung dalam GNPF Sumut melakukan aksi 'longmarch' menuju
kantor Bawaslu Sumut, di Medan, Jumat (10/5/2019). Mereka menuntut Bawaslu
Sumut untuk melakukan evaluasi atas penyelenggaraan Pemilu 2019. ANTARA
FOTO/SEPTIANDA PERDANA
"Biar hati-hati, jangan sampai polisi reaktif. Hati-hati juga tidak menghilangkan ketegasan," ujarnya.
"Jadi kami tidak bermaksud mengintervensi, justru mengawal aturan yang ada," sambungnya.
I Gede Panca Astawa juga memastikan, Tim Asistensi Hukum
tidak akan memberangus hak seseorang menyampaikan pendapat seperti yang
termaktub dalam Undang-Undang Dasar.
"Tidak mungkin kami melakukan itu. Kami akan berpegang pada aturan yang ada."
Meski belum efektif bekerja di Tim Asistensi Hukum, tugas
para anggota akan menelaah tindakan dan ucapan yang ada di media sosial, media
cetak, elektronik, maupun di ruang publik.
Ia mencontohkan, jika ada ucapan dari pihak-pihak yang
menghina simbol negara yaitu presiden, maka besar kemungkinan akan
direkomendasikan diusut penegak hukum.
"Suka tidak suka, jangan lihat orangnya tapi jabatannya. Itu simbol negara. Kita tidak ingin simbol negara dihina, itu harus dapat suatu ganjaran," tukasnya.
"Kalau ujaran kebencian, hoaks, caci maki, atau fitnah, itu nggak bisa dibiarkan. Nanti kita lihat ada nggak aturannya."
0 komentar:
Posting Komentar