Oleh: Husein Abdulsalam - 21 Mei 2019
Ilustrasi Harry Wibowo. tirto.id/Sabit
Kondisi objektif seperti krisis ekonomi diperlukan untuk menggerakkan people power. Kondisi itu tidak ada di 2019.
Dalam dua bulan terakhir, frasa people power hangat diperbincangkan di Indonesia. Dengan tuduhan bahwa Pemilihan Umum 2019 berlangsung curang, pendukung pasangan calon Prabowo-Sandiaga menyerukan people power alih-alih berencana mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedianya mengumumkan pemenang Pemilu 2019 pada Rabu (22/5), tapi sejumlah demo bertajuk people power telah diorganisir pendukung Prabowo-Sandiaga sejak pekan kemarin. KPU sendiri sudah mengumumkan hasil Pemilu 2019 pada Selasa (21/5) dini hari, setelah menyelesaikan rekapitulasi suara.
Reaksi pemerintah pun dinilai berlebihan: penyeru people power dianggap melakukan makar.
Yang jelas, ini bukan kali pertama wacana people power muncul di Indonesia. Para aktivis penentang Orde Baru di 1980-an akrab dengan gagasan people power. Mereka antusias mempelajari gerakan massa yang meruntuhkan rezim diktator Ferdinand Marcos di Filipina pada 1986.
Represi rezim Orde Baru memuncak sepanjang 1980-an. Puluhan hingga ratusan orang tewas dalam Peristiwa Tanjung Priok pada 1984 dan empat tahun kemudian mahasiswa ITB kembali turun ke jalan. Masih pada dekade yang sama, perampasan tanah terjadi di banyak tempat, yang paling terkenal adalah penggusuran besar-besaran demi pembangunan waduk Kedungombo.
Di antara peristiwa-peristiwa tersebut, meletus gerakan people power di Filipina yang mendapat ekspos besar oleh media-media nasional dan kelak memperkuat sentimen anti-Soeharto.
Jurnalis Tirto Husein Abdulsalam dan redaktur Windu Jusuf, mewawancarai Harry Wibowo. Redaktur pelaksana Jurnal dan Portal Prisma yang akrab dipanggil Har Wib ini adalah mantan aktivis mahasiswa di Institut Teknologi Bandung. Ia menyaksikan turut mengorganisir protes-protes anti-Orde Baru pada 1980-an yang sedikit banyak dipengaruhi oleh gerakan people power di Filipina. Berikut petikannya.
Istilah people power yang ramai belakangan ini tidak baru di Indonesia. Setelah gerakan massa di Filipina 1986 untuk menumbangkan Ferdinand Marcos, istilah people power juga dipakai di Indonesia untuk membicarakan peristiwa Tiananmen di Cina atau color revolutions di banyak tempat.
Bagaimana wacana itu bisa sampai ke Indonesia dan apa respons para aktivis waktu itu?
Di kampus-kampus Indonesia waktu itu, gerakan mahasiswa sangat landai karena direpresi (setelah NKK/BKK). Ada ancaman pemecatan, misalnya. Dewan mahasiswa waktu itu sudah dibekukan dan rektor-rektor yang pro-mahasiswa diganti oleh Mendikbud Daoed Joesoef.
Untuk keluar dari represi, mahasiswa enggak lagi bikin protes, walaupun tetap ada aksi-aksi yang terus berjalan, yaitu pembelaan sidang-sidang mahasiswa seperti Rizal Ramli, Hery Akhmadi. Saya masuk ITB tahun 1979. Sampai 1981, masih ada sidang-sidang tingkat kasasi, kalau tidak salah. Dari ITB sendiri, ada tujuh atau delapan mahasiswa yang diadili setelah pendudukan Kampus ITB oleh ABRI 1978, di antaranya Sukmadji Indro Tjahjono, Ramles Manampang Silalahi, M. Iqbal, dll.
Mulai 1981-an, outlet dari gerakan mahasiswa adalah kelompok studi. Saya sendiri bikin kelompok-kelompok studi, tidak hanya di ITB tetapi juga di tempat-tempat lain. Beberapa orang yang dulu bergabung dalam kelompok-kelompok studi semacam itu adalah Rocky Gerung, Vedi R. Hadiz dari UI, atau Bonar Tigor Naipospos dari UGM, termasuk Fadjroel Rachman dkk di ITB.
Tahun 1985, Kompas mencoba memberi ruang mahasiswa untuk ngomong. Mereka mengundang mahasiswa dalam suatu pertemuan besar membahas arah gerakan mahasiswa. Saat itu masih ada mitos gerakan mahasiswa 1965-1966 yang menumbangkan Soekarno, kemudian gerakan Malari 1974, kemudian 1977-1978 yang gagal karena Soeharto tetap jadi presiden. Ada mitos itu.
Pelajaran yang bisa ditarik (dari Filipina 1986) adalah semangatnya. Pertama, semangat bahwa satu diktator kaya Marcos bisa ditumbangkan. Kedua, ternyata bisa kok memobilisasi kekuatan di luar (kampus).
People power waktu itu dipicu penembakan suami Cory Aquino, Benigno Aquino. Pertanyaannya, kenapa mereka teroganisisir, bisa jadi people power dan turun ke jalan?
Entah kenapa, sejak 1986 terjalin kontak-kontak antara mahasiswa Indonesia dan Filipina. Ada Asia Student Association (ASA) yang kiri progresif. Dari situ kami bisa membangun kontak-kontak internasional. Tidak terbatas pada organisasi kemahasiswaan, tapi juga organisasi atau front seperti buruh.
Saya sendiri sempat ke konferensi ASA di Hong Kong, 1986. Isinya memang orang-orang kiri.
Dari situ saya dapat kontak organisasi-organisasi mahasiswa kiri di Filipina. Mereka ini bahkan punya kontak organisasi-organisasi semacam National Democratic Front (NDF) di Filipina sampai ke Jose Maria Sison (pendiri Partai Komunis Filipina). Saya juga ingat ada satu organisasi besar buruh kiri di Filipina, namanya Kilusang Mayo Uno.
Mulai dari ASA, kami pelajari juga apa sih yang mereka lakukan saat mengorganisir diri dan bergabung dalam aliansi strategis sehingga punya andil dalam menjatuhkan Marcos. Kelompok studi waktu itu sudah mulai berwacana tentang kiri lewat membahas buku Arif Budiman (Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende). Kami juga baca pemikir Frankfurt School yang dibahas Sindhunata, atau diktat Marxisme yang ditulis Franz Magnis-Suseno. Intinya, kami mulai mencari literatur kiri.
Kejatuhan Marcos juga membuka kami bisa berelasi dengan kawan yang kiri-kiri di Filipina. Beberapa tahun kemudian, pada 1986 akhir, kasus Kedungombo meledak. Gerakan protes mahasiswa yang tadinya sangat campus-oriented kini turun ke lapangan. Turun langsung karena dipicu pembangunan waduk Kedungombo. Mahasiswa juga turun ke kasus-kasus tanah yang lain, misalnya, Badega di Garut, Jawa Barat. Terus kasus proyek perkebunan sawit di Cimerak
Setelah kelompok studi, gerakan mahasiswa turun ke lapangan. Kita belajar dari pengalaman organisasi kiri di Filipina atas dasar semangat jatuhnya Marcos.
Saya sendiri termasuk yang sangat mengamati perubahan di Filipina: bagaimana konstelasi politik di Filipina? Siapa sih yang naik setelah Cory Aquino?
Setelah Cory, ada satu tokoh NDF yang bisa jadi semacam 'perdana menteri'. Dia tak lama menjabat. Tapi saya membayangkan itu seperti Komune Paris. Enggak persis, sih. Komune Paris, kan, benar-benar menciptakan kekuatan politik dari bawah. Begitu proses demokratiknya terjadi.
Kaum kiri di Filipina, termasuk Sison, bisa menaruh orang-orangnya di dekat Cory sehingga bisa masuk ke kabinetnya Cory.
Yang seperti itu kami pelajari. Malah beberapa kawan pergi Filipina. Mereka diundang ke sana. Ada dua sampai tiga orang. Teman baik saya ada yang belajar dan mendalami seluk beluk gerakan sosial di Filipina dan bagaimana metode analisis sosial yang kritis menjadi bagian penting gerakan perlawanan. Dia menikah dengan orang Filipina yang kemudian menjadi WNI.
Intinya, itu semua membuka ruang lebih besar untuk mahasiswa berjejaring. Kemudian mengalami radikalisasi. Dalam artian bukan hanya baca buku. Itu yang menarik dari people power.
Sejak awal kami sudah tahu people power bahwa Aquino bagian dari oligarki, elite lama. Tapi yang menarik adalah bahwa kok bisa NDF yang kiri kemudian memasukkan ke orang-orangnya ke kabinet Aquino? Ya, meskipun tidak lama, paling hanya setahun sebelum disingkirkan oleh kaum reaksioner kanan.
Tidak semua menyerukan people power, kan, saat itu?
Tidak, karena memang sangat direpresi. Kelompok studi mulai bangkit lagi karena memang ada banyak problem konkret di bawah kediktatoran Soeharto. Bukan hanya karena Filipina bergerak. Semangat dari sana kami pakai untuk belajar. Jadi kita belajar. Saya rasa pada periode 1980-an sampai akhir, bisa sampai 5-7 orang yang ke sana.
Mungkin ini karena pandangan post-factum, bisa bias saya. Informasi, kan, sangat terbatas. Saya pribadi langganan koran Kompas di kos saya. Saya kliping berita soal Filipina. Kami juga mendiskusikan juga soal Filipina di kampus, di kelompok-kelompok studi itu.
Bagaimana media-media di Indonesia memberitakan soal Filipina 1986?
Positif, sih. Seperti memberikan suatu insight atau wawasan: seorang diktator yang kurang lebih sama dengan (Soeharto) bisa dihancurkan. Walapun kami juga tahu bahwa itu ada pemicunya, kematian Benigno. Berita soal NDF itu bahkan saya dapat dari Kompas.
Nah, di Filipina itu kan ada dua front: front legal dan front “bawah”. New People’s Army (NPA) yang front bawah tanah. NDF yang front legal. Nah, pola ini mulai kami pelajari dari Filipina. Pemberitaan mengenai NPA dan NDF itu ada, walaupun hanya beberapa. Ada juga berita Moro National Liberation Front (MNLF).
Rezim Orde Baru waktu itu memandang pemberitaan peristiwa internasional bukan suatu yang berbahaya, jadi enggak akan kena sensor. Tapi kalau berita soal Soeharto, paling tidak ya kena swa-sensor.
Yang lain, kalau teman-teman pulang dari Filipina, mereka bawa tulisan-tulisannya Sison. Satu hal yang sudah saya tahu, mungkin ini agak pribadi, Sison mengatakan dia belajar dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Figur seperti Sison, baik secara politik maupun diplomatik, cukup dikenal.
Perkembangan politik seperti itu kami pantau terus dengan semangat untuk belajar. Cukup bikin kami semangat. Efeknya cuma itu.
Saya heran klaim 1998 sebagai people power. Saya bilang agak beda. Mungkin ini bias saya. Tapi, maksud saya bahwa pelajaran yang bisa ditarik dari Filipina adalah kelompok kiri di Filipina ternyata ada dua front yang bisa masuk. Yang NDF bisa masuk ke jajaran kabinet Aquino. NPA, front yang lain di bawah tanah, tetap melancarkan perjuangan bersenjata. Strategi dua front itu yang tidak ada saat Reformasi 1998. Mungkin karena Partai Rakyat Demokratik (PRD) sudah terlanjur dipukul sepanjang akhir 1997 hingga awal 1998, dan gerakan kiri secara umum sudah ditumpas pada tahun 1965-66.
Tapi kalau soal mempelajari gerakan kiri, tidak hanya itu. Di satu sisi, beberapa tahun sebelumnya kami sudah dapat disertasi Arif Budiman soal Chili, yang intinya tentang bagaimana Allende yang sosialis bisa menang lewat pemilu demokratis. Dia jadi Presiden, kemudian dikudeta Pinochet. Yang diajarkan disertasi Arif ialah state strategy dan mobilisasi massa.
Allende menggunakan kedua hal itu sehingga memenangkan kekuatan massa.
Nah, kalau dibandingkan 1998, situasinya agak lain. Aku melihat pada 1998 tidak ada perlawanan bersenjata. PRD coba bikin itu, tapi berujung ceroboh.
Menurut Anda, penggunaan istilah people power itu sendiri sekarang bagaimana?
Itu cuma slogan gertak sambal saja. Situasi sekarang tidak seperti Indonesia pada 1998, Filipina pada 1986, atau gerakan Solidarność di Polandia (1980-an). Kalau mau dibandingkan dengan sekarang, apakah rezim Jokowi ini otoriter? Pertanyaannya begitu, apakah Jokowi sama dengan Marcos?
Sekarang ini, kan, sebenarnya pertarungan dua kelompok elite. Kalau pakai istilah people power, ya bakal diketawain, baik oleh pendukung Jokowi maupun para golput seperti saya ini.
Penyebutan people power dalam konteks hari ini tidak masuk akal bagi saya. Tidak ada kondisi objektif yang bisa membuat mereka menggerakkan massa. Tanggal 22 Mei nanti, paling-paling yang ada kekerasan terhadap massa.
Sebagai aktivis pro-demokrasi 1980-an, Anda melihat pemerintahan Jokowi otoriter?
Tidak. Pertama, dia dipilih secara demokratis. Walau demikian, kalau kita lihat dalam periode yang lebih panjang, ada tendensi serius: negara semakin berwatak illiberal, semakin tidak menghormati hak asasi manusia dan kebebasan dasar.
Walau demikian, kalau kita lihat dalam periode yang lebih panjang, tendensi iliberal democracy tersebut tidak hanya terjadi di level negara, tapi juga di masyarakat sipil dengan kebangkitan kelompok konservatif, bigot agama. Di lain sisi sampai sebelum Pemilu 2019, kita bisa lihat bahwa kasus penggusuran naik signifikan, dan kriminalisasi terhadap mereka yang memperjuangkan hak-haknya atas lahan dan sumberdaya alam. Represi terus meningkat.
Tetapi, kita tidak bisa bilang bahwa rezim ini otoriter. Secara keseluruhan memang negara semakin tidak demokratis. Tidak hanya rezimnya saja yang perlu dicurigai otoriter, tapi tendensi negara secara menyeluruh, termasuk parlemen yang menghasilkan UU yang tidak menghormati kebebasan berpendapat atau berekspresi seperti UU ITE, atau beberapa keputusan pengadilan yang memperkuat represi dalam bentuk kriminalisasi tersebut.
Proses illiberal democracy itu tidak bisa dibebankan hanya kepada rezim Jokowi. Itu proses struktural yang ada sebelumnya, termasuk pada masa pemerintahan SBY yang membiarkan bahkan mengundang Ma’ruf Amin (Ketua MUI, sekarang cawapres Jokowi) untuk masuk ke pemerintahan. SBY menempatkan fatwa MUI sebagai panduan kebijakan negara untuk urusan agama. Dia terlihat pasrah. Kenapa sertifikasi halal dan segala macamnya itu merajalela, ya karena diberikan ruang oleh SBY.
Kembali ke bahasan people power. Kalau mau menunggangi jargon people power, mereka tidak punya kekuatan apa-apa. Kekuatan itu tetap kita hitung dari kekuatan riil. Kekuatan Prabowo sekarang rontok satu per satu.
Generasi muda sekarang mungkin tidak punya referensi soal people power. Rujukan terdekat adalah 1998, bukan Filipina. Tapi yang mungkin generasi sekarang tahu ialah sikap pemerintah terhadap seruan people power. Menko Polhukam Wiranto sampai membentuk tim untuk itu.
Dalam hal ini, apakah sikap pemerintah bisa dibandingkan dengan rezim Orde Baru?
Tetap berbeda. Suharto sejak awal menggunakan cara-cara berdarah untuk menegakkan kekuasaan dan menjadi otoriter. Meskipun pada masa awal pemerintahannya dia berusaha untuk lebih demokratis untuk mengafirmasi banyak kepentingan. Pada suatu titik ketika oil boom berakhir, dia tidak lagi punya sumber daya melimpah, sehingga terbatas untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaannya.
Sedangkan Jokowi—bahkan SBY dan sebelumnya—naik ke kekuasaan melalui sistem pemilu. Sistem ini, meskipun ini selemah-lemahnya demokrasi elektoral, tetap akan membatasi kemungkinan people power. Nah, suatu mobilisasi kekuatan populer hanya mungkin terjadi untuk melawan suatu rezim yang otoriter atau totaliter.
Bagaimana pandangan Anda soal penangkapan-penangkapan penyeru people power?
Penangkapan itu mesti dilihat dalam kerangka illiberal democracy. Rezimnya dipilih secara demokratis, tetapi dia harus menggunakan perangkat represif untuk membungkam oposisi, mengamankan kekuasaannya. Dia merasa tidak cukup aman untuk menang di Pilpres 2019.
Di situ dia membuka semacam peluang buat oposisi atau bahkan untuk mereka yang golput untuk memprotes atau mengkritik titik lemah cara-cara dia menggunakan pasal-pasal makar yang tidak menghormati hak asasi manusia. Hal semacam itu pelan-pelan itu bisa mendelegitimasi pemerintahan Jokowi kalau terus-terusan bikin tim. Mungkin enggak sekarang, tapi itu semakin membenarkan tesis bahwa illiberal democracy terjadi di Indonesia.
Kalau oposisi dan yang golput pintar bikin strategi, ini akan menambah amunisi untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. May Day kemarin, dia mengundang serikat-serikat buruh karena dia tahu May Day bisa digunakan oposisi. Ya, yang dia pikirkan adalah oposisi, sedangkan golput dan lainnya tidak diperhitungkan. Dia undang mereka ke Istana, kasih janji bahwa PP 78 mau diubah. Terus, aksi massa May Day direpresi. Di Bandung, massa direpresi. Di Jakarta, massa diblokade. Serikat yang turun secara riil hanya aliansi GEBRAK dan KOMITMEN. Massa yang memperingati May Day lebih sedikit dibanding tahun lalu.
Di satu sisi itu menunjukkan bahwa rezim Jokowi coba membujuk serikat buruh dengan janji-janji, tapi di sisi lain merepresinya. Tapi yang jelas, tidak ada kondisi objektif bagi oposisi sekarang untuk mampu memobilisasi massa. Tidak ada keresahan, kecuali mereka terus menerus menggoreng isu agama.
Apakah Aksi Bela Islam 212 dan segala reuninya bisa disebut people power?
Agak beda. Saya punya acuan people power itu adalah upaya menumbangkan rezim otoriter, seperti Arab Spring lah yang paling dekat. Otoritarianisme itu menjadi titik pijak yang mendefinisikan people power.
Saya bukan pendukung Jokowi. Saya golput. Tapi saya memandang dia belum menjadi otoriter. Tendensi illiberal democracy bukan tanggung jawab Jokowi. Itu problem struktural yang berada di level negara dengan perkembangan yang panjang sejak zaman SBY. Itu tidak bisa dihindari karena model pembangunan yang neoliberal seperti seperti pencaplokan lahan, penggusuran warga tanpa kompensasi layak dan kelanjutan penghancuran sumberdaya alam.
Ada kondisi objektif struktural yang membuat illiberal democracy langgeng di satu sisi. Di sisi lain, rezim ini tetap masih punya “otonomi” untuk tidak terjebak pada otoritarianisme. Jika dia semakin ditekan oposisi dan gerakan sosial, rezim akan semakin mengikuti tendensi illiberal democracy ini. Ini belum kena saja, karena di luar (kubu paslon) 02 belum melancarkan kritik-kritik keras dan cukup signifikan untuk menggalang massa. Dan sepertinya itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Kawan-kawan di gerakan sosial juga enggak mau ditunggangi Prabowo.
Pada 1998, kepentingan-kepentingan yang sifatnya spesifik dari masing-masing kelompok untuk sementara ditunda demi menjatuhkan rezim Suharto. Kondisi seperti itu tidak ada sekarang. Kepentingan spesifik 02 dan 00 (merujuk pada mereka yang tidak menggolongkan diri pendukung Jokowi atau Prabowo) tidak akan pernah bertemu. Karena 00 mengkritik sistem dan lebih mempersoalkan apa yang terjadi di tingkat negara, bukan sekadar menentang Jokowi. Tidak mungkin kubu Prabaowo dan golput (00) membangun kepentingan bersama untuk menjatuhkan Jokowi.
Satu indikator gerakan populer—tidak harus populis—yang menumbangkan kekuasaan adalah satu kepentingan bersama yang bisa dibangun dengan menangguhkan kepentingan-kepentingan spesifik di faksi-faksi yang saling bertentangan. Kondisi itu sekarang tidak terjadi. People power itu sekarang slogan kosong saja, tidak ada isinya. Bayangkan saja apa yang terjadi di Filipina 1986. Benigno Aquino yang jelas-jelas berasal dari keluarga tuan tanah dan aristrokasi bisa bekerjasama dengan kelompok kiri, walau bersifat sementara.
Bagaimana wacana people power ditangkap gerakan Islam di Indonesia pada 1980-an?
Pada waktu itu, hubungan kami baik-baik saja. Ada juga kok sebagian aktivis yang bergiat di Salman (masjid kampus ITB) pada periode itu. Artinya, enggak ada ketegangan, apalagi yang sifatnya ideologis.
Tapi pada tahun 80-an itu gerakan politik beridentitas Islam belum menguat seperti sekarang. Kasus Peristiwa Tanjung Priok 1984 itu terjadi, kan, sebagai reaksi terhadap penerapan azas tunggal Pancasila karena Soeharto berupaya mengontrol Islam secara lebih keras. Sebelumnya, dia sukses mengontrol komunis, merepresi komunis. Setelah itu [Tanjung Priok], muncul teror. Ada teror Warman, juga peledakan Borobudur. Jadi, ekstremisme itu mulai ada.
Setelah Tanjung Priok, Petisi 50 mengeluarkan pernyataan yang mengecam penanganan demonstrasi Amir Biki dkk sehingga mengakibatkan puluhan orang tewas dan luka-luka. Salah satu yang bikin petisi itu adalah H.R. Darsono yang mantan Pangdam Siliwangi. Dia sudah jadi oposisi. Kenapa yang paling dipukul itu ITB di Bandung itu karena setelah Malari 1974 ada semacam restu dari jenderal-jenderal Siliwangi (untuk mahasiswa ITB). Yang masuk menduduki kampus ITB itu bukan dari Siliwangi, tapi dari luar. Karena Siliwangi sudah pasti enggak mau mendukung pendudukan kampus.
H.R. Darsono—dan aktivis Petisi 50 lainnya—kemudian diadili. Saya ikut menyusun pledoinya Darsono, karena keterlibatan saya sebelumnya dalam Komite Pembela Mahasiswa ITB yang mengurusi peradilan mahasiswa di awal 80an.
Nah, itu situasi 1980-an. Benar-benar ada konflik elite di antara elite Orde Baru. Orang semacam Ali Sadikin, H.R. Darsono, lalu A.H. Nasution—yang punya legitimasi kuat—mengambil posisi oposisi. Tapi, kondisi objektif saat itu bukan untuk menggalang massa besar-besaran berdasarkan sentimen keagamaan.
Gerakan mahasiswa maupun oposisi yang dimotori para intelektual dan eliti Orde Baru tidak menggunakan bahasa agama untuk memobilisasi massa. Bahasanya adalah “Soeharto korup”, “Soeharto otoriter”, “keluarga Cendana bejat”, “menguasai ekonomi", "tidak peduli rakyat kecil”. Suara oposisi saat itu adalah atas nama rakyat, bukan agama. Protes waktu itu dituduh subversif, enggak pakai makar. Pertama, subversif. Kedua, penghinaan terhadap presiden.
Walaupun Darsono itu benar-benar dipenjara karena bersama Petisi 50 dia mengecam pembantaian Tanjung Priok, tapi sentimen agama tidak muncul. Dia disasar oleh Suharto karena dia jenderal Siliwangi yang konsisten melawan Soeharto.
Pada 1981, waktu kita memperingati 'Agresi Militer Kedua' di ITB—kami pakai istilah itu untuk menyebut peristiwa pendudukan kampus ITB oleh tentara pada 1978—yang diundang bicara A.H. Nasution sampai Adnan Buyung.
Sejak Malari 1974, gerakan moral mahasiswa memang bersekutu dengan jenderal-jenderal oposisi Suharto. Di ITB Ali Sadikin ngomong di lapangan basket kampus ITB, massa yang datang itu bisa sampai seribu lima ratus. Tapi kondisi objektifnya saat itu tidak memungkinkan bangkitnya people power. Baru 1998 setelah krisis moneter, people power berhasil melengserkan Suharto setelah didahului gelombang aksi mahasiswa, penculikan aktivis, penembakan mahasiwa Trisakti dan provokasi kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998.
Reporter: Husein Abdulsalam & Windu Jusuf
Penulis: Husein Abdulsalam Editor: Zen RS
Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar