Reporter terakota - 01/05/2018 - Oleh:
F.X. Domini B.B. Hera*
Tampak depan Gedung Serikat
Buruh Perkapalan-Pelayaran dan Matros di Surabaya yang menjadi tempat Perayaan
1 Mei pertama kali di Nusantara (Foto Repro dari F. Tichelman [1985],
Socialisme in Indonesië: De Indische Sociaal-democratische Vereeniging
1897-1917, Jilid I).
Terakota.id–Tanpa banyak disadari khalayak ramai, 1 Mei
2018 menjadi penanda tepat 100 Tahun Perayaan
1 Mei dirayakan di Nusantara. Surabaya menjadi tempat kehormatan yang
menorehkan tonggak sejarah perburuhan ini. Surabaya sebagai kota pelabuhan,
tempat di mana sektor jasa dan perniagaan di gerbang timur Nusantara, tak pelak
menjadi tuan rumah perayaan bersejarah tersebut. Nomenklatur awal yang dikenal
untuk Perayaan 1 Mei ialah Hari Kemenangan Buruh. Selama kurun waktu 100 tahun
berjalan, dinamika nomenklatur ini begitu bergejolak mengikuti politik
perburuhan sebagai bagian dari politik nasional dan internasional.
Nomenklatur awal yang tercatat bernama ‘Hari Raya Kaum
Buruh Seantero Dunia’ pada tahun 1918. Pada masa berikutnya di republik muda
sekurang-kurangnya ada 2 kali pergeseran nomenklatur, dari ‘Hari Kemenangan
Buruh Sedunia’ (1946-1960) kemudian bergeser menjadi ‘Hari Buruh Sedunia’
(1961-1966). Pada masa berikutnya Hari Buruh Sedunia tidak lagi diperingati.
Perayaan 1 Mei diganti oleh pemerintah Orde Baru dengan ‘Hari Karyawan
Nasional’ yang diperingati setiap 20 Februari sejak tahun 1991. Barulah
kemudian sejak sejak tahun 1999, pasca Orde Baru lengser, perayaan 1 Mei
diperingati kembali.
Ini Vergadering Mesti Diteruskan dan Tiada Dimundurkan
Buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula (2016:
30-32) menginformasikan secara populer dengan penuh gambar Perayaan 1 Mei
pertama di Nusantara. Secara ringkas, acara peringatan itu diselenggarakan di
Gedung Serikat Buruh Pelayaran dan Matros (SBPM), Surabaya. H.J.F.M. Sneevliet
atau Henk Sneevliet (1883-1942) dan Adolf Baars (1892-1944) turut menghadiri
kegiatan itu pada malam 30 April 1918. Sneevliet sendiri kemudian mengabadikan
perihal ini dalam Het Vrije Woord 10 Mei 1918 (hlm. 196-197) dengan
judul tulisan ‘Perayaan 1 Mei Pertama Kita’ (Onze Eerste 1
Meiviering).
Peristiwa ini senantiasa menjadi acuan bagi banyak
pemerhati sejarah perburuhan. Walaupun perayaan 1 Mei yang diselenggarakan SBPM
itu sudah mengantongi izin dari Asisten Residen Surabaya, namun bayang-bayang
pelarangan sewaktu-waktu dan pembubaran acara bisa terjadi tanpa diduga
penyelenggara acara. Keberanian SBPM pasang badan dan siap mengambil resiko
untuk menjamin apapun resiko yang terjadi memperlihatkan kebulatan tekad
organisasi perburuhan pada zaman bergerak itu (An Age Motion), mengutip
judul disertasi Sejarawan Takashi Shiraishi yang legendaris mengenai era
pergerakan nasional. Para anggota SBPM mengatakan,
“Ini vergadering (pertemuan) mesti diteruskan dan tiada dimundurkan besok, … Ini vergadering tiada peduli apa saja mesti terus. Perkara (urusan nanti) di belakang.” (Harian Pewarta Soerabaia, Rabu, 1 Mei 1918).
Tepat pukul tujuh malam, Sneevliet memulai pidatonya
mengenai sejarah awal peringatan 1 Mei yang pertama kali bersumber dari
peristiwa letusan bom saat terjadi aksi pemogokan buruh untuk menuntut 8 jam
kerja di Chicago, Amerika Serikat pada 4 Mei 1886. Polisi lantas menyikapi hal
itu dengan menembaki kerumunan buruh yang menimbulkan korban luka dan meninggal
di tempat. Sneevliet menandaskan bahwa Perayaan 1 Mei menjadi gerakan
perburuhan sedunia.
Sneevliet juga menyatakan bahwa sedang terjadi pemogokan
buruh di Semarang oleh karenanya kaum buruh di manapun perlu memiliki rasa
solidaritas untuk membantu perjuangan kaum buruh di manapun. Sesudah ceramah
Sneevliet diakhiri, para istri pegiat SBPM meminta derma kepada para hadirin
untuk menyokong kaum buruh yang sedang melakukan aksi mogok di Semarang.
Solidaritas perlahan namun pasti disemai dalam masa-masa awal gerakan
perburuhan ini. Di luar itu, terdapat informasi yang luput pada saat bersamaan
perayaan ini dilaksanakan di Surabaya.
1 Mei dan Perkumpulan Kaum Buruh Tionghoa
Pada malam 30 April itu pula, Henk Sneevliet dan Adolf
Baars tidak saja menghadiri acara 1 Mei di Gedung Serikat Buruh Pelayaran dan
Matros. Dua pentolan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging,
Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda) itu juga mendatangi dan meramaikan
Perayaan 1 Mei yang diselenggarakan oleh perkumpulan kaum buruh Tionghoa di
Surabaya bernama Soe Swie Kang Tong Tji Poo (SSKTTP) di gedung Bing Sien Soe
Poo Sia. Sneevliet dan Baars disambut pengurus perkumpulan kaum buruh Tionghoa
itu. Acara yang penuh dengan dekorasi warna merah sebagai simbol pergerakan
pekerja sedunia itu ramai dikunjungi dengan pesta perjamuan menjadi malam
resepsi 1 Mei yang diiringi musik dari Kiauw Tong Ja Hak.
Harian Pewarta Soerabaia, Rabu, 1 Mei 1918 menurunkan
laporan bahwa pertemuan itu diperkirakan dihadiri 500 orang. Semangat
berorganisasi dan membangun wadah perjuangan bagi buruh menjadi hal penting
yang didengung-dengungkan dalam malam resepsi tersebut. Sedari masa kolonial
hingga masa Republik Muda Indonesia (1945-1966), terdapat tiga kekuatan serikat
buruh terbesar, antara lain Serikat Buruh Kereta Api, Serikat Guru, dan Serikat
Buruh Pos, Telepon, dan Telegram.
Namun dua tuan rumah penyelenggara Perayaan 1 Mei pertama
di Surabaya tersebut bukan berasal dari tiga kekuatan terbesar serikat buruh
yang sudah disebut. Tuan rumah berasal dari SBPM dan SSKTTP yang notabene
memiliki akses ke dunia internasional karena mobilitas mereka sebagai migran
maupun kemampuan bermulti bahasa. Para pekerja migran dengan mobilitas spasial
yang ditunjang penguasaan banyak bahasa memungkinkan percepatan arus informasi,
ide hingga ideologi cepat menyebar.
Kehadiran Sneevliet dan Baars hingga dua tuan rumah
serikat buruh berlainan dalam Perayaan 1 Mei pertama kali di Surabaya itu tentu
menjadi kabar kurang sedap di kalangan tuan pemodal dan pemerintah Hindia
Belanda. Penciptaan perbedaan ras maupun jender dalam bidang kerja hingga
urusan pengupahan memudahkan kontrol kapitalisme kolonial terhadap pluralitas
kaum pekerja yang tidak bisa dibendung. Geger Pacinan (1740-1743) sebagai
akibat aliansi Cina-Jawa, terutama migran Cina yang datang mengadu nasib sudah
cukup memusingkan sejarah kolonial di Nusantara.
Segregasi ras merupakan kunci untuk memadamkan aliansi
atau akulturasi yang bisa menggoyahkan kolonialisme. Percampuran gerakan lintas
rasial seperti yang dipertunjukkan dalam Perayaan 1 Mei di Surabaya tentu
mengkhawatirkan penguasa dan pemodal kolonial. Hanya dalam tempo beberapa tahun
kemudian, kampiun-kampiun pejuang perburuhan bermunculan seperti Semaun
(1899-1901), pemimpin VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel, Serikat
Buruh Kereta Api dan Trem); Raden Panji Soeroso, aktivis perburuhan yang tembus
hingga menjadi wakil rakyat di Volksraad (parlemen era kolonial); dan
Setiati Surasto (1920-2006), aktivis perempuan pentolan SOBSI (Serikat
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) di masa republik muda yang kelak menjadi
Sekretaris GSS (Gabungan Serikat Buruh Sedunia) tahun 1964 yang berkedudukan di
Praha.
Sesudah 100 Tahun
Perayaan 1 Mei pertama kali di Nusantara itu diadakan
dalam alam segregasi sosial yang begitu menganga akan rasialisme. Perbedaan
upah dan fasilitas karena ras maupun jender menjadi tantangan yang tidak
terkira. Di sisi yang lain, Perayaan 1 Mei pertama kali di Nusantara menjadi
pionir di Asia Tenggara mengingat Vietnam baru merayakan 1 Mei pada tahun 1930.
Perayaan itu pula menandakan kaum sosialis di Hindia Belanda lebih progresif
mengingat negeri koloni Belanda lain belum merayakan 1 Mei pada saat yang sama.
Di Negeri Belanda sendiri, Perayaan 1 Mei pertama kali dirayakan pada tahun
1890. Butuh 28 tahun kemudian kaum buruh di negeri koloni Hindia Belanda
menikmati dan merayakan hari raya bagi pekerja seluruh dunia tersebut.
Perburuhan dan perjuangan pada keadilan sosial menjadi
cetak biru peradaban modern dunia. Jam kerja, jaminan hari tua, jaminan
kesehatan, jaminan rumah layak huni, dan semua jaminan sosial lainnya merupakan
buah-buah dari kemenangan perjuangan kaum buruh di manapun di seluruh dunia. Di
sanalah esensi perjuangan keadilan sosial bagi kaum pekerja menjadi esensi
istilah ‘kemenangan buruh’ yang setiap 1 Mei menjadi Hari Kemenangan Buruh
Sedunia. Politik perburuhan yang senantiasa tersandera oleh politik praktis
pasca Reformasi 1998 menjadi tantangan tersendiri bagi kalangan pegiat dan
serikat buruh, mengingat kini sesudah Orde Baru fase gerakan perburuhan
Indonesia dalam tahap konsolidasi sesudah 32 tahun gerakan ini dibius secara
represif.
Tidak mudah memang menjaga nyala api perjuangan keadilan
sosial bagi kaum buruh Indonesia selama 100 tahun sejak pertama kali perayaan 1
Mei digelar. Masih banyak pekerjaan rumah dan soal-soal kesejahteraan sosial
maupun politik perburuhan yang belum selesai. Namun pejuang dan perjuangan kaum
buruh akan selalu ada berdatangan sekalipun mengalami represif sekalipun. Kaum
pekerja seluruh dunia, bersatulah!
F.X. Domini B.B. Hera
(Sumber: Arsip Penulis)
* Peneliti Sejarah Pusat Studi Budaya dan Laman Batas
Universitas Brawijaya, Malang.
Universitas Brawijaya, Malang.
0 komentar:
Posting Komentar