Senin, 13 Mei 2019 07:45 - Reporter
: Liputan6.com
Argosari, begitu namanya. Kampung
terpencil di Kalimantan Timur itu menjadi tempat penampungan tahanan politik
yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasarnya, mereka dibuang ke desa
itu hanya untuk dilupakan.
Kini ada sekitar 167 KK di Argosari yang hampir semuanya
tertutup terhadap wartawan dan pemberitaan. Cerita masa lalu langsung mereka
tolak. Namun Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan Maman Sudana (76), saksi
hidup dan pelaku sejarah keberadaan Argosari. Sejak awal bertemu saat sedang beribadah
di Masjid An Naas Argosari, dia sudah mewanti-wanti untuk tidak membicarakan
cerita kelam masa lalu.
"Saya tidak mau bicara politik, sudah bosan. Lebih baik bicara soal keagamaan saja," kata Maman kepada Liputan6.com, Jumat (10/5).
Maman merupakan salah seorang eks tapol Argosari yang
jumlahnya kian menyusut. Faktor usia yang membuat mereka satu per satu
berpulang sejak Argosari berdiri pada 1970.
"Sudah banyak yang meninggal dunia. Mungkin tersisa enam orang saja dari dulunya mungkin ratusan orang," ungkap Maman.
Maman yang asli Sunda merupakan korban konflik masa lalu.
Tanpa persidangan dia langsung ditahan dan diasingkan ke Kalimantan, hingga
akhirnya terdampar di Argosari.
"Biasanya yang sering cerita masa lalu itu Untung Suyanto, Sugito Kasirin, M Kapli. Kalau saya sudah malas mengingat lagi," katanya.
Maman mulai bisa move on, hidupnya kini fokus sepenuhnya
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengurus Masjid An Naas Argosari.
"Kalau sudah seumuran saya ini, apa lagi yang mau dicari? Mencari ketenangan jiwa dengan menekuni kegiatan keagamaan lebih bermakna," ujarnya.
Maman mengatakan, suasana perkampungan sangat mendukung
keinginannya menyingkir dari keramaian duniawi. Argosari sendiri dihuni oleh
orang-orang yang senasib sepenanggungan dengannya.
Rata-rata mereka hanya ingin menghabiskan masa tuanya
dengan tenang. Argosari bisa diibaratkan Indonesia kecil dengan beragam suku
bangsa dan kepercayaan.
"Kami semua adalah keluarga yang saling mendukung satu dengan lainnya. Toleransi beragama tumbuh otomatis tanpa perlu diajarkan," papar Maman.
Maman mencontohkan, empati antarwarga terlihat kala
mereka ditimpa kemalangan. Tanpa harus diundang, seluruh warga akan datang
untuk memberikan dukungan.
"Tanpa memandang agama dan suku di antara kami," ujarnya.
Memasuki Ramadan misalnya, mereka yang nonmuslim
bertoleransi dengan tidak menggelar kegiatan secara berlebihan.
"Mereka menggelar acara di luar bulan Ramadan agar tidak mengganggu umat Muslim," sebutnya.
Demikian pula saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, kata
Maman, mereka yang nonmuslim berbaur dan datang ke rumah orang Islam untuk
sekadar mengucapkan selamat lebaran. Sebaliknya pula, orang Islam akan
melakukan hal serupa saat mereka merayakan Hari Natal.
Pada prinsipnya, Argosari seperti keluarga yang dipersatukan
kesamaan nasib. Maklum saja, mengingat mereka adalah eks tapol atau setidaknya
anak turunan eks tapol PKI.
Aloysius Paelan (78) eks tapol yang aktif di Gereja
Katolik Santo Yoseph Argosari punya cerita yang sama. Mantan tentara yang
membuka lembaran baru di lokasi penampungan.
Paelan sudah melupakan seluruh keluarga yang enggan
mengakuinya. Istri dan anak kandungnya sudah menganggapnya meninggal dunia.
"Putra pertama akhirnya baru-baru ini mau mengakui
keberadaan saya di sini. Sedangkan, anak kedua belum mau ke sini meskipun tahu
bapaknya masih hidup di sini," keluh Paelan.
Kini, Paelan menemukan saudara pengganti. Mereka adalah
para eks tapol Argosari yang jumlahnya kini bisa dihitung dengan jari.
"Mereka ini saudara-saudara saya di sini," ungkap Paelan.
Lantaran itu pula, Paelan menyadari arti pentingnya warga
Argosari menggantikan keluarga kandungnya. Ia memahami kesamaan nasib mereka
yang mempererat kekerabatan. Perbedaan tidak menjadi penghalang di antara
mereka.
"Kami memang berbeda agama, tapi hubungan di antara kami semua tetap berjalan dengan baik," ujar pria asal Jawa Timur.
Paelan mengatakan, masyarakat Argosari saling menghormati
pilihan agama masing masing. Meskipun begitu, hubungan antartetangga pun dianggap
penting sebagai wujud toleransi.
Meski menjadi kawasan eks tapol, Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Kukar tidak memberikan perlakuan berbeda terhadap Argosari.
"Semua itu masa lalu, sekarang ini tidak ada yang dibeda-bedakan seperti halnya daerah lain di Kukar," kata Kepala Humas Pemkab Kukar, Dafif Haryanto.
Para eks tapol memiliki hak sama seperti halnya warga
Kukar lainnya. Mereka mengembangkan infrastruktur di seluruh desa dan kelurahan
yang ada, termasuk daerah yang dulu digunakan untuk penampungan orang yang
diduga terlibat PKI.
Apalagi, Kukar merupakan kabupaten kaya berkat
eksploitasi migas di Blok Mahakam. Potensi pendapatan sektor migas menyumbang
pemasukan kas sebesar Rp 5-10 triliun per tahun. [cob]
0 komentar:
Posting Komentar