Nieko Octavi
Septiana - Rabu, 1 Mei 2019 | 20:30 WIB
Kisah Kopassus dan Mbah
Suro, Tunggangan PKI yang Kebal Senjata Gunung Kendheng
Intisari-Online.Com - Buntut dari pembunuhan sejumah
jenderal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dilakukannya
operasi penumpasan PKIsecara
besar-besaran.
Ketika itu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sempat menghadapi
simpatisan PKI yang
dikenal kebal senjata.
Berhadapan dengan orang-orang membuat Kopassus menggunakan cara
kekerasan.
Kisah ini dikutip dari buku "Sintong Panjaitan,
Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" karya Hendro Subroto.
Berkobarnya tragedi G30S/PKI yang menculik para
jenderal pada 30 September 1965, memang berbuntut panjang.
Satu di antaranya adalah perburuan terhadap mereka yang
dianggap sebagai anggota maupun simpatisan PKI.
Perburuan, dan penangkapan itu dilakukan di sejumlah
daerah di Indonesia yang diduga sebagai basis PKI.
Saat itu pada 1967, perburuan terhadap simpatisan dan
anggota PKI dilakukan di kawasan yang terletak antara Cepu dan Ngawi. Tepatnya,
di Desa Ninggil.
Nama asli Mbah Suro adalah Mulyono Surodihadjo.
Mbah Suro merupakan seorang mantan lurah yang
dibebastugaskan akibat kesalahannya sendiri.
Setelah lengser sebagai lurah, Mbah Suro membuka praktik
sebagai dukun yang mengobati orang sakit.
Namun, belakangan beredar kabar kalau Mbah Suro juga
dikenal sebagai dukun kebal, hingga ia disebut sebagai Mbah Suro atau Pendito
Gunung Kendheng.
Pergantian nama baru menjadi Mbah Suro juga diikuti
dengan perubahan penampilannya.
Salah satunya adalah memelihara kumis tebal, dan rambut
panjang.
Mbah Suro melakukan berbagai kegiatan yang berbau klenik,
dan menyebarkan kepercayaan Djawa Dipa.
Mbah Suro juga sering memberi jampi-jampi atau mantera
dan air kekebalan kepada para muridnya.
Banyak pengikutnya yang percaya, diri mereka telah
menjadi kebal terhadap senjata tajam, dan senjata api.
Pemerintah, khususnya pihak militer melihat Mbah Suro
telah ditunggangi oleh PKI.
Menurut Hendro, penutupan itu terpaksa dilakukan melalui
jalan kekerasan.
"Pangdam terpaksa memerintahkan agar penutupan dilakukan dengan jalan kekerasan, karena segala upaya jalan damai yang ditempuh telah menemui jalan buntu," tulis Hendro dalam bukunya.
Akhirnya, Kodam VII/ Diponegoro beserta satu Kompi RPKAD
(Sekarang Kopassus) di bawah pimpinan Feisal Tanjung menyerbu padepokan
Mbah Suro.
Mbah Suro pun berhasil ditaklukkan dalam penyerbuan itu.
Soeharto Gunakan 4 Tahap Sistematis untuk Menumpas
Gerakan G30S/PKI.
Peristiwa kekejaman G30S/PKI meninggalkan
coretan hitam dalam sejarah bangsa Indonesia
Pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan
enam jenderal yang merupakan perwira tertinggi TNI serta satu perwira
berjabatan kapten.
Bahkan menteri atau Panglima AD Ahmad Yani tidak luput
dari sasaran.
Saat itu, satuan TNI AD mengalami guncangan hebat akibat
aksi G30S/PKI.
Para perwira TNI AD ingin melakukan tindakan akibat
peristiwa kelam yang telah merenggut jenderal TNI tersebut.
Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah
dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto,
Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat
telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Beliau segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan
Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Beliau mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi suatu
pengkhianatan oleh sesuatu komplotan kontra-revolusioner.
Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan
kekosongan di lingkungan Angkatan Darat, itu merupakan sesuatu hal yang amat
berbahaya.
Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI
memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum
jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer
V/Jakarta, Soeharto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir
pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang
dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan
Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.
Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan
oleh "G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan
Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.
Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali
gedung Pusat Telekomunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat
mungkin menghindarkan pertumpahan darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja
telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di
radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan
menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas "G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.
Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu
duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran "G30S"
sebelumnya adalah palsu.
Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut
kepada komplotan "G30S"
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada
RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para "Kudjang"/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam
V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.
Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya
pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan
seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan
"G30S" di ibukota.
Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak
Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang
berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi. (Iwe)
0 komentar:
Posting Komentar