Oleh: Iswara N Raditya - 30 April 2019
Presiden Indonesia Sukarno (kanan), memegang pundak Ketua Partai Komunis Indonesia D. N. Aidit ketika Sukarno memuji Aidit saat rapat umum di Stadion Olahraga Merdeka Jakarta, 23 Mei 1965. Mereka merayakan ulang tahun PKI, Partai Komunis Indonesia. AP Photo
Mohammad Hatta
mengundurkan diri dari jabatan wapres karena Sukarno menghendaki Demokrasi
Terpimpin dan Nasakom.
Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom)
dicetuskan oleh Sukarno. Rumusan ini mewakili tiga pilar utama yang menjadi
kekuatan politik bangsa Indonesia, sejak era pergerakan nasional hingga
pasca-kemerdekaan.
Beberapa waktu lalu, Hanum Rais sempat menyinggung
mengenai Nasakom melalui akun media sosialnya. Putri Ketua Dewan Kehormatan
Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengomentari pemberitaan tentang Partai
Solidaritas Indonesia (PSI) dengan istilah tersebut.
"Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma," cuit Hanum di Twitter, Kamis (24/4/2019).
Nasakom sendiri menjadi ciri khas era Demokrasi Terpimpin
yang berlangsung pada 1959 hingga 1965. Namun, gagasan ini ternyata sudah
dipikirkan oleh Sukarno jauh sebelum itu, yakni pada 1926. Dalam artikelnya di
surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda, Sukarno menulis:
“Dengan jalan yang kurang sempurna, kita mencoba membuktikan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain,” tulis Sukarno.
“Nasionalisme, Islam, dan Marxisme, inilah asas-asas yang dipegang teguh oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini,” lanjutnya.
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi
pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia
Belanda kala itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische
Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan
ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme.
Tiga dekade berselang, tepatnya 1956 atau 11 tahun
setelah Indonesia merdeka, Bung Karno mengumandangkan kembali gagasan yang
pernah dilontarkannya pada 1926 itu. Ia mengkritik sistem Demokrasi Parlementer
yang dianggapnya tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Sukarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.
Dikutip dari buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010) karya Zulfikri Suleman, Demokrasi Parlementer melindungi sistem kapitalisme –karena menurut Sukarno, parlemen dikuasai oleh kaum borjuis– dan oleh karenanya tidak akan bisa memakmurkan rakyat.
Tak hanya itu, Bung Karno juga menganggap sistem
Demokrasi Parlementer juga bisa membahayakan pemerintahan.
“Di dalam Demokrasi Parlementer, tiap-tiap orang bisa menjadi raja, tiap-tiap orang bisa memilih, tiap-tiap orang bisa dipilih, tiap-tiap orang bisa memupuk kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri dari singgasananya,” sebutnya.
Maka, pada Februari 1956, Sukarno mengusulkan konsep baru
yang disebutnya Demokrasi Terpimpin dengan berpondasi kepada tiga pilar utama:
Nasakom.
Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat
(2002) mengungkapkan, konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ditentang oleh
Mohammad Hatta, sang wakil presiden.
Menurut Rosihan, Nasakom berarti bekerja sama dengan PKI
dan Hatta kurang cocok dengan itu.
Bagi Hatta, Demokrasi Terpimpin membuat kekuasaan negara
kian terpusat kepada sosok presiden, dan itulah yang memang terjadi. Syafii
Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996) menyebut,
Hatta mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter.
Dwitunggal pun akhirnya tanggal. Dua sosok proklamator
berpisah jalan.
Hatta menepi, Sukarno semakin kokoh di puncak kekuasaan.
Taktik Politik Sukarno Sepeninggal Hatta, Sukarno semakin leluasa
mengkampanyekan konsep Nasakom-nya.
Dengan sistem Demokrasi Terpimpin, Bung Karno menyatukan
tiga kekuatan politik dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya. Nasakom
memang menjadi tiga faksi utama dalam perpolitikan Indonesia kala itu.
Ada partai-partai politik berhaluan nasionalis terutama
Partai Nasional Indonesia (PNI) besutan Sukarno, termasuk kalangan militer, ada
kelompok Islam macam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), serta golongan kiri yang
dimotori PKI. Tak berhenti di situ. Sukarno bahkan menyatakan bahwa Nasakom
merupakan perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik.
Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1961, sang penguasa berucap lantang:
“Siapa yang setuju kepada Pancasila, harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila,” seru Sukarno dikutip dari buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004) yang ditulis oleh Jan S. Aritonang.
Sukarno melanjutkan, “Sekarang saya tambah: Siapa setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju kepada Nasakom; Siapa tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 1945.”
Kampanye Nasakom bahkan dibawa Bung Karno hingga ke forum
internasional. Dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
30 September 1960 di New York, Amerika Serikat, Sukarno menyampaikan pidato
bertajuk “To Build The World a New”.
“Sukarno menawarkan sebuah konsep tata dunia yang baru. Sukarno ketika itu merangkum konsepsi politiknya sebagai Nasakom: Nasionalisme, Agama, Komunisme,” sebut Bernhard Dahm, periset senior yang telah banyak meneliti tentang sejarah Asia Tenggara dan Indonesia, dalam wawancara dengan dw.com.
“Pemahaman Komunisme di sini adalah sebagai Sosialisme, karena dasar pemikirannya adalah prinsip keadilan sosial, yang juga menjadi dasar pemikiran politik Karl Marx,” imbuh profesor berdarah Jerman kelahiran Sumatera ini.
“Jadi, Sukarno yakin bahwa perbedaan dan perpecahan dunia dalam persaingan ideologis saat itu bisa dijawab dengan menghormati nasionalisme, agama dan prinsip sosialisme,” tambah Dahm.
Selanjutnya, dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia
yang digelar di Istana Negara, Jakarta, tanggal 23 Oktober 1965, Sukarno
lagi-lagi menegaskan tentang pentingnya Nasakom.
“Ik ben nasionalist, ik ben islamiet, socialist. Tiga in one. Three in one [... ] Aku adalah perasan daripada Nasakom,” kata Bung Karno.
Ini disampaikan Sukarno bahkan ketika pengaruhnya mulai
luruh dan pamor PKI hancur akibat Gerakan 30 September (G30S) 1965. Tapi,
sekuat apapun Bung Karno mempertahankan Nasakom-nya, rumusan ini akhirnya kandas
juga seiring peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pimpinan Soeharto
yang sangat anti-komunis.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Nuran Wibisono
Bung Karno menyatukan tiga kekuatan politik
dengan tujuan untuk semakin memperkuat posisinya
Source: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar