Oleh: Faisal Irfani - 10 April 2019
Salah satu banner yang terdapat dalam agenda Haul Gus Dur ke-9, di Ciganjur, Jakarta Selatan, yang diselenggarakan pada Jumat (21/12/2018) malam. tirto.id/Haris Prabowo
Pemerintah Belgia mengambil langkah penting. Pada 3 April
2019, Perdana Menteri Belgia, Charles Michel, menyatakan akan meminta maaf atas
nama negara sehubungan dengan kasus penculikan anak-anak dari ras campuran
semasa era kolonial di Kongo.
Anak-anak “metis”, demikian sebutan keturunan ras campuran
tersebut, diambil dari ibu mereka dan dibawa ke Belgia antara 1959 dan 1962. Di
Belgia, mereka berada di bawah otoritas ordo Katolik. Imbas dari penculikan
besar-besaran ini ialah mereka kesulitan untuk menemukan orang tua kandung
mereka.
Pada 2017, mengutip pemberitaan The Guardian, pihak Gereja
Katolik telah lebih dulu meminta maaf secara terbuka atas skandal yang
memengaruhi sekitar 20 ribu anak di Kongo, Burundi, serta Rwanda tersebut.
Setahun berselang, desakan untuk meminta maaf keluar dari parlemen.
Georges Kamanayo, mantan juru kamera dan penyiar VRT, yang
menjadi korban kebijakan ini, mengatakan kepada surat kabar De Standaard bahwa
isyarat dari perdana menteri bakal menjadi "pengakuan tertinggi atas
ketidakadilan".
Menebus Kesalahan Masa Lalu
Negara meminta maaf atas kejahatan yang pernah dilakukan di
masa lalu bukanlah hal baru. Pada 2008, pemerintah Australia, diwakili Perdana
Menteri Kevin Rudd, meminta maaf kepada penduduk asli Aborigin sehubungan
dengan kebijakan yang "menimbulkan kesedihan mendalam, penderitaan, dan
kehilangan".
Permintaan maaf pemerintah Australia, terutama, ditujukan
kepada anak-anak muda Aborigin yang diambil paksa dari orang tua mereka lewat
kebijakan asimilasi yang berlangsung dari abad 19 hingga akhir 1960-an.
Anak-anak ini sering disebut sebagai “Stolen Generations” dan diperkirakan
berjumlah sekitar 20 ribu orang.
Laporan berjudul “Bringing Them Home” (1997), seperti
dilansir BBC, memperkirakan bahwa sebanyak satu dari tiga anak Aborigin diambil
dan ditempatkan di panti asuhan maupun lembaga-lembaga pemerintah. Banyak dari
mereka yang mengalami pelecehan maupun pengabaian. Efeknya: anak-anak Aborigin
menderita trauma berat.
Permintaan maaf pemerintah Australia disiarkan ke seluruh
negeri. Sebagian besar publik mengapresiasi langkah pemerintah dan menyebutnya
sebagai "momen penting dalam sejarah Australia". Namun, bagi beberapa
masyarakat Aborigin, permintaan maaf pemerintah seharusnya disertai dengan
pemberian kompensasi.
Selain meminta maaf, PM Rudd juga menguraikan agenda baru
pemerintah menyoal keberlangsungan masyarakat Aborigin. Rudd, misalnya,
bertekad untuk menekan angka kematian bayi Aborigin yang cukup tinggi dalam
satu dekade terakhir. Tingginya angka kematian bayi bukanlah satu-satunya
masalah yang dihadapi Aborigin. Ada penyalahgunaan narkoba, alkohol, hingga
pengangguran.
Dari Australia, kejadian serupa muncul pula di Kanada. Dua
tahun yang lalu, PM Kanada, Justin Trudeau, meminta maaf kepada masyarakat suku
asli di Newfoundland dan Labrador. Permintaan maaf diambil karena sebagian
besar anak-anak mereka dipisahkan dari keluarga untuk disekolahkan, demikian
lapor The New York Times.
Program ini dijalankan oleh pemerintahan federal mulai dari
abad ke-19 sampai 1996. Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi menyatakan
sistem tersebut sebagai bentuk “genosida budaya.”
Selain permintaan maaf, pemerintah Kanada juga bersedia
memberikan dana kompensasi sebesar 50 juta dolar kepada 900 mantan siswa dari
lima sekolah yang menempuh program residensi hingga 1980.
“Bagi sebagian banyak siswa, kehilangan budaya dapat menyebabkan kemiskinan, kekerasan dalam keluarga, penyalahgunaan obat-obatan, serta kerusakan komunitas,” jelas Trudeau. “Itu menyebabkan masalah kesehatan mental dan fisik yang telah menghambat kebahagiaan mereka. Terlalu banyak kesulitan yang harus dialami akibat program tersebut dan untuk itu kami meminta maaf.”
Permintaan maaf secara terbuka tak cuma dilakukan negara
kepada warganya, melainkan juga antara negara satu dengan yang lainnya,
sebagaimana yang terjadi pada Belanda dan Indonesia.
Pada 2013, seperti
diwartakan Deutsche Welle, pemerintah Belanda, diwakili Duta Besar untuk
Indonesia, Tjeerd de Zwaan, meminta maaf atas kejahatan perang yang terjadi
selama 1945 sampai 1949. Tak hanya meminta maaf, Belanda juga memberikan
kompensasi kepada korban.
“Atas nama pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas ekses-ekses ini,” ujarnya. “Pemerintah Belanda berharap permintaan maaf akan membantu berkurangnya beban mereka yang terdampak langsung oleh ekses kekerasan yang terjadi dari 1945 sampai 1949.”
Salah dua contoh kekejaman Belanda yakni pembantaian di
Rawagede, Jawa Barat, pada Desember 1947, yang menewaskan 430 orang serta
pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, antara Desember 1946 sampai Maret
1947, yang memakan korban hingga 40 ribu orang.
Mengapa Sulit?
Upaya negara meminta maaf atas kesalahan di masa lalu
merupakan upaya formal untuk memperbaiki kerusakan yang sudah ada. Dalam
tesisnya berjudul “The Road to Sorrow: From State Crime to State Apology”
(2018), Miguel Molina Tobar menjelaskan ada beberapa faktor yang mendorong
negara guna meminta maaf atas kejahatan di masa lampau.
Pertama, negara memang berpikir bahwa tindakannya itu salah
dan mereka ingin membangun relasi yang baik dengan para korban, baik sekarang
maupun di masa mendatang. Kedua, permintaan maaf muncul karena konsekuensi dari
pengadilan internasional. Ketiga, permintaan maaf lahir akibat negara berada
pada situasi terpojok. Dan keempat, permintaan maaf merupakan alat hubungan
sosial yang menandai lembaran baru dalam kehidupan negara.
Namun, masalahnya, meminta maaf atas kesalahan di masa lalu
seringkali ditafsirkan sebagai perbuatan yang menjatuhkan kewibawaan suatu
negara. Maka dari itu, haram hukumnya bila negara mengakui kesalahannya. Masih
dalam tesisnya, Miguel Molina menyebutkan beberapa alasan yang melatarbelakangi
keengganan negara untuk meminta maaf atas kesalahannya.
Negara tidak berpikir bahwa mereka telah melakukan
kesalahan. Untuk itu, permintaan maaf tidaklah perlu, seperti yang dilakukan
Turki sehubungan dengan pembantaian massal yang mereka lakukan kepada bangsa
Armenia pada 1915.
Di lain sisi, negara tak bersedia minta maaf sebab mereka
menganggap permintaan maaf tak membawa keuntungan politik dan tidak ada alasan
untuk meminta maaf kepada negara yang jauh lebih lemah. Ketidakmauan negara
untuk minta maaf juga dipengaruhi keberadaan pemerintahan konservatif. Bagi
pemerintahan konservatif, meminta maaf secara terbuka bisa mencederai
kebanggaan nasional.
Mengutip “Government Apologies for Historical Injustices”
yang disusun oleh Craig Blatz, Karina Schumann, dan Michael Ross (2009, PDF),
tingkat efektivitas permintaan maaf pemerintah tergantung pada sejauh mana para
korban mempercayai pemerintah.
Sifat-sifat lain dari hubungan itu juga memengaruhi apakah
permintaan maaf berhasil atau tidak dilakukan━tergantung bagaimana
kedua pihak saling menghormati. Tak ketinggalan, Craig dkk. menegaskan bahwa
permintaan maaf negara membantu kedua belah pihak untuk hidup berdampingan,
secara damai, di masa depan.
Permintaan maaf negara pada dasarnya mencerminkan relasi
antara negara, masyarakat (korban), dan pelanggaran HAM di masa lalu. Dengan
permintaan maaf, negara khususnya dapat mempelajari kesalahan di masa lalu dan
mencegah kesalahan serupa terjadi lagi di masa depan.
Apa pun katalisatornya, permintaan maaf (dan proses untuk
mengembangkannya) dapat membantu suatu negara untuk menggantikan, paling tidak
sebagian, tudingan partisan dengan dialog konstruktif dan menyatukan publik di
balik tujuan bersama yang perlu dicapai untuk bergerak maju.
Proses pengembangan konsensus mengenai perlunya permintaan
maaf dapat membantu masyarakat menghadapi masa lalu mereka, menegaskan kembali
nilai-nilai mereka, dan terpenuhinya hak-hak mereka sebagai manusia dan warga
negara di masa kini dan di masa depan.
Kendati permintaan maaf tidak sepenuhnya memulihkan trauma
korban, ia memainkan peran penting dalam konteks upaya mempromosikan reformasi
lembaga maupun penyelenggaraan negara━menjamin tidak terulangnya
pelanggaran serta dapat menjadi langkah penting menuju rekonsiliasi.
Langkah ini bisa diikuti oleh pemerintah Indonesia untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM dalam kasus-kasus seperti pembantaian 1965,
operasi militer selama pendudukan Timor Timur, peristiwa Talangsari,
pembantaian Tanjung Priok, hingga penculikan aktivis 1998. Sayangnya upaya ini
mangkrak.
Adalah sebuah pertanyaan besar buat Indonesia ketika kasus-kasus ini
dibiarkan terbengkalai selama puluhan tahun sementara penyintas atau
keluarganya keburu meninggal dan sebagian pelakunya masih melenggang bebas.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Nuran Wibisono
tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar