Ketika suara kaum islamis jauh dari harapan, suara yang
memilih partai komunis justru mengalami peningkatan.
Hendi Johari - 21 April 2019
Kampanye Masyumi pada Pemilu
1955. (Sumber: Perpustakaan Nasional RI)
PEMILU 2019 sudah usai. Penghitungan sementara
mengunggulkan PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) sebagai pendulang
suara nomor satu. Di urutan kedua, Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya)
bersaing ketat dengan Partai Golkar (Golongan Karya). Sementara PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa), Partai Nasdem (Nasionalis Demokrat) dan PKS (Partai
Keadilan Sejahtera) masih saling mengganti posisi di urutan berikutnya.
Perolehan suara tidak signifikan yang dialami oleh
parpol-parpol islam juga pernah terjadi dalam Pemilu 1955. Di luar dugaan,
Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) ternyata gagal memuncaki
perolehan suara. Masyumi hanya berhasil mengambil posisi nomor dua di bawah PNI
(Partai Nasional Indonesia).
“Padahal kami saat itu sangat yakin bisa memenangkan Pemilu mengingat jumlah umat Islam paling banyak di Indonesia,”ujar Suarsa (88 tahun), eks aktivis Masyumi di Cianjur.
Hal mengejutkan justru terjadi pada PKI. Sebagai partai
politik yang baru bangkit dari tidur, PKI justru bisa menyodok peringkat ke-4
setelah Partai NU (Nahdlatul Ulama).
Kenyataan Pahit
Optimisme Suarsa adalah cermin harapan orang-orang
Masyumi di Indonesia kala itu. Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi:
Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, dengan kepercayaan diri yang kuat
sebagai mayoritas dan modal yang besar, Masyumi bisa mangadakan sarana-sarana
untuk kampanye seperti pengeras suara, pemutar film dantape recorder sehingga
bisa mewujudkan rapat-rapat besar.
Tak ketinggalan, para juru kampanye yang dikenal memiliki
reputasi sebagai “singa podium” seperti Isa Anshary (Ketua Cabang Masyumi
Jawa Barat) bisa mengundang massa yang berlimpah ruah. Justru situasi-situasi
inilah, kata Madinier, yang turut andil memberi gambaran keliru di benak
orang-orang Masyumi mengenai kekuatan pengaruh mereka sebenarnya.
“Itulah barangkali salah satu contoh yang menjelaskan keterpautan antara harapan yang dipupuk begitu tinggi dengan kenyataan pahit di hari pemungutan suara,”ungkap pakar sejarah politik dari Prancis tersebut.
Dan memang, pemungutan suara yang dilakukan pada 29
September 1955 justru menjadi mimpi buruk untuk Masyumi. Alih-alih menjadi
juara, mereka harus menerima kenyataan hanya bisa menduduki posisi ke-2 di
bawah PNI dengan angka 20,9% (PNI=22,3%).
Namun yang paling menjadikan para islamis itu meradang,
musuh bebuyutan mereka yakni PKI, bisa menyodok di urutan ke-4 dengan angka
16,4%. Kendati masih terpaut jauh dalam hal jumlah keterwakilan, namun hal
tersebut cukup memukul perasaan orang-orang Masyumi, mengingat selama kampanye
Pemilu 1955 Masyumi kerap memperlakukan PKI sebagai “antagonis politik” nomor
satu. Pun demikian sebaliknya PKI memperlakukan Masyumi.
Menanggapi “kekalahan” itu, sikap bijak justru
diperlihatkan oleh Ketua Umum Masyumi Mohammad Natsir. Dalam Abadi edisi
2 Maret 1955, Natsir menyatakan bahwa kekalahan itu harus menjadi pelajaran
bahwa keyakinan yang terlalu tinggi hanya akan menjadikan munculnya
ketidakwaspadaan.
“Pemilu telah membuka tabir asap yang tadinya meliputi kita yang merasa diri paling besar jumlahnya…Ternyata semua yang menamakan dirinya umat Islam tidak sama merata dukungan mereka itu kepada ideologi Islam,” demikian menurut Natsir.
PKI Bangkit
Salah satu fenomena mengejutkan dalam Pemilu 1955 adalah
bangkitnya PKI menyerobot posisi 4 besar. PKI berjaya bukan saja di basis-basis
tradisional mereka, namun juga di basis-basis partai islam seperti Wonosobo,
Brebes, Cilacap, Purbalingga dan Kudus. Keberhasilan itu tak lepas dari
suksesnya PKI merangkul beberapa kiyai ternama seperti Kiyai Ahmad Dasoeki dan
Kiyai Sabitun.
Di Solo, pada 1960-an PKI malah mendirikan sebuah
organisasi mantel yang menampung keberadaan umat Islam di partainya. Namanya Ikhwanul
Muslimin. Menurut Idham Chalid dalam buku biografinya, Napak Tilas
Pengabdian Idham Chalid, Ikhwanul Muslimin bikinan PKI itu dipimpin oleh KH.
Sirat. Namun menurut ulama NU terkemuka tersebut, dirinya sangsi bahwa
KH. Sirat mengerti marxisme dan leninisme yang menjadi dua garis
perjuangan PKI.
Selain itu, tim sukses PKI pun sangat pandai membuat
sarana kampanye yang sangkil. Sadar keuangan mereka tidak sebanyak
parpol-parpol besar lainnya, mereka mencari cara agar kampanye bisa dilakukan
semurah meriah mungkin namun mangkus.
Dalam memoarnya, Siswoyo dalam Pusaran Arus Kiri,
mantan anggota Sekretariat CC PKI Siswoyo bercerita kendati mereka tidak
mengesampingkan rapat-rapat besar, namun pertemuan-pertemuan kecil seperti
mengunjungi para buruh dan petani di komunitasnya masing-masing lebih sering
dilakukan. Kampanye lebih diarahkan kepada dialog dan diskusi daripada indoktrinasi.
Kampanye mereka pun biasanya hanya menggunakan sarana
seadanya namun mangkus. Salah satu contoh, di Jawa Tengah, mereka membuat
rakit-rakit dari gedebok pisang lantas ditancapi bendera palu arit (simbol
PKI). Rakit-rakit itu kemudian dilabuhkan dari hulu sungai dan dibiarkan
mengikuti arus hingga bisa dilihat oleh penduduk sepanjang sungai.
Di Semarang, Kendal dan Pekalongan, para petani PKI
membuat ratusan layang-layang yang sudah digambari simbol palu arit. Setelah
jadi, layang-layang itu diterbangkan lalu diputus begitu saja hingga jatuh di
berbagai tempat hingga desa yang terpencil sekali pun.
Satya Graha, jurnalis dari Suluh Indonesia (koran-nya
PNI) menjadi saksi bagaimana militannya para buruh PKI beraksi. Mereka melukis
simbol-simbol partai di kereta api-kereta api barang.
“Rupanya mereka mau memanfaatkan kereta api barang yang banyak berkeliling ke banyak tempat di pulau Jawa untuk kampanye,” ungkap jurnalis senior itu.
Singkat kata, para aktivis PKI dalam berkampanye memang
kreatif, inovatif dan sangat cair dengan kalangan rakyat kecil saat itu.
Hasilnya, mereka berhasil meraup 6.179.914 suara, suatu prestasi jauh dari
lumayan bagi sebuah partai politik yang baru bangkit dari tidur.
0 komentar:
Posting Komentar