Oleh: Tony Firman - 24 April 2019
Turki Usmani pernah membantai ratusan ribu orang Armenia pada 1915. Hingga kini pemerintah Turki tak mau mengakui secara resmi pembantaian itu.
Tiap bulan April ingatan bangsa Armenia kembali ke peristiwa lebih dari seabad lalu.
Ketika itu, di bawah Kesultanan Usmani, jutaan orang Armenia yang tinggal di Anatolia Timur atau Armenia Barat dipaksa pergi ke gurun Suriah dan dibantai. Peristiwa pembersihan etnis Armenia disertai genosida itu dimulai pada 24 April 1915, tepat hari ini 104 tahun lalu.
Diperkirakan 600.000 sampai 1.000.000 orang Armenia mati karena dibantai. Sisanya diculik, disiksa, diperkosa, dan dijarah harta bendanya. Nadine Sarajian Koobatian, diaspora Armenia yang tinggal di Amerika Serikat, menceritakan bagaimana keluarganya menjadi bagian dari jutaan orang Armenia yang menjadi korban pembersihan etnis oleh pasukan Usmani.
“Ingatan nenek saya yang paling kuat adalah ketika menggali kuburan untuk kepala ayahnya tanpa sekop atau alat bantu lainnya. Dia hanya menggunakan ujung jarinya,” ujar Nadine kepada Guardian yang menghimpun cerita para penyintas memperingati 100 tahun genosida Armenia pada 2015.Saat kampanye pembersihan etnis, tentara Usmani mengejar kakek buyut Nadine dan menembaknya dari belakang. Tak cukup, mayatnya kemudian dimutilasi. Ketika itu kakek buyut Nadine adalah seorang profesor di Euphrates College di Kharput, Turki. Nenek Nadine bersama saudara perempuannya lalu menggali tanah hanya dengan kuku jari untuk memakamkan ayahnya itu.
Keluarga penyintas lain, Garo Berberian, yang kini tinggal di London, mengisahkan ketika itu kakek buyutnya diberi dua pilihan oleh tentara Turki: menanggalkan agama Kristen atau dibunuh. Sang kakek buyut memilih mempertahankan imannya. Ia kemudian dieksekusi di depan pintu rumah.
Keluarga lainnya termasuk nenek Garo dipaksa pergi ke gurun Suriah bergabung dengan rombongan Armenia lainnya yang diusir. Ketika malam, tentara Usmani mengizinkan orang Kurdi untuk menyerang, menjarah, atau memperkosa iring-iringan pengungsi Armenia.
Ada banyak lagi kisah memilukan yang terus diingat dan diturunkan ke anak cucu keluarga Armenia terkait peristiwa pembersihan etnis dan genosida Armenia.
“Bagi orang Armenia, April adalah bulan kematian (genosida 1915), dan bulan kebangkitan (Kristus), suatu hubungan yang berulang kali dibuat oleh gereja kita pada waktu Paskah,” kata Araxie Altounian, diaspora Armenia yang bermukim di Kanada.Orang Armenia dalam Kemelut Perang Dunia I Keberadaan bangsa Armenia yang memeluk Kristen sejak abad pertama di dataran tinggi pegunungan Anatolia Timur sudah berabad-abad lamanya. Encyclopaedia Britannica mencatat, mereka berbagi wilayah dengan orang-orang Kurdi yang juga banyak menghuni daerah tersebut.
Pada Abad Pertengahan daerah tersebut diperintah oleh penerus dinasti Armenia. Kemerdekaan politik Armenia berakhir kala gelombang invasi dan migrasi orang-orang berbahasa Turki dimulai pada abad ke-11. Seiring dengan berdirinya Turki Usmani pada abad ke-15, wilayah Anatolia Timur dimasukkan dalam wilayah kekhalifahan tersebut.
Pada awal abad ke-20 ada sekitar 2,5 juta orang Armenia yang tinggal di bawah Kekhalifahan Usmani. Sebagian besar terkonsentrasi di enam provinsi Anatolia Timur. Orang Armenia juga banyak yang hidup di luar perbatasan timur yang wilayahnya masuk dalam kekuasaan Kekaisaran Rusia. Orang-orang Armenia terus mempertahankan identitas etnis dan agama mereka dan mendapat hak khusus berupa wilayah otonom dari Turki Usmani.
Banyak dari pria Armenia yang direkrut menjadi tentara Usmani. Tetapi kehidupan orang Armenia di bawah Usmani tak bisa dibilang baik-baik amat. Sebagai kelompok minoritas bersama orang Asyur, Yunani, dan Yahudi, mereka kadang mendapat perlakuan diskriminatif.
Misalnya sepanjang 1894 sampai 1896 saat pasukan Sultan Abdul Hamid II membantai sekitar 100.000 sampai 200.000 orang Armenia yang dikenal sebagai Pembantaian Hamid. Aksi itu dilakukan dalam kampanye menegakkan Pan-Islamisme dalam rangka mempertahankan kesatuan negara.
Nasib lebih parah lagi terjadi pada masa Perang Dunia I. Ketika itu kekaisaran Usmani bertempur melawan Kekaisaran Rusia dalam Pertempuran Sarikamish (22 Desember 1914-17 Januari 1915). Pasukan Usmani kalah dalam peperangan tersebut. Para elite penguasa Usmani kemudian menimpakan kesalahan kepada orang-orang Armenia yang dianggap pro-Rusia. Banyak tentara Armenia dan non-Muslim lainnya di legiun Usmani dimutasi jabatan.
Lainnya tak sedikit yang dipecat dengan tidak hormat dan dibunuh. Aksi elite Usmani itu menandai awal mula dari apa yang kemudian disebut Genosida Armenia 1915. Pasukan Usmani mulai menyisir desa-desa Armenia di dekat perbatasan Rusia dan membantai penduduk di sana. Merespons perlakuan penguasa, orang-orang Armenia melawan.
Pada April 1915 orang-orang Armenia di Kota Van membarikade diri mereka dan bertempur melawan pasukan Usmani. Aksi ini justru makin memberikan alasan para elite untuk menindak orang Armenia dengan lebih keras. Pada 24 April 1915, Mehmet Talat Pasa, Menteri Dalam Negeri Kesultanan Usmani, memerintahkan penangkapan sekitar 250 intelektual dan politikus Armenia di Istanbul, termasuk beberapa deputi yang duduk di parlemen.
Sebagian besar pria yang ditangkap itu tewas dalam bulan-bulan berikutnya. Penangkapan beserta pembunuhan ratusan intelektual Armenia itu berlanjut dengan kebijakan mendeportasi seluruh warga Armenia keluar dari wilayah Usmani.
Penguasa kekhalifahan beralasan, keberadaan orang Armenia merupakan ancaman bagi keamanan nasional. Sebuah undang-undang pada Mei 1915 dikeluarkan parlemen untuk mengesahkan tindakan deportasi.
Ratusan ribu sampai jutaan warga Armenia dituntun keluar dari kampung halaman menyusuri lembah dan gunung menuju kamp konsentrasi di gurun Suriah dekat Deir ez-Zor. Aksi tersebut diawasi langsung oleh pejabat sipil dan militer Usmani. Tak sedikit orang Armenia yang dianiaya, dirampok, diculik dan dibunuh oleh para tentara dan beberapa orang-orang Kurdi serta orang Sirkasia.
Belum lagi, gerombolan penjahat sengaja dilepas untuk menyerang iring-iringan orang Armenia yang terusir dari tanahnya.
Nasib para pengungsi Armenia di kamp-kamp gurun Suriah juga tak lebih baik. Mereka dibiarkan hidup di lingkungan tandus sampai mati atau malah dibunuh.
Peristiwa yang berlangsung sampai 1916 itu disaksikan pula oleh sejumlah jurnalis asing, misionaris, diplomat, dan perwira militer yang terus mengirim laporan peristiwa ke luar negeri tentang iring-iringan warga Armenia yang disiksa dan dibantai. Korban Kaum Republik Motif ideologis dapat dikaitkan dalam kasus pembersihan etnis disertai genosida orang Armenia.
Henry C. Theriault dalam “Genocide, Denial, and Domination: Armenian-Turkish Relations from Conflict Resolution to Just Transformation” (2009) mencatat, ketika Perang Dunia I meletus, Kekhalifahan Usmani sedang dipimpin oleh Komite Persatuan dan Kemajuan (CUP) yang dibentuk sejak peristiwa Revolusi Turki Muda 1908. Anggota Turki Muda adalah tiga serangkai, Talaat Pasha (Mendagri), Enver Pasha (Menteri Perang), dan Djemal Pasha (Menteri Angkatan Laut).
Awalnya, revolusi yang digulirkan kelompok Turki Muda melawan penguasa Usmani Sultan Abdul Hamid II ini mendapat dukungan dari orang-orang Armenia dan kelompok politik lainnya. Ini karena Turki Muda memproklamasikan tatanan baru di mana Kekhalifahan Usmani dibawa ke arah republik yang terbuka dan pluralistik.
Dalam republik macam itu, semua penduduk diperlakukan setara tanpa memandang etnis dan agama. Namun kenyatannya tak semanis itu. Kelompok Turki Muda melihat bahwa Turki harus menjadi negara nasional seutuhnya. Pandangan ini melahirkan kebijakan fasistik di mana hanya orang-orang Turki, atau sekurang-kurangnya mau meninggalkan identitas lamanya untuk menjadi orang Turki, yang berhak tinggal menjadi warga negara Turki yang baru.
Apa yang membuat CUP berbalik haluan? Taner Akcam dalam From Empire to Republic: Turkish Nationalism and the Armenian Genocide (2004) menyebut pemahaman tentang negara yang didefinisikan CUP berdasar rasa persaudaraan lintas etnis dan agama dibuang sebagai konsekuensi dari kekalahanya melawan Imperium Rusia. Turki baru yang merangkak menuju republik harus mengonsolidasikan kekuatannya lagi dan tak muluk-muluk berekspansi menyatukan banyak wilayah.
Akhirnya, menyeragamkan Turki dari segi identitas budaya dan agama menjadi keputusan pragmatis. Tentu narasi penyeragaman ini menjadi momok menakutkan bagi kelompok etnis minoritas. Armenia adalah salah satu dari sekian etnis minoritas di wilayah Usmani seperti orang Yunani dan Asyur.
Karena jumlah orang Armenia di Anatolia tidak sedikit, sehingga tidak gampang mengubah mereka menjadi orang Turki sesuai keinginan CUP, maka jalan yang ditempuh adalah asimilasi paksa atau dibunuh. Cara yang kedua tampaknya lebih berjalan seiring dengan faktor kekalahan Usmani melawan Rusia dan sentimen bahwa bangsa Armenia dianggap mendukung Rusia.
Pada akhir Perang Dunia I struktur dan kekuasaan CUP memang runtuh. Beberapa otak pelaku genosida Armenia diadili dan dijatuhi hukuman. Namun ketika kaum nasionalis di barisan Mustafa Kemal Ataturk meraih kekuasaan setelah menggulingkan Kekhalifahan Usmani, proses persidangan kasus genosida Armenia mandek. Para tahanan bahkan dibebaskan.
Banyak orang yang terlibat genosida masuk lagi dalam barisan pemerintahan Republik Turki. Di hadapan dunia internasional, Ataturk tak segan mengakui adanya pembunuhan massal serta mengutuknya, menyebut sebagai tindakan memalukan.
Namun hingga kini, lebih dari 100 tahun peristiwa itu berlalu dan orang-orang Armenia masih terus memperingatinya sebagai hari paling kelam dalam sejarah bangsa mereka, Turki masih tetap tak banyak berbuat dan mengakui kesalahannya. Bahkan Turki masih menolak untuk menyebut peristiwa itu sebagai sebuah genosida.
Sedangkan Rusia, Perancis, Kanada, Belgia, Italia, Rusia, Uruguay, Argentina, dan 20 negara lainnya secara resmi menyebutnya sebagai genosida.
Pasal 301 undang-undang hukum pidana Turki tentang "menghina Turki" dipakai sebagai alat untuk memberangus mereka yang vokal menyoroti pembunuhan massal orang-orang Armenia.
Penulis terkemuka Turki yang kena pasal karet itu adalah Orhan Pamuk yang sempat dikriminalisasi pada 2005 setelah menyoroti pembantaian massal Armenia dan Kurdi. Hrant Dink, jurnalis Armenia-Turki, lebih nahas lagi. Ia dibunuh seorang remaja ultranasionalis, Ogun Samast, pada 2007.
Dink dikenal sebagai jurnalis yang kerap mengkritik sikap Turki yang menolak peristiwa genosida Armenia dan vokal memperjuangkan hak-hak minoritas.
Penulis: Tony Firman Editor: Ivan Aulia Ahsan
Turki masih menolak menyebut pembantaian terhadap orang Armenia sebagai genosida.
Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar