Reporter: Non
Koresponden
Editor: Maria Rita
Hasugian
Minggu, 7 April 2019 16:52
WIB
Pastor Tutsi Anastase
Sabamungu (kiri) dan guru Hutu Joseph Nyamutera mengunjungi pemakaman Rwanda di
mana 6.000 korban genosida dimakamkan. ( 2008 World Vision / foto oleh Jon
Warren via worldvision.org)
TEMPO.CO, Jakarta - Rwanda berkabung
selama 100 hari untuk mengenang dan menghormati lebih dari 800 ribu orang tewas
dalam genosida yang mengguncang dunia.
Hari berkabung dimulai Minggu, 7 April 2019. Presiden
Rwanda, Paul Kagame akan memimpin upacara berkabung dengan menyalakan api di Monumen
Genosida Kigali, di mana lebih dari 250 ribu korban dimakamkan di monumen
tersebut, sebagian besar korban dari etnis Tutsi.
Setelah itu, Kagame dijadwalkan akan berpidato di Kigali
Convention Centre, bangunan modern yang melambangkan regenerasi Rwanda sejak
peristiwa genosida terjadi.
Sore harinya, para pejabat Rwanda akan bergabung dengan 2
ribu orang berjalan bersama ke gedung parlemen. Di sini pada malam harinya
mereka akan menyalakan lilin, seperti dikutip dari Reuters dan
Channel News Asia.
Hari berkabung yang dimulai hari ini untuk mengenang awal
terjadi genosida pada 6 April 1994, ketika Presiden Juvenal Habyarimana dan
presiden Burundi Cyprien Ntaryamira tewas setelah pesawat yang merka tumpangai
ditembaki ketika melintas di ibu kota Rwanda. Kedua kepala pemerintahan ini
beretnis Hutu.
Presiden Rwanda, Paul Kagame
Sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menembak
pesawat yang membawa pemimpin Rwanda dan Burundi itu.
Peristiwa penembakan pesawat yang ditumpangi presiden
Ntarymira memicu mobilisasi tentara pemerintah beretnis Hutu dan sekutunya dari
kelompok milisi untuk menyerang warga Rwanda dari etnis minoritas Tutsi.
Dalam kurun waktu 3 bulan, lebih dari 800 ribu orang
tewas dibantai. Sekitar 10 ribu orang tewas setiap hari.
Genosida telah menghilangkan sekitar 70 persen populasi
etnis minoritas Tutsi atau 10 persen dari total populasi Rwanda.
Aksi pembantaian etnis ini berakhir pada Juli 1994 ketika
Front Patriotik Rwanda, gerakan pemberontak yang dipimpin Paul Kagame dari
etnis Tutsi berusia 36 tahun.
Kagame kini berusia 61 tahun dan menjadi presiden Rwanda.
Kini, Rwanda menjadi salah satu negara di Afrika yang
perekenomiannya terbaik dan maju. Namun trauma atas genosida 1994 masih kuat dialami penduduk Rwanda.
Terutama karena masih banyak keluarga tidak mengetahui keberadaan orang-orang
yang mreka kasihi. Bersamaan itu, para pembunuh masih bebas berkeliaran di
Rwanda.
0 komentar:
Posting Komentar