Mahandis Yoanata Thamrin - Rabu, 22 Mei 2019 | 16:00 WIB
Seorang pemain ketoprak baru saja menyelesaikan rias
wajahnya. Malam itu dia berperan sebagai warok yang digambarkan berbadan
perkasa dengan bulu dada, wajahnya berkumis dan bercambang lebat. Rombongan
ketopraknya berpentas di Wado, pinggiran Blora.
“Di zaman PKI seniman sangat diperhatikan,” ujar Randimo. “Ya, karena ditunggangi itu setiap desa punya gamelan. Kok, setelah gestok gamelan pada hilang entah kemana.”
Randimo lahir 76 tahun silam di Prambanan.
Lelaki sepuh yang masih bersemangat itu merupakan pegiat kesenian ketoprak di
Balekambang, Surakarta. Dua
tahun silam, saya menjumpai lelaki itu di kediamannya di Sumber, yang berada
tak jauh dari tembok keliling Balekambang.
Boleh dikata, dia merupakan sesepuh di
paguyuban kesenian itu lantaran sudah banyak makan asam garam di panggung ketoprak sejak
lebih dari 60 tahun silam. Bahkan, Randimo masih bergiat membina paguyuban ketoprak di
tempat kelahirannya.
Dia berkisah kepada saya. Petualangannya dalam
seni pertunjukan bermula ketika Randimo turut kelompok srandul, ketoprak jalanan
yang bermain di pelataran tanpa tobong. Kemudian, dia bergabung dengan ketoprak Balekambang
pada awal 1960-an, hingga menjadi saksi sejarah kelam tatkala geger politik
pada 1965. Singkatnya,
lelaki itu adalah pemain ketoprak kawakan. Ketoprak sudah
menjadi jalan hidupnya, pun nada dering gawainya melantunkan seruling dan rebab
yang menyayat-nyayat.
Randimo, sesepuh paguyuban
ketoprak di Taman Balekambang, Surakarta. Lebih dari 50 tahun dia telah
bertualang di pentas ketoprak, dari pentas srandul sampai ketoprak modern.
Sekitar
1964-65 Randimo berpentas bersama Krido Mardi di Prambanan. Kelompok ketoprak di bawah
naungan Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) itu tengah berada di tajuk kesohorannya.
Randimo mengenang lakon-lakon yang dipentaskan dari “Romeo Juliet” hingga
“Pilistine dan Nazareth”.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo.
Memang,
ungkapnya, orang-orang tidak mengerti tentang apa itu LEKRA.
Mereka
bergabung dalam wadah kesenian yang anggotanya direkrut oleh carik setempat.
“Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar,” ujarnya. “Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
Pada
1955-65 kelompok ketoprak telah
terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berafiliasi dengan
Lembaga Ketoprak Nasional,
dan PKI (Partai
Komunis Indonesia) yang berafiliasi dengan LEKRA.
Meskipun
“berafiliasi”, kadang orang sulit mengungkapkan fakta kaitan langsung PKI dan LEKRA,
lantaran organisasi seniman itu bukan
paguyuban resmi milik partai.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo. “Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar. Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
BAKOKSI
(Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh
Indonesia) yang dibentuk LEKRA telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275
pada 1957 menjadi 371 pada 1964. Lakon-lakon ketoprak dan kesenian
panggung lainnya diadaptasi sebagai propaganda partai. Kesenian rakyat pun
menjadi sebuah kegiatan seni yang kritis, progresif, dan radikal. Lewat seni,
pandangan dan ide partai disisipkan sehingga masyarakat lebih memahami esensi
pesannya.
Para seniman dan budayawan
terseret dalam pusaran politik—disadari atau tidak. Ketika bahtera Sukarno terempas
badai politik, PKI pun
menjadi bulan-bulanan. Peristiwa itu menggayang para seniman LEKRA yang
umumnya tak bekerja untuk politik partai.
Randimo
bersaksi atas nasib pemain ketoprak menyusul
terjadinya penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta dan Yogyakarta,
akhir September 1965.
Sebuah peristiwa yang lekat dengan ingatan warga Indonesia sebagai sebuah
percobaan kup.
Beberapa seniman profesional ketoprak Balekambang
Surakarta tengah bersiap pentas.
Ketika
itu orang-orang yang diduga terkait dengan LEKRA diganyang habis.
“Di Prambanan, lurah dan stafnya habis.” Dia juga mengenang kejadian yang membinasakan teman-teman sejawatnya, “Pemain ketoprak habis!”
“Meledak pertama di Pandan Simping,” ingatan Randimo melayang ke suatu tempat tak jauh dari kompleks Candi Prambanan.
Di kolong jembatan yang menghubungkan Yogyakarta dan Klaten, ratusan warga dan pemain ketoprak yang diduga simpatisan LEKRA dibantai. “[Ketika itu] saya berada di barat jembatan sedang klonengan—bermain gamelan.”
Randimo menyaksikan jalanan sudah dijejali tentara. Sampai saat itu pun dia belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, sementara dengan keheranan dia mendengar orang-orang berbisik, “Geger PKI! Geger PKI!”
Sejak
munculnya upaya pembersihan orang-orang yang diduga terkait PKI pasca-September 1965, banyak teman-teman
Randimo yang menghilang. Pemain ketoprak diambil
satu-satu saat pentas, bahkan pesinden turut terciduk. Kelompok yang aman
adalah para niyaga, atau penabuh gamelan—mungkin dianggap tidak terlalu
berbahaya.
Celakanya,
warga yang tidak tahu menahu soal LEKRA pun dibasmi.
“Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillahada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
“Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
Saya
bertanya kepada Randimo, bagaimana dia bisa selamat?
Randimo
mengatakan bahwa dia selamat karena saat geger itu dia berganti peran, bukan
sebagai pemain ketoprak melainkan
sebagai petugas berseragam tentara. Dia bertugas di sebuah kantor kecamatan
selama tiga tahun.
“Saya jaga dengan baret merah berlambang PNI banteng, keliling operasi dengan sepatu kedodoran karena lungsuran,” ujarnya jenaka. “Bangga sekali sampai pulang pun malas untuk melepas sepatu. Saya aman!”
Meskipun
terjadi guncangan yang hebat bagi dunia kesenian pada akhir 1965, ketoprak mulai
bangkit tertatih-tatih pada tahun berikutnya dan eksis kembali sekitar 1968.
“Memang ketoprak pasca-G-30-S bukan tidak diperbolehkan atau dilarang,” ujar Randimo sambil menjepit sebatang rokok kretek dengan bibirnya. Dia memantik korek api, lalu mengembuskan asapnya. “Cuma takut!”
Adegan tawur atau perang menjadi
daya tarik pemirsanya. Pemain ketoprak membutuhkan kekuatan otot dan nyali.
Tidak seperti tayangan film atau sinetron, sedikit lengah badan pemain pun
memar.
Ketoprak tersangkut
dalam keruwetan masalah politik, meskipun pemainnya tidak berpolitik.
Pemain ketoprak saat
itu umumnya tidak bersekolah. Para pemainnya tidak mengerti soal uang,
mereka hanya mengharap bisa menunaikan ibadah makan, sehingga pernah ada
istilah kotoprak madhang — atau ketoprak makan.
Ketika
militer dipakai untuk menumpas orang-orang yang terlibat PKI, Randimo dan
rekan-rekan sejawatnya justru ditanggap untuk menghibur satu batalyon asal Jawa
Timur yang sedang bertugas di Cilacap.
“Tiga bulan di Cilacap bersama Ranto Gudel,” kenangnya tentang suatu masa pada awal Orde Baru. “Penghibur tentara pascagestok.”
Kekerasan
budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap
antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—pada masa itu
telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia.
Selama
Orde Baru, lagi-lagi kesenian digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam
peristiwa pembantaian massal orang-orang yang diduga terkait komunisme.
Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran
terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—telah
membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia. Kendati sebagian orang telah
menyadarinya, dampak kebijakan itu masih dirasakan hingga hari ini.
Ketoprak memang telah
menjadi corong paling cerdas yang mudah ditangkap oleh indera masyarakat.
Keterlibatan ketoprak dalam
panggung politik pada awal Republik ini berdiri, akhirnya nyaris membinasakan ketoprak itu
sendiri—dan juga nyawa para senimannya.
Bagi Randimo, perjalanan hidupnya telah menyimpulkan bahwa para pemain ketoprak itu “belajar dipanggung, pandai juga dari panggung. Tidak berpolitik tetapi dipakai untuk politik.”
0 komentar:
Posting Komentar