Senin, 13 Mei 2019

Garin Nugroho: Saya lawan meski diancam dibunuh


Heru Triyono - 11:59 WIB - Senin, 13 Mei 2019

Sutradara Garin Nugroho saat ditemui di sebuah tempat makan bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu sore (8/5/2019).Wisnu Agung / Beritagar.id

Ia bicara tentang film bertema LGBT dan pendirian politiknya yang bergolongan putih ada usia karier yang mencapai 37 tahun, statusnya sebagai “bad boy” sinema Indonesia belum berkurang sedikit pun. Film barunya, Kucumbu Tubuh Indahku, telah memicu kontroversi bahkan sebelum pemutarannya di bioskop.

Ini adalah kesekian kalinya film Garin memantik perdebatan. Sepertinya, kontroversi terus mengikuti dia seperti anak domba yang setia.

Dus, filmnya itu mengangkat kisah penari Riyanto Manali, yang bereaksi terhadap trauma masa lalunya—dengan cara yang mengejutkan penonton. Garin menunjukkan film itu bukan sebuah thriller balas dendam. Tapi sesuatu yang lebih meresahkan ketimbang itu: trauma tubuh.
“Tubuh manusia sejak lahir telah membawa trauma. Tidak hanya pada tubuh personal tetapi juga sebagai bangsa,” kata Garin saat wawancara dengan Heru Triyono dan fotografer Wisnu Agung di sebuah tempat makan bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu sore (8/5/2019).
Garin sadar ia berurusan dengan hal tabu. Sebab, filmnya memuat unsur LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender)—sehingga memicu penolakan di beberapa daerah. Ada juga petisi yang dimuat di Change.org berisi imbauan pemboikotan.

Padahal film itu sudah diputar di 30 festival film seluruh dunia dan dapat penghargaan di Italia, Prancis, Meksiko dan Australia. “Sedihnya, kita tak berdaya ketika penghakiman massal terhadap sebuah film itu terjadi,” ujar pria berumur 57 ini.

Sore itu, kami bertemu di sebuah tempat makan yang jauh dari jalan. Saat sedang hujan. Garin mengenakan kemeja berlogo anjing dan memilih melepas kacamatanya selama wawancara tentang petisi, film LGBT dan golongan putih.

Berikut tanya jawabnya:

Sutradara Garin Nugroho saat ditemui di sebuah tempat makan bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu sore (8/5/2019). | Wisnu Agung /Beritagar.id

Penolakan film Anda di beberapa daerah masih berlangsung. Bahkan petisi penolakannya telah ditandatangani 50 ribuan orang…

Sudah biasa. Film Opera Jawa juga ditentang World Hindu Youth Organization. Waktu itu saya bantah.

Kalau enggak, akan jadi pembiaran atas penghakiman massal dan sepihak.
Hal seperti itu harus dilawan tanpa mengurangi prinsip perbedaan ya. Sama seperti kontroversi film Sugiyo. Saya lawan meski diancam dibunuh.

Apakah film Kucumbu Tubuh Indahku mengundang ancaman yang sama dari pihak tertentu?

Ada kata-kata laknat atau jahanam untuk saya. Pokoknya kalimat penuh dosa. Capek juga meladeni yang kayak gitu.

Saya yakin Anda sadar LGBT itu isu yang sensitif dan pasti menuai ancaman.

Apa motivasi Anda tetap mengangkat isu itu lewat film?

Saya mengerti konsekuensinya. Apalagi ini era Pemilu, era politik identitas, di mana semua serba terancam. Begitu kan?
Tapi saya tidak menduga sih akan sebesar ini, bahkan sampai pemerintah daerah melakukan penolakan.

Meruncingnya politik identitas berdampak besar terhadap film, begitu?
Ya setiap golongan memang sedang merasa terancam saat ini. Baik itu minoritas maupun mayoritas.

Petisi penolakan tadi adalah sebuah serangan kelompok tertentu karena mereka merasa terancam atas sebuah karya film.
Kan saat ini tahun politik. Tentu polarisasi sulit dicegah...
Sudah sangat banal memang polarisasi dukung-mendukung ini. Mereka hanya ingin dapat informasi dan karya dari sesama pendukungnya.

Mungkin momen kemunculan film Anda yang tidak pas?

Bukan soal momen. Ini justru jadi ujian yang baik, apakah kita dewasa atau enggak. Ternyata enggak, ya sudah.

Bagi yang kontra, mereka anggap film Anda merusak moral. Bagaimana dengan perspektif itu? 

Film itu tak semata sebagai beban moral, tetapi sebagai refleksi, katarsis atau gugatan. Jadi beragam fungsi tentang kehidupan.
Seperti film kucumbu, yang menjadi ruang diskusi tentang trauma tubuh.
Jadi tidak tepat kalau film dibebankan dengan moral. Justru dalam film lah diskusi nilai-nilai moral yang sedang tumbuh atau digugat dilakukan.
Bukan film sebagai panduan moral.

Tapi film itu kan bisa memengaruhi dan membentuk opini. Artinya, anggapan film Anda dapat memengaruhi orientasi seksual orang, bisa saja kan?

Setiap unsur kehidupan itu bisa mengubah sudut pandang. Kasus yang penting adalah ketika film Akibat Pergaulan Bebas dituduh sebagai penyebab pemerkosaan-pemerkosaan yang terjadi saat itu.
Padahal filmnya telah lulus lembaga sensor. Ini aneh. Sebab tidak mungkin satu hal itu jadi penyebab semuanya.

Lalu, bagaimana dengan film Ikut Aku ke Neraka? Apakah jadi penyebab orang jadi masuk neraka. Atau Avengers: Endgame. Apakah bikin orang ingin jadi Thanos. Pemahaman seperti itu sangat sempit.

Apakah penerapan sensor film selama ini sudah baik, misalnya terhadap film yang memuat unsur LGBT?

Jujur, mereka (LSF) itu kini memberi ruang untuk film. Misalnya, ketika film itu tampil di festival. Maka tidak perlu sensor dan sebagainya.
Tetapi mereka belum punya kekuatan untuk menghadapi penghakiman massal—seperti petisi penolakan itu.

Jadi kemampuan mereka dalam hal pendidikan politik dan panduan kepada publik masih rendah kualitasnya. 

Artinya peran lembaga sensor film ini belum terlalu signifikan?

Sebagai lembaga, harusnya mereka memandu masyarakat soal sensor yang mereka lakukan.
Mereka harus beri pernyataan bahwa tidak boleh ada teror, ancaman dan bredel atas sebuah film yang sudah disensor.

Harus ada ketegasan bersikap. Apalagi kalau sampai ada pihak yang menurunkan film. Harusnya LSF bisa minta polisi menindak.
Tapi, jika mereka mengambil jalan yang tidak cukup berani, ya peran LSF juga jadi tak terlalu berarti.

Berapa persen film Kucumbu Tubuh Indahku yang disensor LSF?

Saya malah lupa. Kecil sih. Hanya adegan telanjang saja yang dipotong.

Oke. Keberadaan karakter LGBT dalam film itu suka dianggap sebagai upaya pengenalan akan kelompok tersebut atau propaganda. Pandangan Anda?

Itu prasangka. Menurut saya harus ada dialog terus menerus soal ini. Saya akan lawan apa yang disebut fanatisme minoritas ataupun fanatisme mayoritas.

Rata-rata, dari dialog yang saya lakukan dengan yang kontra film saya, berakhir dengan baik.
Dialog itu sering terjadi. Pernah saya lakukan di Padang dan Bali.

Sutradara Garin Nugroho saat ditemui di sebuah tempat makan bilangan Cipete, Jakarta Selatan, Rabu sore (8/5/2019). | Wisnu Agung /Beritagar.id

Adanya petisi penolakan dan ancaman, lalu politik identitas, apakah ini mirip saat zaman Soeharto dulu, yang mempraktikkan politik represif terhadap film?

Zaman Pak Harto jelas yang kita hadapi: militer. Kalau saya kena sensor, kena tegur intel, kan jelas. Kalau sekarang enggak jelas.

Tidak jelas juga institusi mana yang bisa menolong film saya. Enggak ada. Apakah presiden yang pluralis mau menolong saya?

Ini adalah zaman rating dan follower amat penting. Film seni itu massanya sedikit. Tidak punya pengaruh, apalagi bagi politikus bodoh-bodoh itu.
Politikus cuma melihat sesuatu dari massa yang banyak, bukan massa yang berkualitas.

Maksud Anda, film seni tidak diperhatikan?

Soal itu aku enggak khawatir. Karena politiknya memang enggak mampu, enggak berkualitas, sehingga aku enggak berharap.
Dari kasus film ini, saya sama sekali tak berharap kepada politikus-politikus sok pluralis itu. Mereka hanya ingin kekuasaan dari massa yang banyak. Film saya bukan massa yang banyak.
Era ini menyedihkan. Pemilu jadi cermin dari era yang buruk. Pemilu ini juga paling tidak beradab karena mengakibatkan kematian lebih dari 400 orang dan seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Anda sepertinya gelisah banget. Pernyataan Pemilu tidak beradab itu cukup serius lho?

Begini. Pemilu itu biayanya sangat mahal. Menyita energi masyarakat.
Saat 400 orang meninggal dan kita santai-santai saja, ya ada apa dengan negeri ini. Harusnya kita membuat gerakan save Indonesia.

Jujur, saya gelisah. Tubuh bangsa ini belum bisa mentransformasikan traumanya pada setiap periode timbulnya kekacauan.

Misalnya soal PKI, radikalisme dan periode Pemilu kali ini. Mandek. Kayak terperangkap dalam trauma yang tidak terpecahkan.
"Film itu tak semata sebagai beban moral, tetapi sebagai refleksi, katarsis atau gugatan."
Garin Nugroho

Wahyu Juno, seorang penari lengger dalam film Anda itu juga punya trauma. Apakah dia berhasil menstransfomasikan dirinya menurut Anda?

Sejak kecil tubuh Juno penuh trauma. Diejek dan disakiti. Tapi dia bisa mentransformasi diri jadi penari internasional.

Nah tubuh bangsa ini belum ditransformasikan. Tidak berani dibuka dan didiskusikan. Sehingga menimbulkan kemunduran.

Trauma ini akan muncul kembali di tiap periode kekacauan seperti Pemilu sekarang.

Beda dengan Jepang atau Jerman. Mereka mampu mentransformasikan trauma perang dunianya dengan menjadi negara maju.

Dari 19 film Anda, Kucumbu Tubuh Indahku adalah film terbaik yang pernah Anda buat?

Enggak juga. Masih banyak yang lain seperti Opera Jawa, Setan Jawa dan yang lain. Film kucumbu itu cepat pembuatannya.

Persiapan dua bulan dan syuting dua minggu. Kemudian post produksi hampir dua bulan. Ini termasuk film paling cepat yang saya bikin.

Sayangnya film itu berbarengan dengan tayangnya Avengers: Endgame ya…
Hal ini sudah saya tulis di buku Negara Melodrama. Negara kita itu berhadapan dengan politik identitas yang hitam putih dan penuh penghakiman. Tapi, di sisi lain juga sangat politik korporasi.

Contohnya ya Avengers: Endgame itu, yang hampir 90 persen menguasai bioskop. Itu kan politik korporasi. Saya menulis ini di buku dan malah mengalami sendiri.
Celaka betul ha-ha.

Apakah kegelisahan ini yang membuat Anda mencalonkan diri jadi calon wali kota Yogyakarta beberapa waktu lalu?

Iya. Cuma aku enggak mau menerangkan saja. Saya kecewa. Tapi tidak jadi beban. Tahun ini juga tidak memilih karena kehilangan elite politik yang bagus untuk dipilih.
Apalagi terjadi politik korporasi, politik identitas dan pertempuran global yang tidak berpihak pada masyarakat.

Anda menyesal telah mencalonkan diri jadi wali kota?

Enggak. Saya justru belajar bahwa saya tidak berbakat di sana.

Jika ada tawaran, Anda berminat masuk ke politik praktis lagi?

Enggak. waktu itu saya beranggapan akan bisa mengubah. Ternyata diri ini harus sadar. Harus punya kemampuan politik uang yang masif. Itu pasti.

Ke depan, apakah Indonesia bisa mentransformasikan traumanya seperti karakter Juno dalam film Anda?

Tergantung. Kalau tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat dari para elite, maka akan tetap begini-begini saja.

Mungkin Indonesia bisa jadi seperti Ukraina, yang memilih pelawak karena masyarakatnya tidak lagi percaya elite?

Kita sebetulnya sudah lebih ekstrem dari Ukraina kan. Pelawak-pelawaknya malah menjadi ustaz, kan banyak juga.

0 komentar:

Posting Komentar