21 Mei 2019 - Lilik HS
Nafas kami yang tersengal setelah meniti jalanan menanjak
menuju lokasi misa arwah di dusun Dobo, kelurahan Iantena, Sikka, langsung
terbayar begitu mendengar tetabuhan alat musik tradisional dan tarian anak-anak
kecil menyambut kedatangan rombongan kami, saya dari IKa dan Abdi
Suryaningati dan Ade
Siti Barokah dari The Asia Foundation, Piter
EmbuGusi Yulius
Regang dan rombongan PBH Nusra serta Pater Otto Gusti yang akan
memimpin misa yang kebetulan dating berbarengan. Puluhan warga – laki dan
perempuan, mengenakan kain sarung tenun terbaik telah berjajar mengisi kursi
yang tersedia. Sore itu, pukul 17.02, langit biru terang membentang di antara
bayang-bayang pohon jambu mete, tanaman paling banyak ditemui di sini.
Senin, 20 Mei 2019 merupakan prosesi misa arwah untuk
para korban kekerasan 1965 di dusun Dobo desa Iantena. Acara diselenggarakan
oleh PBH Nusra bersama komunitas warga Iantena, dengan dukungan IKa dalam
Program Peduli. Dipimpin oleh Romo John dari Paroki dan Pater Otto Gusti dari
STF Ledalero, proses misa dimulai pada pukul 17.45. Pater Otto dalam kotbahnya
menyatakan:
“Pada hari ini kita berkumpul juga untuk mendoakan secara saudara-saudari kita yang telah meninggal 50 tahun lalu pada peristiwa 1965. Orang-bisa yang meninggal bisa jadi mereka bersalah, tapi kesalahan tidak boleh kemudian menjadi alasan untuk menghabisi mereka. Kita orang Kristen harus mendoakan mereka agar jiwa mereka diterima dalam persekutuan. Di dalam kasih Tuhan. Dalam perayaan ekaristi ini kita mau mendoakan saudara-saudara kita yang sudah meninggal dan menempuh akhir hidupnya secara tidak adil. Yesus yang datang ke dunia untuk membawa revolusi social mengundang kita untuk berani menguak kebenaran masa lalu dalam masyarakat kita juga di bangsa kita…”
“Salah satu cara yang diajarkan Yesus dan itu ada dalam kitab suci adalah menguak kebenaran. Karena hanya kebenaran yang membebaskan kita. Tanpa kebenaran tidak ada rekonsiliasi, tanpa kebenaran tidak ada kedamaian. Tanpa kebenaran tidak ada hidup tanpa konflik.” tambahnya.
"Pada bulan Mei ini kita mendoakan agar saudara kita yang meninggal secara tidak adil bisa damai..,” demikian dari Romo John. Prosesi berikutnya adalah persembahan dari jemaat. Hasil bumi berupa seikat besar singkong, keladi, sayuran dan telur ayam dipersembahkan dan ditata di meja. Romo John membacakan doa “Keselamatan bagi warga Dobo, bagi para arwah korban 65 yang dilupakan..”
Misa arwah untuk korban 65 merupakan pertama kali
dilakukan di Sikka. Pater Otto pun menyebut baru pertama kalinya memimpin misa
arwah untuk korban 65. Pada 2017, PBH Nusra Bersama komunitas masyarakat
menyelenggarakan rangkaian upacara adat Gren Tana Gren Nuba dan Gren Mahe
sebagai salah satu upaya rekonsiliasi antara keluarga korban dan pelaku.
Acara
tersebut diselenggarakan di desa Tuabao kecamatan Waiblama. Dari 157 KK warga
desa tersebut, ada 57 orang yang menjadi korban pembunuhan, tanpa ada kejelasan
dimana mereka dikuburkan.
Anak cucu mereka menyimpan luka dan aneka stigma. Setelah
adanya upacara adat, sedikit demi sedikit mereka tak lagi merasa tabu bciara
tentang 1965.
Tak beda dengan desa Tuabao, desa Iantena adalah salah
satu desa di mana jumlah korban 65 cukup besar. Tak kurang dari puluhan warga
diambil paksa, dibunuh tanpa ada yang tahu dimana lokasi kuburannya. Peristiwa
50 tahun lampau, masih membekas erat dalam ingatan warga desa. Tak terkecuali
Mama Rosmunda Rasenli yang tampak kusyuk mengikuti seluruh prosesi.
“Saya rasa terharu. Ingat kita ingat punya keluarga. Biasanya kalau ada keluarga meninggal kita rawat, kita atur rapi. Kita kubur yang baik. Tapi tidak bisa…” Ia kehilangan salah satu kerabat, yang diambil dari rumah dengan alasan untuk kerja bakti kemudian tak pernah kembali lagi.
“Saya rasa terharu. Ingat kita ingat punya keluarga. Biasanya kalau ada keluarga meninggal kita rawat, kita atur rapi. Kita kubur yang baik. Tapi tidak bisa…” ujarnya.
Mama Edita (60 tahun), duduk di sebelahnya menimpali: “Saya juga rasa haru. Biasanya hanya bisa mendoakan di gereja...”Ia kehilangan adik bapaknya, yang diambil paksa dan tak tahu rimbanya. Bersama banyak lelaki lain di desanya pada masa itu. Ia masih umur 4 tahun ketika itu, diajak orangtuanya lari ke hutan. Makan ubi dan pisang mentah. Hingga berbulan-bulan lamanya.
Bertahun-tahun setelah peristiwa Mama Edita masih merasa
trauma. Ia juga merasa ada ganjalan lantaran tak bisa menguburkan dan mendoakan
pamannya dengan semestinya. Misa arwah kali ini sungguh melegakan hatinya.
0 komentar:
Posting Komentar