Oleh Andri
Setiawan
Berawal dari sebuah gereja sederhana bekas kandang ayam,
para tapol Pulau Buru bisa mengunjungi Namlea.
Lukas Tumiso, ketiga dari kiri, bersama Monsignor Andreas Sol dari
Keuskupan Amboina dan beberapa tapol lainnya pada 1978. (Dok. Lukas Tumiso).
"Ini Santo Paulus di Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku," kata Romo Alexander Dirdjosusanto bangga. Sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau Buru pada 1976.
Pendirian gereja itu bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol
asal Surabaya yang hendak membangun gereja di Unit III. Namun karena
keterbatasan bahan bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang
ayam. Setelah dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana
itu bisa mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik.
Kegiatan Tumiso sempat diejek oleh beberapa kawannya,
salah satunya adalah Oey Hay Djoen, mantan anggota Konstituante dari PKI. Oey
menyebut ketika di Surabaya, Tumiso bukan penganut Katolik yang taat.
"Tumiso jadi apa itu? Arek itu di Surabaya
tidak seperti itu. Sekarang kok ke gereja. Tahi kucing macam apa
coba?" ujar Oey Hay Djoen.
Tumiso pun hanya tertawa dan menganggap Oey hanya
bercanda. Pasalnya, Tumiso dan Oey memang sudah akrab sejak di Surabaya.
Lain halnya dengan Oey, Tjoo Tik Tjoen, seorang pemikir
di PKI justru mendukung Tumiso. "Kamu jangan dengarkan omongannya Oomu
(Oey Hay Djoen) itu. Sudah, keinginanmu seperti apa, lanjutkan
saja," kata Tjoo Tik Tjoen.
Kegiatan di gereja bekas kandang ayam itu mendapat
perhatian Romo Alexander Dirdjosusanto dari Namlea. Romo Alex pun
membangun gereja yang lebih layak bagi para tapol yang beragama Katolik.
Gereja baru itu diberi nama Santo Paulus di Atas Bukit Karang.
Untuk memperkaya bacaan tentang agama Katolik, Romo Alex
menawarkan kepada Tumiso untuk berkunjung ke Namlea setiap hari Minggu. Namun,
Tumiso menolaknya.
"Romo, kalau ke Namlea kita setuju, ndak keberatan. Tapi kalau tiap Minggu, ndak bisa Romo," kata Tumiso.
"Lho, kenapa ndak bisa?" tanya Romo Alex.
"Tugas pokok seorang tapol itu di sektor pertanian, bukan di gereja," jawab Tumiso.
"Ah, nanti itu bisa kita bicarakan," balas Romo Alex.
Jawaban Tumiso atas tawaran Romo Alex itu membuat Tumiso
diolok-olok oleh teman-temannya. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima
tawaran ke Namlea. Tumiso beralasan, jika ia menerima tawaran itu, barangkali
ia bisa kena hukuman.
Namun, Romo Alex tetap mendesaknya untuk ke Namlea agar
bisa memperdalam agama Katolik. Akhirnya, Tumiso bersedia dengan syarat ada
satu orang lagi yang menemani. Alasannya untuk membantu membawa sayuran ke
Namlea, 15 kilogram untuk pastoran dan 15 kilogram untuk susteran.
Usulannya disetujui. Tumiso dan satu tapol lainnya
akhirnya ke Namlea setiap Minggu. Namun, setelah empat kali ke Namlea, Tumiso
berhenti.
"Ini ndak bisa berlanjut, sebab Namlea itu impian. Ibarat punya uang ratusan ribu satu kamar, kita tetap tidak bisa ke Namlea. Ke peradaban," ujarnya.
Tumiso mengatakan bahwa tidak adil jika hanya orang
Katolik yang diberi kesempatan mengunjungi Namlea.
"Toh yang lain cemburu. Itu seumur hidup orang belum tentu bisa tahu Namlea," ungkapnya.
Tumiso kemudian mengusulkan agar selain dua orang Katolik
untuk keperluan belajar agama, diberikan kesempatan pula kepada dua orang
lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Namlea. Ternyata usulan itu disetujui.
Para tapol akhirnya bisa mengunjungi Namlea secara
bergiliran setiap hari Minggu. Kunjungan ke Namlea juga ternyata bisa membuka
akses para tapol terhadap informasi di luar kamp. Selain itu, mereka juga bisa
mendapat berbagai barang yang dibutuhkan di kamp.
"Kalau turun ke Namlea, pasti ada majalah Tempo, pasti ada kacamata, pasti ada pakaian bekas," sebutnya.
Tumiso pun akhirnya bisa berkelakar kepada Oei Hay Djoen.
Yang dulu mengejeknya ketika merintis gereja, saat itu ikut senang karena
sering diberi bacaan dari Namlea.
0 komentar:
Posting Komentar