Iwan
Supriyatna | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at,
22 November 2019 | 04:05 WIB
Suasana Kampung Ketandan di kawasan
Malioboro, Yogyakarta, Kamis (21/11/2019) - (SUARA/Baktora)
"Hampir 70 tahun tanah ini turun temurun dari kakek hingga akhirnya saya tempati,"
Pengusaha asli Yogyakarta keturunan Tionghoa, Wang Xiang Jun atau Budi Susilo mengaku hanya
menggunakan Hak Guna Bangunan (HGB)
di tanah miliknya di jalan Malioboro nomor
167, Yogyakarta. Ketua Paguyuban Pengusaha Malioboro ini mengaku sudah 70 tahun
menggunakan tanah negara itu.
"Saya beritahu sebelumnya, tanah yang saya gunakan ini adalah tanah milik negara. Jadi status tanah ini adalah HGB. Saya bayar pajak bumi bangunan (PBB) rutin. Hampir 70 tahun tanah ini turun temurun dari kakek hingga akhirnya saya tempati," kata Budi saat dihubungi SuaraJogja.id, Kamis (21/11/2019).
Budi
yang juga pemilik toko souvenir ini mengisahkan jika rumah yang dia tempati itu
sebelumnya merupakan toko kelontong (sekitar tahun 1952). Mulai tahun 1973-an,
rumah sekaligus toko tersebut menjadi toko Souvenir.
"Nama toko ini dari dulu toko Ong, sejarahnya dulu masih berupa toko kelontong itu sudah menjadi HGB. Setelah dipegang ayah saya, jualannya diganti menjadi toko souvenir, menyusaikan dengan keadaan lingkungan di Malioboro ini," tambah dia.
Selama
menempati tanah milik negara tersebut, Budi mengaku telah kehilangan lima meter
lahan ke arah barat. Hal itu menyusul kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta yang
berencana mengubah sebagian lahan Malioboro sebagai akses pedestarian.
"Jadi waktu itu saya harus menggeser mundur bangunan lima meter ke barat. Jika tidak mau bergeser, kita dianggap PKI. Bagaimana tidak takut, saat itu PKI kan sedang diburu. Sehingga kami terpaksa menggeser bangunan," terang dia.
Dia
juga menyayangkan jika alihfungsi tersebut tak sepenuhnya sesuai dengan
kebijakan awal. Pasalnya banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menggunakan lahan
HGB-nya untuk berjualan.
"Memang benar dijadikan akses pedestarian. Tapi lahan lima meter yang sebenernya menjadi hak saya malah menjadi tempat berjualan. Jadi secara tidak langsung saya membayar lahan HGB itu secara penuh, meski lima meter yang seharusnya menjadi hak saya digunakan orang lain, kan awalnya dijadikan akses jalan," ungkap dia.
Meski
demikian, pihaknya tak berencana mengubah status lahan menjadi hak milik. Budi
hanya ingin meminta haknya kembali yakni lahan lima meternya yang hilang. Karena
selama hampir 70 tahun PBB rutin dia lunasi.
"Kebetulan itu tanah HGB, jadi memang bukan tanah kasultanan atau kadipaten. Sehingga rencana mengubah menjadi hak milik bisa saja. Hanya saya tak berpikir hingga ke sana dahulu. Pemerintah harus bertanggungjawab terlebih dahulu dengan sisa lahan lima meter yang seharusnya menjadi hak kami," terang Budi.
Sebelumnya,
Wang Xiang Jun atau Budi Susilo merupakan warga yang mendukung penggugat UU
Keistimewaan DIY ke Mahkamah Konstitusi, Felix Juanardo Winata.
Dalam
gugatannya, Felix mengajukan permohonan pegujian Pasal 7 ayat (2) Huruf d
Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) yang mengatur kepemilikan tanah.
Felix
yang ingin berinvestasi atas tanah dengan cara membeli sebidang lahan, dengan
status hak milik di wilayah DIY, mendapat penolakan.
Sebab
dasar hukum UU KDIY mengacu pada Instruksi Wagub DIY Nomor K.898/I/A/1975
tentang larangan kepemilikan hak tanah bagi warga nonpribumi.
0 komentar:
Posting Komentar