Oleh: Siti Sundari, mahasiswa - 1 November 2019
Tahun ini merupakan tahun bersejarah bagi kita, rakyat
Indonesia, terutama kaum muda mahasiswa. Kita, kaum muda bersama rakyat
menunjukkan kemarahan kepada pemerintahan Jokowi — yang tampaknya sedang panik
dengan krisis ekonomi — dengan mengeluarkan regulasi-regulasi anti-rakyat untuk
mempermudah investasi lebih leluasa masuk di tahun 2020 mendatang[1].
Suatu hal yang lazim dalam setiap rumusan rezim
kapitalis-neoliberal: melakukan deregulasi atau melakukan revisi hukum dan
perundang-undangan untuk memuluskan masuknya modal (capital) dari negeri-negeri
imperialis ke negeri dunia ketiga seperti Indonesia. Revisi perundang-undangan
yang belakangan banyak menimbulkan penolakan—oleh rezim Jokowi dianggap dapat
memuluskan keran investasi—serta menjawab krisis ekonomi global yang berdampak
terhadap Indonesia. Beberapa bulan yang lalu Jokowi pernah berpidato bahwa yang
ia tak segan-segan untuk menghajar siapapun yang menghambat investasi.[2].
Melihat meluasnya kecaman publik, rezim dengan segera
merespon berbagai demonstrasi yang terjadi dengan segala cara. Selain tindakan
represi brutal aparat di lapangan yang akhirnya menelan korban jiwa sebanyak 5
orang, rezim juga menggunakan jasa para pendengung atau kerap kita sebut buzzer guna
melakukan framing terhadap aksi demonstrasi dengan tuduhan menjijikkan: bahwa
aksi telah “ditunggangi”.
Belum cukup sampai di situ, pada tanggal 26 September
2019 yang lalu presiden Jokowi segera memanggil Menteri Riset, Teknologi dan
Pendidikan (Menristekdikti), meminta agar mahasiswa tidak turun ke jalan
melakukan aksi[3]. Empat hari berselang Menristekdikti
Mohammad Nasir menindaklanjutinya dengan mengadakan rapat bersama 130 rektor
dari seluruh perguruan tinggi, supaya tidak ada rektor yang mendukung atau
membiarkan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa[4].
Tak hanya mahasiswa, kawan-kawan pelajar STM pun
mendapatkan tekanan serupa. Para pelajar nampak terlibat dalam aksi beberapa
waktu lalu. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy
merespon dengan mengeluarkan surat edaran berupa larangan melakukan aksi
terhadap kawan-kawan pelajar[5].
Melihat fenomena keterlibatan para pelajar menunjukkan
kepada kita, sebagai mahasiswa khusunya, bahwa kawan-kawan pelajar merupakan
unsur yang tidak bisa kita acuhkan. Bisa kita lihat bahwa kawan-kawan pelajar
merupakan unsur perlawanan yang paling militan dalam demonstrasi menentang
rezim. Bahkan dua dari 5 korban kekerasan aparat berasal dari kawan pelajar,
mereka adalah Bagus Putra Mahendra dan Akbar Alamsyah. Mari tundukkan kepala
kepada kawan-kawan kita yang telah gugur dalam perjuangan.
Budaya Elitisme dan Hal Lain yang Menghambat Perjuangan
Saat Ini
Patut diakui bahwa masih ada dari kaum muda mahasiswa
yang menganggap kekuatan kawan-kawan pelajar sebagai yang sepele atau sekadar
melihat mereka sebagai kawan-kawan yang hanya “suka tawuran”. Misalnya seperti
di Palu, para pelajar kurang diterima oleh mahasiswa yang sedang aksi, padahal
kawan-kawan pelajar sangat ingin bergabung dengan aksi mahasiswa.
Hal seperti ini menunjukan watak budaya elitisme
mahasiswa yang berkesaradaran palsu, kalau boleh saya mengistislahkannya
menjadi kesadaran mahasiswais: merasa punya keistimewaan dan kuasa karena
punya pendidikan yang lebih tinggi dari kawan-kawan pelajar.
Jika ditarik ke belakang, sejarah budaya elitisme ini
terlihat pada generasi angkatan ’66 . Wataknya memperlihatkan seolah-olah
mahasiswa itu tahu segalanya. Teman saya yang saking jengkelnya dengan
pengagungan berlebihan terhadap mahasiswa ini, sampai memplesetkan slogan agent
of change (agen perubahan—sebutan yang sering disematkan pada mahasiswa)
menjadi “agen of segala-galanya”.
Contoh lain budaya elitisme mahasiswa yang masih kental
terasa hingga sekarang adalah merasa “lebih” dan menganggap remeh terhadap
sesama mahasiswa lainnya yang tidak mempunyai jabatan struktural di dalam
kampus. Padahal mereka yang berpartisipasi sebagai massa aksi dalam aksi
beberapa waktu lalu merupakan mahasiswa yang tidak memiliki jabatan dalam
kampus. Bahkan bisa dibilang bahwa mereka juga tidak berorganisasi, baik di
internal kampus maupun eksternal kampus. Bila terhadap sesama mahasiswa sudah
seperti itu, maka bisa kita bayangkan bagaimana terhadap sektor lain seperti
terhadap buruh, kaum tani, dan sebagainya.
Watak ini diperparah dengan ego primordial antar kampus
yang masih cukup tinggi, terutama ketika menentukan siapa yang harus memimpin
aksi. Jumlah massa yang dibawa bergabung dan nama beken kampus adalah 2 hal
yang biasanya dijadikan senjata daya tawar guna memenangkan posisi pimpinan
aksi. Hal ini makin runyam ketika dikombinasikan dengan motif persaingan
mencari popularitas dari para “pimpinan” massa mahasiswa—maka makin
menjadil-jadilah persoalan persatuan di antara kita semua sebagai mahasiswa dan
(apalagi) juga terhadap sektor lainnya.
Gejala lain bisa kita lihat misalnya saat beberapa ketua
BEM dari kampus besar tampil di sebuah stasiun televisi swasta, tvOne, dalam
program Indonesia Lawyers Club (ILC). Ketua BEM lain yang merasa tak terwakili,
seperti Presiden Mahasiswa Universitas Az-Zahra, Nowan Ermawan menyayangkan
tindakan ini. Nowan berkata, “Kami sama-sama kena gas air mata, sama-sama
dikejar polisi, tapi kok tiba-tiba ada (yang) muncul di ILC, apa-apan?”[6]
Di Palu, Sulawesi Tengah, saat aksi pada 25 September
2019, para “pemimpin” mahasiswa hanya berebutan naik ke atas mobil komando
berebutan mic dan sekadar menjadikan aksi massa menjadi semacam
festival: ajang pencarian bakat—mana yang lebih wow di depan
penontonnya (alias massa aksi)—agar mendapatkan piala berharga (alias
popularitas).
Sejarah Indonesia
adalah (memang) Sejarah Kaum Muda, Tetapi Warisan Angkatan ’66 Menghambatnya.
Tak ayal lagi, seperti yang sering diulangi oleh
sastrawan besar kita, penulis novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer, bahwa
sejarah negeri kita (Indonesia) merupakan sejarah angkatan muda. Dalam suatu
wawancara, sastrawan yang juga sejarawan ini dengan tegas mengatakan: “semua
kemajuan di Indonesia itu dimotori oleh angkatan muda dan mahasiswa.”[7]
Ya, benar apa yang dikatakan oleh ‘Pram, karena sejarah
telah membuktikan hal itu. Bila melihat ke belakang dalam era-era masa sebelum
kemerdekaan sampai pada 1965, ada nama-nama pemuda(i) seperti Tirto Adhi Suryo,
Kartini, Marco Kartodikromo, Tan Malaka, Semaun, Aliarcham, Haji Misbach,
Sukarno, Hatta, Amir Syariffudin, Aidit, Wikana, dll., termasuk ‘Pram sendiri
menjadi pemuda yang terlibat “memotori” kemajuan di Indonesia. Berkat jasa-jasa
merekalah bangsa Indonesia lahir. Mereka terdiri dari angkatan muda berasal
dari tiga angkatan: angkatan tahun belasan, angkatan 1920-an, dan angkatan ’45.
Mereka memotori kemajuan di negeri kita dengan terlibat
bersaman perjuangan rakyat, membentuk organisasi rakyat dan mengorganisasikan
perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Apa yang menyebabkan mereka bisa
melakukannya? Karena mereka merasa bukanlah pemuda(i) di jamannya yang
elitis—merasa istimewa hanya karena mempunyai pendidikan atau kedudukan sosial
yang tinggi—di tengah rakyat yang saat itu sekitar 90% buta huruf alias tidak
berpendidikan[8]. Namun, semua budaya kerakyatan yang
dibangun oleh pemuda(i) itu hilang seketika saat peristiwa ’65-66 terjadi.
Ada hal yang menarik disini, yakni, ‘Pram sendiri tidak
mau mengomentari tentang angkatan ’66. “Tak ada sesuatu yang perlu dinilai”,
katanya saat berpidato[9] cerita
mengenai angkatan-angkatan kaum muda dari masa ke masa.
Bila kita melihat sejarah berdirinya Orde Baru yang
militeristik—angkatan ’66 sangat mempunyai andil besar dalam melegitimasi
berdirinya kekuasaan Suharto—karena merekalah yang terlibat mengorganisasi
aksi-aksi demonstrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) menuntut
Sukarno turun dan menimbulkan malapetaka dengan berdirinya kediktatoran
militer. Maka benar bila ada pendapat yang menganggap bahwa Angkatan ’66
bertanggung jawab (langsung atau tak langsung) atas kejadian pembantaian tiga
juta manusia Indonesia yang dituduh komunis dan para pendukung Sukarno, selain
yang dijebloskan ke dalam penjara dan pembuangan di Pulau Buru.
Angkatan ’66 jugalah yang mewarisi budaya elitisme,
korup, pengejar karir, dan terlalu mengistimewakan mahasiswa pada masanya.
Seperti yang pernah dituturkan oleh Saut Sitomorang[10]: “… merasa diri terpelajar, betul terpelajar… jadi
berlagak seolah-olah kalau dia orang terpelajar, sudah cukup itu.
Terpelajar buat dirinya (sendiri), dapat kedudukan yang baik (dalam
masyarakat). (Seolah-olah) sudah menjalankan tugasnya. Tidak ada tugas
politik (untuk terlibat bersama rakyat) dalam keadaan mana (rakyat padahal
ingin belajar bersama mereka).”
Soe Hok Gie, sebagai salah satu pemimpin angkatan ’66,
yang terkenal dengan gagasan-gagasannya mengenai idealisme[11] mahasiswa
masih berpengaruh memberikan pengertian yang keliru tentang
‘politik’—berpendapat bahwa gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi gerakan
politik pengambil kekuasaan. Dan hal ini masih berdampak hingga sekarang pada
generasi kita, yang melihat gerakan sekadar menjadi gerakan moral (moral force)
semata—melakukan aksi sekadar mengkritisi—bukan karena ada yang perlu diubah
dari sistem kapitalistik yang ada, tetapi hanya pada persoalan moral semata
atau “panggilan hati nurani”; kita seolah-olah menjadi pahlawan dalam dongeng:
datang ketika dibutuhkan oleh rakyat dan setelah masalah rakyat “selesai”, kita
kembali ke tempat asal (kampus) kita, belajar, dan tidak usah berurusan dengan
kekuasaan (politik) lagi, biarkan sektor-sektor lain di luar mahasiswa yang
mengurusi kekuasaan.
Politik di mata ‘Gie (nickname dari Soe Hok Gie)
adalah seolah-olah hanya sesuatu yang “kotor”, sesuatu yang negatif belaka:
“Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang
kotor. Tapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka
terjunlah.”
Generasi kita sekarang mendengar kata “politik” saja
menganggapnya sebagai sesuatu yang jahat, penuh manipulasi, intrik, dsb. Tentu
hal ini bukan kesalahan semata dari Soe Hok Gie, tetapi juga akibat dari
perilaku-perilaku dari elit-elit/partai politik yang menunjukkan kebobrokkannya
dengan korupsi, kolusi dan nepotisme sejak dulu (terutama di masa rezim Orba
berkuasa selama 32 tahun) hingga sekarang. Disini pendapat Soe Hok Gie sarat
dengan pengistimewaaan mahasiswa—seolah mahasiswa itu “suci”—kerjaannya hanya
belajar dan tidak boleh ikut-ikut organisasi politik di jamannya.
Tetapi Gie pulalah salah satu orang yang menyadari kekeliruannya
dalam membantu kekuasaan Orba berdiri, karena secara tidak langsung telah
membuat pembunuhan massal dalam hitungan bulan terjadi dimana-mana[12].
Ia juga mengkritik kawan-nya yang dulunya sama-sama berjuang, malah bergembira
masuk ke pintu-pintu birokrasi dan (terutama) Golkar untuk mengejar karir,
menerima hibah kekuasaan dari Suharto[13].
Mari Memperbaiki
Kekeliruan-kekeliruan Kita dan Membangun Politik Alternatif
Tak ada cara yang paling ampuh untuk memperbaiki
kekeliruan ini kecuali menerima dengan rendah hati bahwa menjadi
mahasiswa bukan berarti “tahu segalanya” dan punya jabatan itu bukan berarti
bisa sesuka hati. Nyoto—salah satu orang yang paling dibenci oleh kekuasaan
Orba pernah bilang “orang bisa saja mengetahui banyak hal, tetapi tidak mungkin
mengetahui segalanya.” Menjadi mahasiswa memang suatu “keistimewaan”, karena
dengan menjadi mahasiswa kesempatan kita untuk belajar itu lebih banyak
ketimbang elemen-elemen atau kelas sosial lain, seperti kelas buruh dan kaum
tani.
Tetapi, justru “keistimewaan” itulah, kita harusnya lebih
bisa care dan mau bersatu dengan mereka-mereka yang minim waktu luang
untuk belajar. Kita punya tanggung jawab moral dan pikiran terhadap kelas buruh
dan kaum tani. Termasuk terhadap kawan-kawan pelajar—sebagai sesama kaum
intelektual—untuk kita lebih saling merangkul, berbagi pikiran dan pengalaman
perjuangan bersama.
Menghilangkan sikap elitis dan hal lain yang menghambat
persatuan di antara kita, tak bisa memang hanya dibangun dengan dekrit atau pernyataan
saja. Tetapi hal itu mesti dibangun dengan melakukan aksi-aksi bersama, diskusi
bersama, baik di antara kita sebagai sesama mahasiswa maupun dengan sektor
rakyat lainnya dengan lebih intens. Agar terbangun suatu kesadaran bersama,
bahwa kita mempunyai nasib yang sama sebagai kaum yang tertindas oleh
pemerintahan kapitalis-neoliberal Jokowi. Dengan lebih sering melakukan
kerja-kerja bersama, sikap elitis bisa perlahan dapat diminimalisir atau bahkan
menghilang. Hanya dengan begitulah ekslusifitas mahasiswa bisa terkikis.
Kita harus mampu melepaskan diri dan melawan budaya Orba
yang diwariskan oleh angkatan ’66 yang korup, elitis, ingin populer semata,
eklusif mengejar karir, dsb. Karena itulah salah satu hal yang menghambat
perjuangan kita saat ini. Jangan biakan oportunisme merajalela. Bila generasi
kita masih kental dengan hal-hal demikian, maka kita hanya akan mencetak
Budiman Sudjatmiko atau Andi Arif-Andi Arif yang baru. Terlebih,
tuntutan-tuntutan mendesak rakyat hingga hari ini belum dipenuhi oleh rezim
Jokowi, saatnya berbenah demi kebaikan perjuangan!
Di tengah situasi politik pemerintahan Jokowi yang
semakin menyatu dengan kelompok oposisinya saat pilpres sebelumnya, kita semua
membutuhkan persatuan demokratik di antara seluruh gerakan rakyat untuk
memenangkan tuntutan-tuntutan yang ada. Jokowi tanpa malu-malu merangkul
Prabowo sebagai Menteri Pertahanan (Menhan)-nya. Hal ini sebetulnya bukan baru
kali ini terjadi, karena memang tak ada perseteruan serius di antara mereka.
Tetapi rakyatlah yang menjadi korban tipu muslihat pada saat pemilu di antara
dua kekuatan para elit-elit/partai politik borjuis yang ada sekarang. Rakyat
sebenarnya sangat membutuhkan politik/partai alternatif di antara kedua kubu
yang sebelumnya bertarung dan pada akhirnya berakhir dengan bagi-bagi kue
kekuasaan. Bagi para elit-elit/partai borjuis, perseteruan diantara mereka itu
relatif, sedangkan membuat regulasi yang anti-rakyat miskin itu keharusan bagi
mereka untuk saling dukung.
Kita tak bisa lagi menganggap bahwa mahasiswa cukup
sebatas mengkritisi dan tidak mengambil kekuasaan politik (seperti Soe Hok Gie
maksud). Adalah suatu keharusan sejarah bagi kita semua untuk membangun alat
politik/partai alternatif, untuk merebut kekuasaan politik rakyat dan membangun
bangsa Indonesia yang demokratis. Karena hanya dengan mengambil kekuasaan
politik dari para elit/partai politik borjuis saat inilah, sistem
kapitalis-neoliberal rezim Jokowi dan sisa-sisa Orba yang masih bergentayangan
dalam pemerintahan Jokowi bisa dikalahkan.
Catatan:
[1] https://m.liputan.com/bisnis/read/4050253/sri-mulyani-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-2019-hanya-208-persen
[2] https://m.cnnindonesia.com/nasional/20190714210826-32-412032/jokowi-soal-penghambat-investasi-saya-akan-kejar-dan-hajar?
[3] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/26/11492101/panggil-menristekdikti-jokowi-minta-mahasiswa-tak-turun-ke-jalan
[4] https://m.cnnindonesia.com/nasional/2019/0930132603-20-4353/menristekdikti-panggil-130-rektor-minta-mahasiwa-tak-demo
[5] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/28/2320/4521/mendikbud-edarkan-surat-pencegahan-peserta-didik-ikut-aksi-unjukrasa?page=all
[6] https://tirto.id/di-balik-gembosnya-aksi-reformasi-dikorupsi-30-september-ei2y
[7] https://youtu.be/j5GkMZIdhCU
[8] https://tirto.id/sekolah-sekolah-di-zaman-belanda-bXbV
[9] https://nalarpolitik.com/pramoedya-ananta-toer-tentang-angkatan-muda/
[10] Saut Situmorang merupakan
mantan ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), suatu organisasi kebudayaan
yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia. Ia seorang loyalis Sukarno yang
membela Sukarno hingga akhir hayatnya. Pernah dipenjara 8 tahun oleh Orde Baru.
[11] Idealisme yang dimaksud
merupakan pengertian pasaran-masyarakat awam, yaitu hidup atau berusaha hidup
menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap ideal, berprinsip dan
sempurna. Bukan dalam pengertian yang lebih tinggi, yakni dari sudut pandang
ilmu filsafat.
[12] https://www.qureta.com/post/soe-hok-gie-di-antara-pergulatan-moral-dan-politik#
[13] ibid
0 komentar:
Posting Komentar