Callistasia Wijaya - 21 November 2019
Kerusuhan Mei 1998 termasuk dalam dugaan pelanggaran HAM berat yang
masih mengganjal. AFP
Sejumlah keluarga
korban pelanggaran HAM mendukung wacana rekonsiliasi yang dicanangkan
pemerintah untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas peristiwa yang terjadi.
Sudah lebih dari 20 tahun Ruminah mencari jawaban atas
hilangnya puteranya, Gunawan Subyanto, dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, di
Klender, Jakarta Timur.
Sejumlah instansi pemerintah, dari Kodam Jaya,
kepolisian, hingga Kejaksaan Agung, sudah didatagi Ruminah untuk meminta
keadilan untuk puteranya.'
Ia pun kerap hadir di berbagai kegiatan HAM, seperti
Kamisan, tapi upayanya belum berhasil.
"Kita kan juga pengin tahu masa kita lahirin anak, ngegedein, (terus) hilang begitu aja... Ini kan urusan pemerintah, urusan negara," ujar Ruminah.
Kini, harapan Ruminah kembali timbul bersama dengan
wacana pemerintah membangkitkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Melalui rekonsiliasi, Ruminah berharap dapat berhadapan
langsung dengan pemerintah dan mengutarakan apa yang dia rasakan.
"Selama ini kan kami nggak pernah ditemuin siapa-siapa. Kita mau ngomong sama siapa, coba? Saya akan lega (kalau bisa berbicara dengan pemerintah) dan (dicari) solusinya bagaimana," ujarnya.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) Mahfud MD, mengatakan pemerintah sedang mengupayakan
menghidupkan kembali penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur
nonyudisial.
Salah-satu caranya, menurut Mahfud, adalah memperbaiki
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang tidak berlaku
setelah dimentahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 silam.
Inginkan pengakuan pemerintah
Ruminah mengatakan ia dan beberapa keluarga korban 98
mendukung rekonsiliasi karena pesimistis dengan penyelesaian pelanggaran HAM
secara peradilan.
Ia mengatakan para keluarga korban sudah semakin tua dan
sakit-sakitan, dan mereka butuh kejelasan atas apa yang terjadi.
"Pengen nunggu sebenarnya bagaimana sih, maunya pemerintah bagaimana? Kalau pengadilan saya rasa susah, lama," ujarnya.
Melalui rekonsiliasi, Ruminah mengatakan ia ingin
mendengar pengakuan pemerintah bahwa peristiwa 98 sudah banyak memakan korban.
Pemberian kompensasi, menurut Ruminah, juga penting
karena peristiwa 98 membuat membuat banyak korban kehilangan harta benda mereka.
Ruminah sendiri sebelumnya memiliki salon di Plaza Yogya
di Klender yang terbakar dalam peristiwa itu.
"Rekonsiliasi sebenarnya bagus juga, tapi (harus) berpihak korban. Jangan setengah jalan, nanti korbannya dimentahin lagi," katanya.
Bagaimana konsep
rekonsiliasi?
Di Indonesia, undang-undang khusus tentang KKR, yaitu UU
No 27/2004 dibatalkan oleh MK tahun 2006.
MK membatalkan UU itu karena terdapat pasal mengenai
amnesti bagi para pelaku pelanggaran HAM, sebagaimana dijelaskan mantan Ketua
Komnas HAM Ifdhal Kasim.
Ifdhal menambahkan tak lama setelah UU KKR dicabut,
pemerintah sudah membuat RUU KKR yang baru, namun pembahasannya masih mandek.
Monumen peringatan BBC INDONESIA
Ia pernah mengikuti pembahasan RUU saat menjabat sebagai
Ketua Komnas HAM.
Perbedaan RUU KKR dengan peraturan yang dicabut, ujar
Ifdhal, adalah pasal mengenai amnesti bagi para pelaku pelanggaran HAM.
"Konsep yang dibuat oleh RUU yang baru itu lebih pada point pengungkapan kebenaran, revealing the truth, dan dari situ ada rekonsiliasi," ujarnya.
"Disertai pemberian reparasi dan rehabilitasi, kompensasi, dan sebagainya. Nggak ada lagi amnesti."
Ia mengatakan dalam rekonsiliasi ada pengakuan atau recognition dari
negara atas peristiwa yang terjadi.
Peristiwa G30S/PKI dan kekerasan yang menyusul masih menjadi perdebatan
di kalangan warga Indonesia. GETTY IMAGES
Lebih lanjut, ia menjelaskan, rekonsiliasi tidak
menihilkan proses peradilan, karena kedua mekanisme itu saling terkait dan
menguatkan.
Meski begitu, hingga kini pemerintah belum memberi
kepastian tentang mekanisme rekonsiliasi seperti apa yang akan ditempuh.
Rekonsiliasi Afrika
Selatan
Secara
historis, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pertama kali dipraktikkan di
Argentina dan Uganda pada 1980an, sebagai mekanisme yang dibentuk pada era
transisi politik dari rezim otoriter ke rezim demokratis.
Salah satu negara yang dianggap sukses melaksanaan KKR
adalah Afrika Selatan yang menangani pelanggaran HAM terkait Apartheid.
Pembedaan berdasarkan warna kulit itu terjadi di Afrika
Selatan sejak tahun 1960 hingga 1994.
Komisi itu bertugas menginvestigasi pelanggaran
HAM yang terjadi, merestorasi martabat korban, hingga memberi amnesti pada
pelaku pelanggaran HAM yang memenuhi persyaratan.
Proses rekonsiliasi, yang dianggap sebagai warisan mantan
presiden Afrika Selatan Nelson Mandela, itu ditampilkan langsung di televisi.
Meski terdapat sejumlah kekurangan, rekonsiliasi itu
dipuji secara internasional.
Penolakan sejumlah
keluarga korban
Meski begitu, sejumlah korban pelanggaran HAM tidak
sepakat dengan konsep rekonsiliasi.
Salah satunya, Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar
Siahaan, aktivis yang hilang dalam peristiwa 1998.
"Sekarang apa yang direkonsiliasi kalau pencarian belum dilakukan?" ujar Paian.
Pencarian korban hilang, kata Paian, adalah rekomendasi
DPR yang sampai sekarang belum dilakukan pemerintah.
Orang-orang menyebut dirinya keluarga
korban konflik Aceh menuntut agar pemerintah mengusut tuntas dugaan pelanggaran
HAM di masa lalu dalam unjuk rasa di Banda Aceh, 10 Desember 2006. AFP
Hal yang sama diungkapkan Sumarsih, ibu Bernardinus
Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan Tragedi Semanggi I pada
11-13 November 1998.
"Bagi kami keluarga korban, tuntutannya adalah negara membentuk pengadilan HAM ad-hoc untuk menjangkau para komandan pemberi perintah kepada prajurit di lapangan yang melakukan penembakan itu."
Sejauh ini, penyelesaian secara peradilan mandek, karena
Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas pelanggaran HAM yang disusun Komnas
HAM dengan dalih kurangnya bukti.
Maka itu, Menkopolhukam Mahfud MD merekomendasikan
penyelesaian nonyudisial.
"Karena korban, pelaku, dan bukti sudah tidak ada. Kan selalu begitu Kejaksaan Agung mengembalikan (berkas), tapi bukan perbaikan yang diberikan (Komnas HAM), (tapi) tanggapan," ujar Mahfud.
"Saya pikir Komnas HAM cukup dewasa untuk tahu, kalau memang bisa ayo, saya yang bawa ke pengadilan," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar