Oleh: Andre Barahamin -
7 November 2019
Beberapa orang, bercerita tentang masa-masa kritis di
awal Oktober 1965. Mengisahkan teror yang berlangsung di jazirah utara Sulawesi.
MAHADI SIMBALA baru saja menamatkan sekolahnya dan
merupakan anggota pimpinan tingkat kabupaten Bolaang Mongondow ormas Pemuda
Rakyat (PR) ketika penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) dimulai. Kini,
Bolaang Mongondow telah mekar menjadi empat kabupaten dan satu kota
administratif.
Ia tak langsung tertangkap ketika gerakan pembersihan
mulai dilakukan tentara dan massa sipil lainnya. Baru beberapa kawannya yang
sudah lebih dahulu berhasil ditahan. Antara lain Moharam Tarun Jaya dan Butot
Manoppo yang merupakan figur pimpinan wilayah Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI). Keduanya sempat lari dan bersembunyi di wilayah Dumagin yang
kini adalah ibukota kecamatan Pinolosian Timur, Bolaang Mongondow Selatan.
Jaya kemudian tertangkap di Dumagin. Manoppo masih sempat
melarikan diri ke Sulawesi Tengah sebelum akhirnya juga tertangkap di Poso.
Seingat Simbala, banyak dari anggota Barisan Tani
Indonesia (BTI) yang bersembunyi di daerah perkebunan di Tobangon. Kini daerah
tersebut termasuk kecamatan Modayag Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur.
Meski begitu, banyak dari mereka yang akhirnya tetap tertangkap setelah
bertahan beberapa hari tanpa persiapan pangan.
Simbala sendiri ditangkap di rumahnya pada tanggal 28
Oktober 1965. Rumahnya dikepung oleh gabungan massa. Ia mengaku tak ingat lagi
dari ormas-ormas apa.
“Terlalu banyak. Ramai sekali. Mereka teriak-teriak. Beberapa mengancam mau membunuh saya.”
Tapi Simbala ingat persis wajah anggota Komando Distrik
Militer (KODIM) dan polisi yang akhirnya menggiringnya keluar rumah untuk
selanjutnya dibawa ke Modayag dan dikumpulkan bersama tahanan-tahanan lain yang
sudah lebih dahulu tertangkap.
Simbala tak bisa mengelak keterkaitannya dengan PKI
karena ia sering sekali terlihat memimpin rapat dan pertemuan terbuka yang
dilaksanakan oleh PKI ataupun Pemuda Rakyat di mana ia berkecimpung. Belum lagi
tumpukan berkas yang disita dari dalam rumahnya. Semuanya menjadi alat bukti
yang tak terbantahkan lagi.
“Ada kliping koran, surat-surat dengan kop organisasi.
Ada juga pamflet-pamflet organisasi. Semua disita,” kenang Simbala.
Boleh dibilang, Simbala agak terlambat ditangkap.
Mengingat pecahnya kejadian soal penculikan Dewan Jenderal terjadi lebih dari
tiga minggu sebelumnya. Memang sudah pernah meski selintas Simbala mendengar
kabar itu dari pembicaraan banyak orang. Maklum saja, ini peristiwa yang menyita
perhatian banyak orang mengingat yang terjadi menyangkut nyawa dan keamanan
Soekarno, presiden Indonesia saat itu.
Setelah ditangkap, Simbala kemudian digiring ke
Poliklinik Modayag. Tempat di mana akhirnya ia dipertemukan dengan Alun
Datunsolang dan Kasim Sahate, dua pucuk pimpinan PKI wilayah Bolaang Mongondow.
“Perasaan saya bercampur saat itu. Senang karena tahu
mereka berdua masih hidup, namun sedih karena mereka berdua juga ikut
tertangkap,” kata Simbala.
Bertiga mereka dibawa ke Kodim Kotamobagu untuk kemudian
selanjutnya dijebloskan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kotamobagu.
Keesokan hari, Simbala di bawa ke Manado dan ditahan di KOTI B. Disinilah awal
mula penyiksaan fisik dan mental harus dihadapi Simbala. Tak hanya tinju dan
tendangan serta hantaman benda tumpul. Simbala juga harus menahan perih
disetrum berkali-kali selama proses interogasi.
“Saya disetrum. Itu jatah tiap interogasi. Belum lagi kena tempeleng. Lambat jawab, kena pukul. Pokoknya, tidak bisa menghindar.” Simbala menuturkan ingatan itu dengan nada yang terdengar sinis.
“Kalau dipukul pakai tangan itu masih beruntung. Kadang bisa dipukul pake kayu atau buku atau apapun yang ada di sekitar tangan tukang interogasi.”
Dalam penahanan ini, Simbala sempat bertemu dengan 51
orang temannya yang dikemudian hari diketahui tewas dieksekusi sepihak oleh
pihak militer. Mereka memang tidak dieksekusi sekaligus melainkan terbagi ke
dalam dua rombongan besar.
Rombongan pertama berjumlah 47 orang yang setahunya
dieksekusi di kantor Resimen Induk Daerah Militer (RINDAM) Tomohon. Kemudian
masih menyusul empat orang lain. Untuk keempat orang ini, Simbala tak tahu di
mana mereka dieksekusi.
Ingatan Simbala masih kuat mengeja delapan nama dari 51
orang tersebut.
“Butje Sumeru, Butot Manoppo, Gais Monoarfa, Jhoni Mamentu, W. I. Pesak, Yohan Anso, Jamal Tana dan Oktavianus Onibala,” eja Simbala.
Setelahnya, ia tertegun mengingat bahwa dirinya termasuk
beruntung bisa bertahan hidup hingga sekarang. Simbala sendiri harus melewatkan
12 tahun dalam penjara tanpa melalui proses pengadilan.
“Dua belas tahun dipenjara itu terasa tidak sebanding dengan kawan-kawan yang langsung dibunuh. Orang-orang hebat yang tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk membela diri dan mendapatkan keadilan,” kata Simbala.
Tanggal 31 Desember 1965 bersama tahanan yang lain,
Simbala dipindahkan dari Koti B ke LP Manado. Ini bukan akhir dari masa
penyiksaan. Menurut penuturan Simbala, hingga tahun 1973 ia masih sering mendapatkan
pukulan, tendangan bahkan sesekali disetrum atas alasan apapun.
“Tak soal benar atau salah. Menjadi tahanan politik karena terkait PKI sudah cukup menjadi alasan kuat bagi petugas LP atau sesekali militer yang datang mengunjungi,” kenang Simbala.
Mereka kemudian
akan memukuli tahanan meski sebagian besar tak pernah jelas untuk alasan apa..
Tak tahan dengan penyiksaan yang berlarut-larut, membuat
Simbala nekat untuk melarikan diri.
Namun sayang, ia tertangkap kembali oleh Corps Polisi
Militer (CPM). Akibat hal ini, Simbala sempat masuk daftar orang-orang yang
akan digantung. Beruntung ia luput dan hanya menjalani hukuman kurung dalam sel
isolasi selama seminggu dengan hanya menggunakan celana dalam saja. Selama masa
isolasi ini, Simbala harus menahan lapar dan dosis penyiksaan fisik yang
bertambah sering.
“Pas ditangkap ulang, saya makin sering jadi sasaran penyiksaan. Mereka mungkin sakit hati karena saya pernah coba kabur. Jadi, mereka balas dendam,” Simba mengenang dengan getir.
“Saya sering tidak diberi makan. Dibiarkan lapar.”
Tahun 1973, Simbala dipindahkan ke Kamp Pengasingan
(Kamsing) Ranomuut, yang hari ini terletak di kecamatan Tikala hingga akhirnya
menghirup udara kebebasan di tahun 1977. Selama di Kamsing Ranomuut, Mahadi dan
tahanan lain diberikan keterampilan membuat kerajinan rumah tangga seperti
kompor, perabotan dan mainan anak-anak. Dari hasil penjualan hasil kerajinan
tangan ini, Mahadi bisa mendapatkan sedikit uang dari sisa potongan dari pihak
Kamsing.
Uang yang dikumpulkan secara perlahan dan penuh kesabaran
akhirnya digunakan untuk keperluan operasi usus buntu di rumah sakit Manado
pada tahun 1975.
Tahun 1977 di depan gubernur Sulawesi Utara H. V. Worang
dan Pangkobkantib Edi Sugardo, Simbala dipercayakan untuk membacakan surat keputusan
pembebasan tahanan politik se Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Namun selepas
dari penjara, Simbala masih menjalani wajib lapor di kantor KORAMIL setempat
hingga tahun 1984.
“Iya, saya baca surat pembebasan. Tapi cuma bebas dari penjara. Keluar penjara tetap wajib lapor tiap hari di Koramil. Tidak bisa tidak.”
KETIKA SUASANA di Manado memanas sejak pembakaran
kantor Comite Daerah Besar (SDB) PKI Sulutteng pada 3 Oktober 1965, Agus
Kawulusan masih saja tenang mengajar di SD Negeri Molompar.
“Kan lumayan jauh. Jadi waktu itu di Molompar, kondisi masih tenang,” kenang Kawulusan.
Saat itu tak ada terlintas pemikiran bahwa akan ada
sesuatu yang buruk menimpanya. Setiap pagi seperti biasa saat sarapan ditemani
almarhum istrinya, Merry Ratuwalangon, Kawulusan berangkat mengajar dengan doa
sebagai alas kaki ketika melangkah. Kecintaan terhadap profesi sebagai guru
terpatri di hati dan kepalanya.
Maklum saja, pria kelahiran Molompar 27 Agustus 1940 ini
saat itu menjabat sebagai kepala sekolah sementara.
“Penetapan Kepala Sekolah tetap masih harus menunggu dari Pusat. Kalau waktu itu tidak ada kasus 1965, mungkin awal tahun 1966 kami sudah punya Kepala Sekolah baru,” kata Kawulusan.
Lagipula sebagai anak kampung yang cukup sukses,
Kawulusan harus bisa mendidik lebih banyak lagi anak-anak kampung Molompar agar
mau berusaha sukses. Ia sendiri sudah mengajar sejak tahun 1959.
“Saya memang cita-cita jadi guru. Makanya pergi sekolah di Tombatu,” kenangnya.
Semenjak lulus dari Sekolah Guru B (SGB) di Tombatu,
Kawulusan sudah merajut asa untuk mendedikasikan diri sepenuhnya dalam dunia
pendidikan. Itu sebabnya, lelaki ini selalu bangun subuh untuk mempersiapkan
diri ke sekolah. Tak boleh terlambat, tak boleh absen. Ia adalah tauladan bagi
murid dan rekan kerja guru yang lain. Kawulusan mengerti itu dengan baik.
“Biar orang semangat, kita harus jadi contoh.”
Setiap selesai mengajar, Kawulusan segera berangkat ke
ladang. Bekerja sebagai petani bukan hal yang baru buatnya. Ini adalah tradisi
turun temurun dari nenek moyangnya. Mayoritas penduduk di desa Kawulusan
bekerja petani. Almarhum orang tuanya juga bekerja sebagai petani. Meski punya
pekerjaan utama, tak ada yang meninggalkan ladang. Bertani juga seperti
olahraga buat otot-otot agar tak kaku.
“Seingat saya, daulu ada banyak kelompok tani di kampung,” kata Kawulusan.
Hal ini tak lepas dari budaya Mapalus yang mereka punya
sebagai orang Minahasa. Mapalus adalah metode kerja kolektif di mana tiap
petani mendapatkan bantuan tenaga dari petani lain untuk menggarap lahannya.
Sebagai gantinya, mereka harus melakukan hal yang sama ketika ada ajakan
Mapalus dari petani lain.
“Prinsip Mapalus itu cocok sekali dengan tujuan pertanian kolektif yang dibilang-bilang oleh BTI,” jelas Kawulusan.
Namun tanggal 16 Oktober 1965, kira-kira jam sembilan
malam semuanya berubah.
Malam itu, Kawulusan kedatangan tiga orang tamu. Hukum
Tua atau Kepala Desa bapak Loho Ratuwalangon, seorang komandan polisi dan
seorang lagi adalah komandan BUTEPRA Kecamatan Tombatu. Tamu yang ini datang
bukan untuk berbagi kisah lama atau melepas rindu karena lama tak bersua.
Mereka datang
dengan sebuah tuduhan yang sampai hari ini tak dimengerti Kawulusan, mengapa
dialamatkan padanya. Terlibat PKI.
“Saya tentu saja bingung. Saya dianggap terlibat pemberontakan PKI yang pecah di Jakarta. Padahal saya ini cuma guru di Molompar, belum pernah ke Jakarta. Tidak masuk akal,” kata Kawulusan.
Malam itu juga Kawulusan segera digiring ke kantor polisi
untuk menjalani interogasi.
Dengan masih dipayungi kebingungan, ia berusaha mencari
tahu sebab kenapa ia ditangkap. Penjelasan singkat yang sungguh tak memuaskan.
Telah terjadi sebuah peristiwa besar dan Kawulusan terlibat. Tak ada titik
terang soal apa peristiwa itu, di mana, lalu apa benang kait sehingga ia
menjadi tersangka? Semuanya hitam dan gelap.
Kusut seperti pikiran Kawulusan yang mencari jalan pulang
ke rumah. Ingatannya terus memainkan potret anak perempuannya yang baru berumur
lima bulan. Juga si lincah Robby yang berumur tiga tahun. Bocah lelaki yang
mungkin akan kebingungan mencari di mana ayahnya ketika bangun pagi.
“Saat ditangkap, saya cuma memikirkan nasib istri dan anak-anak saya. Anak bungsu saya, yang perempuan, masih berumur lima bulan. Sementara kakaknya masih lima tahun. Saya waktu itu panik,” Kawulusan mengingat malam ketika ia tertangkap.
Keesokan paginya, bersama dengan tahanan-tahanan yang
lain Kawulusan dipindahkan ke kantor KORAMIL di desa Tombatu yang adalah
ibukota kecamatan Tombatu saat itu. Tiga hari penuh dengan interogasi dengan
penyiksaan fisik harus dijalani oleh Kawulusan selama di sini. Kantor ini
adalah markas besar BUTEPRA untuk kecamatan Tombatu.
Selama penyekapan dengan makan tidak teratur, Kawulusan
terus menerus ditanyai mengenai keterlibatannya dengan peristiwa yang terjadi
di Jakarta. Merasa tidak terlibat, ia menjawab sejujurnya. Namun hal itu justru
makin mendorong para interigatornya untuk makin bersemangat melayangkan tinju
dan tendangan ke sudut-sudut tubuh.
“Saya ditanya apakah tahu tentang pembunuhan jendral dan upaya kudeta di Jakarta. Ya, saya jawab tidak tahu. Tapi itu justru bikin mereka makin marah. Saya kena pukul tiap kali jawab tidak tahu,” kenang Kawulusan.
Tanggal 20 Oktober 1965 dengan tangan yang diborgol,
Kawulusan dipindahkan ke penjara di Tondano bersama dengan tahanan-tahanan yang
lain.
Namun bukan berarti pemeriksaan telah selesai. Mereka
masih harus menjalani pemeriksaan di kantor KODIM. Interogasi yang berlangsung
tentu saja mempunyai daftar tanya yang hampir sama dengan interogasi yang sudah
dialami Kawulusan di kantor KORAMlL. Yang juga tak berubah adalah siksaan fisik
yang terus saja mendera tubuhnya.
Ia tak bisa melupakan bahwa sering ia dicambuk dengan
karet bekas ban mobil bagian luar.
“Mereka bikin cambuk dari karet bekas ban mobil. Itu perih sekali kalau kena di badan. Apalagi, kami yang laki-laki dinterogasi tanpa kaos, hanya pakai celana dalam,” kata Kawulusan.
Selain rasa perih, rasa bingung juga masih terus
menyergap pikirannya. Kawulusan tak mengerti apa yang salah dengan dirinya
sehingga terus disiksa. Dua minggu harus dilewati Kawulusan dengan tabah.
“Pokoknya, cuma berdoa saja. Saya sudah pasrah. Kalau mati, ya berarti sudah jalan Tuhan.”
Pada tanggal 4 November 1965, dengan tangan yang harus
diikat Kawulusan dipindahkan ke kantor RINDAM XIII Merdeka yang saat itu
terletak di Kakaskasen, Tomohon.
Satu bulan dihabiskan sebagai tahanan di tempat ini. Yang
tidak bisa Kawulusan lupa adalah bagaimana ia hanya makan sekali dalam sehari
dengan menu yang tak layak dan tak sehat. Namun ia bersyukur karena selama di
sini, ia tak pernah menjalani interogasi. Ini berarti tak akan lagi berhadapan
dengan siksaan fisik seperti sebelumnya.
“Saya tiap pagi dan malam itu berdoa. Mengucap syukur. Tidak lagi disiksa,” Kawulusan mengenang dengan tersenyum. “Soal makanan, itu tidak penting. Yang penting bisa makan, biar macam makanan untuk hewan ternak.”
Kawulusan juga berharap keluarganya baik-baik saja dan
tidak mengalami hal yang buruk.
“Itu yang selalu hadir di doa saya. Tidak pernah lupa. Semoga anak-anak dan istri baik-baik saja di kampung,” jelas Kawulusan.
Lalu datang seorang bernama Letnan Sangit sebulan
kemudian. Pria ini yang kemudian membawa Kawulusan pindah tahanan ke Manado
tepatnya di KOTI B.
Di tempat baru ini, Kawulusan kembali diharuskan
menjalani interogasi. Tentu saja tak lupa siksaan fisik. Menjawab ya atau tidak
adalah sama bagi interogator untuk kemudian segera mendaratkan tamparan, tinju
atau tendangan.
“Saya bahkan pernah disetrum berkali-kali hingga pingsan,” kenang Kawulusan.
Kadang Kawulusan juga disuruh berlari di tempat hingga
lelah benar-benar menghancurkan otot-ototnya. Karena kelelahan dan siksaan
fisik yang terus menerus, Kawulusan pernah mengalami pendarahan dari hidung.
Tapi hal itu tak sedikitpun mengurangi dosis siksaan fisik yang dialami.
“Oh, mereka tidak peduli kamu sakit atau sehat. Pokoknya, kena hantam terus,” ingat Kawulusan. “Lebih sering kena siksa daripada makan.”
Lalu setelah berkali-kali mengalami kerasnya siksaan di
Manado, Kawulusan dibawa ke desa Sukur, Airmadidi untuk dipindahkan ke sebuah
gudang kopra bekas di daerah itu. Di gudang tersebut telah ada banyak tahanan
yang sudah lebih dahulu ditahan. Laki-laki dan perempuan yang jumlahnya lebih
dari 100 orang.
“Saya sampai sekarang bingung kenapa kami dipindah ke Airmadidi. Dua minggu cuma ditahan begitu. Macam disuruh menunggu,” kata Kawulusan.Masih terus mengganjal dalam benaknya mengapa mereka disekap di gudang kopra tersebut.
Setelahnya, datang sebuah truk yang kembali mengangkut
Kawulusan dengan beberapa tahanan lain untuk dibawa dan menjalani pemeriksaan
di kantor POM sebelum akhirnya di di penjara KOTI B Manado.
Interogasi ini seperti akan menjadi yang terakhir karena
hingga beberapa tahun kemudian, Kawulusan tak pernah lagi dipanggil untuk
diinterogasi.
Ia terus saja menjalani masa penahanan tanpa pernah
melewati proses persidangan untuk membuktikan apakah ia bersalah atau tidak.
Sebagai seorang warga negara yang baik dan abdi negara yang setia, Kawulusan
tiba-tiba saja harus membiarkan dirinya dipasung dalam penjara tanpa proses
yang adil.
Selama dalam penjara, Kawulusan harus mengalami bagaimana
keringatnya diperah tanpa imbalan sepeser pun.
“Harus kerja. Karena kami dianggap sebagai orang-orang yang bertujuan jahat kepada Indonesia, maka kami tidak dibayar,” kenang Kawulusan.
Menjalani kerja paksa karena ia adalah seorang tahanan
kasus politik. Sebuah tuduhan yang tak jelas pangkal ujungnya hingga bisa
dituduhkan padanya. Hingga kini setelah bebas, Kawulusan masih tak mengerti
titik kesalahannya.
“Saya dituduh terlibat makar dan upaya kudeta kekuasaan,” kata Kawulusan.Tuduhan terlibat sebagai intrik politik tingkat tinggi, meski bagi Kawulusan menjadi seorang guru di kampung sendiri sudah lebih dari cukup sebagai sebuah berkat dari Tuhan.
Ada banyak bangunan yang merasakan sentuhan Kawulusan
ketika harus menjalani kerja paksa.
“Asrama DODIK yang ada di Wangurer, Bitung itu misalnya,” kenang Kawulusan dengan bangga.Kantor KODIM Manado juga pernah direhabnya bersama dengan teman-teman tahanan yang lain. Juga ada berbagai rumah para perwira tentara yang harus mereka kerjakan.
“Kami juga pernah dapat tugas untuk rehab rumah pejabat militer. Salah satunya adalah rumah Mayor CPM Datu yang kala itu adalah anggota Tim Pemeriksa daerah Sulutteng.
Tahun 1971, Kawulusan harus berpindah tempat tahanan lagi
ke Kamp Pengasingan di Ranomuut, Manado. Baru beberapa bulan di sini, ia sempat
dipanggil tim POM Den untuk kembali menjalani pemeriksaan atas apa yang
dituduhkan padanya.
“Cuma dipanggil menghadap dan pura-pura diperiksa. Padahal, mereka sudah punya keputusan,” nada ketus Kawulusan jelas terdengar.
Ia divonis bersalah. Sebab itu, Kawulusan kembali harus
menjalani interogasi.
“Interogasi itu cuma jadi ajang untuk pelampiasan kekerasan aparat,” kenang Kawulusan. “Jangan bicara keadilan. Itu seperti jadi mimpi.”
Kawulusan dinyatakan bebas secara fisiknya pada tanggal
27 Desember 1977.
“Tapi secara mental, kami masih dihukum,” kata Kawulusan.
Kebebasan ini membuat Kawulusan mendapat kesempatan untuk
pulang ke kampung halamannya di desa Molompar, kecamatan Tombatu, kabupaten
Minahasa Tenggara untuk bertemu dengan anak dan istrinya. Ia membawa rindu yang
tak mungkin bisa diceritakan dengan kata-kata.
Tiap senti otot Kawulusan yang pernah merasakan tinju dan
tendangan seperti kembali bergairah karena membayangkan memeluk anak-anaknya
sembari menebus waktu yang terampas. Kawulusan telah dirampas dari keluarganya
untuk rentang waktu yang mesti ia tebus sendiri.
“Sulit digambarkan dengan kata-kata. Bahagia sekali pas bebas,” kenang Kawulusan.
Meski telah bebas, Kawulusan masih harus wajib lapor ke
kantor KORAMIL di desa Tombatu. Selama berada dalam pengawasan KORAMIL,
Kawulusan bersama para wajib lapor yang lain harus menjalani kerja.
“Tetap, kami adalah tenaga kerja gratis dan tersedia 24 jam setiap hari kalau dibutuhkan tentara,” kata Kawulusan.Mereka diharuskan membersihkan selokan yang ada di sekitar bangunan pemerintahan, gedung-gedung pemerintahan dan halamannya serta tentu saja kantor KORAMIL.
Jika tanggal 17 Agustus tiba, semua wajib lapor
diharuskan mengikuti upacara bendera jika tak ingin kembali terlilit masalah.
Yang paling menyakitkan menurut Kawulusan selama periode
ini adalah bagaimana ia dan keluarganya mengalami penolakan yang dilakukan oleh
masyarakat karena dianggap sebagai penyakit masyarakat.
Hal ini paling terasa ketika Kawulusan bersama istrinya
seperti biasa mengikuti ibadah di Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM)
Molompar. Salah satu denominasi Kristen Protestan yang ada di kampungnya.
Mereka selalu disinggung sebagai kalangan atheis atau tak
bertuhan karena terlibat dengan PKI. Dianggap tak bertuhan karena Komunis.
Tuduhan sepihak tanpa landasan bukti yang kuat.
“Memang tidak bicara langsung. Tapi di belakang kami. Mereka bilang, kami ini PKI. Jadi itu artinya, kami ini atheis. Tidak percaya Tuhan,” Kawulusan tertawa kecil.
Meski awalnya berupaya tegar dan menganggap semuanya
angin lalu, benteng pertahanan itu akhirnya jebol. Kawulusan dan istrinya
memutuskan pindah ke Gereja Advent dengan harapan mereka bisa diterima.
“Pindah gereja itu pilihan sulit. Tapi daripada sakit hati terus,” jelas Kawulusan.
Namun bukan berarti bahwa semuanya serta merta berakhir.
Di kalangan jemaat gereja yang baru, Kawulusan bersama keluarga masih tetap
harus menjalani diskriminasi sosial seperti yang dialami sebelumnya.
“Menurut pemimpin jemaat di gereja, para jemaat yang dahulu terlibat dengan PKI tidak bisa berkhotbah dalam sebuah ibadah,” kenang Kawulusan.
Mereka juga tak boleh terlalu banyak bicara. Cukup berdoa
dan membaca Alkitab saja mengingat keKristenan mereka yang diragukan.
“Cukup datang ibadah, duduk diam, berdoa dan selesai.”
Ada satu pengalaman yang tak bisa dilupakan oleh
Kawulusan.
Yaitu ketika ia dibentak-bentak oleh seorang pejabat
bernama Letnan Garusu sewaktu menjalani wajib lapor di kantor KORAMIL.
Kawulusan dianggap belum bebas sepenuhnya dan wajib melaporkan diri setiap kali
ingin bepergian keluar kampung.
Tak terima dengan hal ini mendorong Kawulusan meminta
surat keterangan bebas penuh dari Mayor CPM Datu.
“Saya kan dulu yang bangun rumahnya. Jadi, saya minta dia bantu,” kata Kawulusan.
Ia berhasil mendapatkan surat itu. Surat ini juga yang
kemudian digunakan Kawulusan untuk menegaskan bahwa ia telah punya kebebasan
meski masih secuil.
Masih ada juga kisah tentang pemerasan yang dilakukan
oleh oknum veteran TNI kepada para bekas tapol dan napol. Caranya adalah dengan
mewajibkan semua wajib lapor untuk membuat pas foto diri sebanyak 40 lembar
dengan alasan bahwa ini telah menjadi ketentuan dari para petinggi.
“Bikin pas foto banyak-banyak, entah untuk apa,” kenang Kawulusan. “Lucu sekali.
Agenda rutin wajib lapor berhenti dijalani Kawulusan
ketika Soeharto akhirnya jatuh dari kursi kekuasaan presiden pada tahun 1999.
Semenjak itu, Kawulusan benar-benar mendapatkan kebebasan sepenuhnya. Meski
masih ada beberapa hal yang tetap saja mengganggu seperti stigma masyarakat
yang mayoritas belum berubah.
Bagi warga, terlibat PKI adalah kesalahan puncak seorang
warga negara yang tak mungkin mendapatkan ruang maaf. Persoalannya bagi
Kawulusan, ia merasa tak pernah terlibat dengan PKI. Ia pun merasa dibuntungi
dengan diharuskan mendekam dalam penjara tanpa pernah ada proses peradilan yang
dijalani.
“Tapi ya, mau menuntut ke siapa? Siapa yang mau bersihkan nama kami yang dituduh tanpa bukti dan dipenjara tanpa diadili? Kan percuma saja,” tutup Kawulusan getir.
DI DESA KOLONGAN, kecamatan Sonder Minahasa, Clara
Pangemanan juga tak meyangka akan ada sebuah peristiwa besar yang tak akan bisa
dilupakan karena menjadi bagian paling hitam dalam sejarah keluarganya.
Berawal dari penangkapan suaminya Lolowang oleh anggota
Komando Pemuda Anti G30 S di bawah komando Deker Palit yang menuduh PKI sebagai
dalang dibalik kejadian ini. Suaminya saat itu adalah Wakil Sekretaris
Committee Sub Seksi PKI Kecamatan Sonder, Minahasa. Tentu saja sebagai pimpinan
legal PKI di tingkat kecamatan, Lolowang adalah target empuk bagi para milisi
sipil pemuda ini.
Tapi tak hanya suaminya saja yang ditahan. Perempuan
kelahiran Tomohon 21 Juni 1933 ini, juga akhirnya ikut ditangkap pada keesokan
harinya.
“Saya ditangkap akhir Oktober,” kenang Pangemanan. “Saya sudah tidak ingat tanggal pastinya.” Suasana yang serba tak menentu membuat ia merasa waktu seperti berjalan begitu cepat.
Pangemanan saat itu memang tak bisa mengelak. Ia adalah
salah satu anggota dari kolektif pimpinan Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) di
Kecamatan Sonder dengan jumlah anggota lebih dari 100 orang yang terhimpun dari
semua desa di wilayah Sonder.
“Semua orang di Sonder tahu bahwa saya ini anggota Gerwani,” kata Pangemanan.
Kegiatan GERWANI saat itu adalah arisan, kegiatan
pelatihan keterampilan teknis untuk perempuan seperti masak memasak, pendidikan
tentang keorganisasian dan masih banyak lagi.
“Kami juga melatih perempuan cara merawat anak, juga mengajari mereka baca tulis untuk mereka yang masih buta huruf.”
Bagi Pangemanan yang juga berprofesi sebagai guru,
GERWANI mengajarkan kemandirian bagi banyak perempuan untuk berani
memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki masing-masing anggota.
Awalnya, Pangemanan hanya dipanggil untuk menghadap ke
kantor KORAMIL setempat untuk melaporkan diri. Perintah itu disertai sebuah
memo agar juga mengemasi pakaian karena akan dilakukan pemeriksaan di tempat
lain.
“Waktu terima memo itu, saya tidak kira akan dibawa jauh dari Sonder,” kenang Pangemanan.
Pangemanan akhirnya dibawa ke kantor KODIM Tondano dan
ditahan di LP Tondano yang letaknya tak jauh dari kantor KODIM tersebut. Ia tak
sendiri. Ada sekelompok tahanan lain yang juga turut serta.
“Sebagian besar dari rombongan saya adalah perempuan,” kenang Pangemanan. Mereka adalah aktivis dari berbagai organisasi massa yang cukup dikenal Pangemanan. “Ada juga yang sama-sama berasal dari Gerwani.”
Hari pertama di tempat itu dijalani Pangemanan dengan
interogasi dan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh tentara.
“Ada sekitar 30
orang yang di BAP hari itu termasuk saya,” kenang Pangemanan.
Di tempat ini, Pangemanan ditahan selama 9 hari dengan
terus menerus harus menjalani interogasi dengan pertanyaan yang sama.
“Cuma ada tiga atau empat pertanyaan tiap hari. Itu saja yang diulang-ulang,” kata Pangemanan.
Ruang penahanan Pangemanan adalah sebuah kamar sel dengan
ukuran 3 X 3 meter yang harus dihuni oleh 12 orang sehingga terasa begitu
sesak.
“Apalagi saat itu kondisi saya sedang hamil muda,” kata Pangemanan. Sesaknya ruang tahanan saat itu terkadang membuat pengap seperti menyergap udara dan menekan dada. Belum lagi tanya yang terus hadir seputar keberadaan sang suami, Lolowang yang belum juga ada kabar di tahan di mana.
“Saya terus menerus bertanya soal di mana suami saya.”
Pangemanan lalu dipindahkan ke desa Sukur, Airmadidi dan
disekap dalam sebuah gudang kopra bekas. Tempat yang sama di mana Kawulusan
juga ikut ditahan.
Di tempat ini, Pangemanan menjumpai begitu banyak orang
yang ditahan dengan alasan yang sama. Mereka harus menjalani indoktrinasi
tentang kesetiaan terhadap Pancasila.
“Disuruh mengeja lima sila Pancasila. Sehari bisa sampai tiga kali,” kenang Pangemanan.
Hal ini dilakukan karena para tahanan dianggap tidak
loyal kepada negara karena dituduh terlibat upaya makar kekuasaan. Meski tak
mengerti dasar tuduhan tanpa alasan itu, Pangemanan mencoba tabah selama
ditahan.
“Saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan,” kenang Pangemanan. Bukan hanya untuk keselamatan dirinya, tapi juga keselamatan suami tercinta dan anak-anak mereka yang kini harus ditinggal pergi kedua orang tuanya.
“Hati saya masih sering sedih jika mengingat momen itu,” kata Pangemanan.
Ia merasa tak menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu
yang baik karena terpaksa harus meninggalkan anak-anaknya.
Penahanan di Sukur menjadi akhir penyekapan sepihak yang
dialami Pangemanan.
Selanjutnya ia dipulangkan ke rumahnya di desa Kolongan,
kecamatan Sonder. Pangemanan gembira bukan kepalang karena kembali bisa
berjumpa dengan anak-anaknya. Meski tetap ada sedih yang menggelayut di hati
kecilnya.
“Sampai saya pulang ke Sonder, belum juga ada kabar soal di mana keberadaan suami saya,” kenang Pangemanan.
Tak semua tahanan di Sukur kemudian mendapatkan
kesempatan pulang ke rumah. Sebagian dari mereka yang dianggap masih berbahaya
kembali dipulangkan ke berbagai tempat penahanan. Ada yang kembali di tahan di
Manado, ada juga yang harus merasakan kerasnya besi jeruji di Tondano.
Pulang ke Sonder, tak berarti semua urusan serta merta
selesai.
Pangemanan masih harus menjalani wajib lapor selama dua
kali dalam seminggu di kantor KORAMIL setempat. Sepanjang masa wajib lapor
inilah, Pangemanan berhasil mendapatkan informasi mengenai keberadaan suaminya.
“Dia ternyata harus mendekam selama 12 tahun karena dinyatakan bersalah terlibat dengan kasus makar,” jelas Pangemanan.
Ini tuduhan yang dialamatkan kepada semua mereka yang
ditangkap.
Wajib lapor harus dijalani Pangemanan hingga tahun 1977.
Semuanya kegiatan ini berhenti bersamaan dengan pembebasan suami tercinta dari
balik jeruji besi.
“Oh, bahagia sekali. Itu mungkin hari paling bahagia di hidup saya,” kenang Pangemanan. Matanya berkaca-kaca.
Selama menjalani wajib lapor, Pangemanan juga harus
membagi konsentrasi sebagai pencari nafkah bagi keluarganya yang ditinggal
suami karena ditahan.
“Tidak mudah. Sulit cari kerja karena kami dianggap sebagai pengkhianat,” kata Pangemanan.
Stigma sebagai orang yang berkhianat kepada negara
menjadi batu sandungan yang berimbas pada kondisi pendidikan anak-anaknya.
Empat dari enam anak Pangemanan harus mengalami putus sekolah karena terkaman
kondisi ekonomi yang morat marit.
“Mereka terpaksa harus berhenti sekolah. Selain karena tidak punya cukup uang, mereka juga jadi korban diskriminasi karena dituduh sebagai anak PKI,” kata Pangemanan.
Beruntung dua anak yang lain bisa meneruskan pendidikan
hingga jenjang strata dua dan mendapatkan pekerjaan di luar daerah. Semua itu
bisa terjadi setelah almarhum suaminya bebas dari penjara dan ikut membantu
Pangemanan mencari nafkah untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Pangemanan dengan bangga menunjuk rumah dimana kini ia
berdiam, tempat di mana saya mewawancarainya.
“Rumah ini adalah hasil dari jerih payah kedua anak saya,” kata Pangemanan dengan bangga. “Juga sebagai bentuk ucapan terima kasih.”
Sedangkan keempat anaknya yang tak bisa melanjutkan
sekolah, bekerja sebagai petani hingga sekarang. Mereka juga mempunyai andil
yang besar dalam membantu Pangemanan menyekolahkan kedua anak bungsunya.
Ingatan Pangemanan tentang hari kelam itu makin pilu jika
kembali membayangkan bahwa ada beberapa temannya yang diperkosa oleh tentara.
“Saya tahu betul, ada tiga kawan yang diperkosa tentara,” kata Pangemanan pelan.Ia tak mau menyebutkan nama ketiga kawannya karena merasa tak berhak mengungkap nama korban tanpa persetujuan mereka.
Pangemanan yakin bahwa masih banyak korban lain yang
mengalami pemerkosaan ketika diinterogasi.
“Biasanya mereka dipanggil dengan alasan harus menjalani interogasi pada malam hari,” kata Pangemanan. Namun bukan interogasi yang berlangsung, justru adalah tindakan biadab yang tak bisa dimaafkan Pangemanan.
Ia juga hampir menjadi korban ketika pada suatu malam
ketika ia sudah dipulangkan ke kampung halamannya.
“Saya juga hampir pernah menjadi korban,” kenang Pangemanan.
Panggilan interogasi itu datang dari seorang oknum
tentara pada malam hari. Namun karena curiga dan khawatir akan terjadi hal-hal
buruk, Pangemanan berkeras menampik panggilan itu. Ia tak takut bahwa hal itu
akan beresiko besar nantinya.
Dalam pikirannya saat itu, ia harus tegar untuk
anak-anaknya.
“Saya tak boleh lemah karena saat itu saya adalah satu-satunya sandaran bagi anak-anak,” kenang Pangemanan.
PERISTIWA YANG DIALAMI oleh Pangemanan juga turut
dirasakan Tjenny Lengkong. Saat itu, perempuan kelahiran Kali Putih, Modayag
Bolaang Mongondow, 15 Januari 1951 ini sedang berada di desa Sonder ketika
menerima kabar bahwa telah terjadi penangkapan sejumlah orang karena mempunyai
keterkaitan dengan PKI secara organisasional.
“Waktu itu, saya sedang mengunjungi keluarga di Sonder. Ayah saya berasal dari daerah itu,” kenang Lengkong.
Lengkong seorang perempuan berdarah Minahasa yang telah
lahir dan menghabiskan masa kecilnya di tanah Bogani, Bolaang Mongondow.
Modayag memang mempunyai cukup banyak penduduk yang berasal dari Minahasa yang
kemudian menetap dan memilih melanjutkan hidup sebagai migran.
Tapi kepulangannya ke Modayag justru berbuah penangkapan
oleh pihak kepolisian yang dikomandani oleh Robot dan Haji Manoppo.
Penangkapan ini sendiri terjadi akhir Oktober 1965.
“Saya tidak ingat pasti tanggal berapa,” kata Lengkong.
Setelah ditangkap, Lengkong diinapkan selama semalam di
rumah Robot sebelum kemudian dibawa ke kantor polisi untuk menjalani proses
interogasi.
“Saya ingat, interogator saya adalah seorang petugas bernama Hasanuddin,” kenang Lengkong. “Namanya menggunakan dua ‘d’,” tegas perempuan ini.
Nama ini begitu melekat di ingatan Lengkong. Sebabnya,
dari tangan pria inilah, tamparan dan tinju sebagai paket interogasi harus
diterimanya.
“Pokoknya mulai dari tulang betis ditendang, ditampar sampai rambut dijambak,” kenang Lengkong.
Waktu itu, Lengkong adalah seorang aktivis GERWANI. Ia
dipaksa harus mengakui bahwa mengetahui proses kejadian di Jakarta dan ikut
terlibat didalamnya. Menjawab tidak adalah pilihan yang tidak bisa diterima
oleh interogator.
“Kalau jawab ‘tidak’ itu sama saja undang kena tampar atau pukul,” jelas Lengkong. Akibatnya, beberapa kali tengkuknya mendapatkan pukulan pentungan dari Hasanuddin.
Setelah itu di keesokan harinya, Lengkong diharuskan
menghadap pak Sutoyo, Kepala Kepolisian Modayag saat itu.
Di hadapan Sutoyo, Lengkong ditanyai soal PKI dan
keterkaitan dirinya. Apapun jawabannya, siksaan fisik tetap saja jadi sesuatu
yang tak bisa ditolak. Interogasi ini terkait tuduhan bahwa ia menyimpan
berbagai dokumen tentang aktivitas PKI di lemari pakaian.
“Padahal, mereka tidak menemukan apapun setelah menggeledah lemari pakaian saya,” kata Lengkong.Meski demikian, Lengkong tetap dianggap bersalah dan kembali harus menjalani penahanan selama hampir dua bulan di kantor Polisi Modayag.
Pertengahan Desember 1965, Lengkong digiring paksa menuju
kantor BUTEPRA di Modayag untuk kemudian menjalani interogasi oleh pak Gunawan
dan seseorang lain bernama Petrus.
“Saya selalu ingat nama-nama interogator saya, karena pernah berharap bahwa kesalahan mereka suatu saat nanti akan diganjar hukuman,” nada suara Lengkong terdengar sinis.
Interogasi di tempat baru masih saja terkait soal tuduhan
kepemilikan dokumen partai yang ditimpakan kepada Lengkong. Ia kembali menolak
tuduhan itu.
“Karena terus bilang tidak tahu soal dokumen, saya pernah dipukul dengan menggunakan popor senapan sembari ditendang di bagian perut oleh Petrus,” kenang Lengkong. “Pak Petrus melakukan itu atas perintah Pak Gunawan.”
Meski begitu, Lengkong tetap berkeras bahwa dirinya tak
bersalah dan tak tahu menahu tentang semua tuduhan itu.
Kemudian oleh Petrus, Lengkong sempat dibawa ke daerah
sekitar perkebunan Tobangon.
Tujuannya bukan untuk menjalani interogasi.
“Mereka minta saya melayani nafsu seksual mereka,” kenang Lengkong. Nada suaranya terdengar geram. “Kalau saya iyakan tawaran itu, mereka akan beri sedikit keringanan kalau ada interogasi lagi,” tutur Lengkong.
Lengkong mengingat bagaimana petugas polisi bernama
Petrus ini mengatakan bahwa atasannya yang bernama Gunawan cukup terpikat
dengan kecantikan dirinya,
“Saya waktu itu hampir berusia 25 tahun,” kenang Lengkong. “Ini tawaran gila yang langsung saya tolak.”
Penolakan tersebut membuat Lengkong mendapatkan
penyiksaan fisik dari Gunawan dan Petrus dengan kadar berlipat.
Tawaran gila ini tak hanya datang sekali. Setiap kali ada
kesempatan, Petrus selalu menyampaikan pesan dari Gunawan tentang hal itu.
“Tiap kali habis mereka berdua menyiksa saya, tawaran itu diulang terus,”
kenang Lengkong geram.
Jawaban yang diberikan Lengkong juga tetap sama. Menolak
tunduk.
Setelah itu, ia dikembali sebagai tahanan di BUTEPRA
Modayag sebelum kemudian dinyatakan bebas pada tahun 1967.
“Tapi saya tetap masih harus menjalani wajib lapor rutin, sekali seminggu,” kenang Lengkong. “Saya wajib lapor sampai tahun 1977.”
Selama proses wajib lapor ini, tak jarang Lengkong harus
menerima hinaan dari para oknum tentara.
“Mereka sering panggil kami lonte,” kenang Lengkong.
Cap sebagai perempuan murahan tidak hanya menimpa
Lengkong. Semua perempuan yang dituduh terlibat dengan GERWANI juga mengalami
hal yang sama. Mereka dianggap tidak bermoral. Sebuah mitos salah tentang
GERWANI yang masih hidup hingga hari ini dikepala begitu banyak orang.
Sebelumnya, Lengkong adalah anggota Pemuda Rakyat (PR).
Keterlibatannya dalam PR semata-mata karena berbagai program simpatik yang
ditawarkan.
“Program-program mereka waktu itu cocok sekali dengan kondisi yang dihadapi kami di kampung,” jelas Lengkong.
Sebagai anak muda, Lengkong yang kala itu bekerja sebagai
honorer di sebuah sekolah dasar merasa bahwa PR memberikan banyak kemajuan
dalam dirinya. Ia merasa jauh lebih berkembang, meluas dalam wawasan berpikir
dan semakin kritis dalam menghadapi masalah.
“Saya belajar banyak hal baru. Saya jadi makin tahu cara menghadapi masalah dan akar dari masalah tersebut,” jelas Lengkong sambil tersenyum.
Sebagai anak seorang petani, perhatian PR yang begitu
besar kepada kaum tani adalah salah satu daya tarik mengapa Lengkong mau
terlibat dalam organisasi ini.
“Status saya cuma anggota biasa, tapi saya bangga sekali saat itu,” kenang Lengkong. “Saya aktif sekali mengikuti kegiatan-kegiatan mereka.”
Tidak hanya dirinya yang menjadi korban. Adik perempuannya,
Dortje juga ikut menjadi korban karena peristiwa ini.
“Dia lebih menderita dari saya,” kenang Lengkong.
Saat saya bertanya, apakah adiknya ikut menjadi korban
pemerkosaan oleh polisi dan tentara selama periode itu, Lengkong menolak
bercerita. “Sudah, tanya yang lain saja,” kata perempuan ini.
BEO ADALAH DAERAH pelabuhan yang terletak di pulau
Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud. Kota ini sejak awal merupakan salah
satu daerah yang dianggap cukup maju di kabupaten paling utara se-Indonesia
ini.
Di tahun 1965, Beo adalah sebuah desa yang sekaligus
menjadi ibukota kecamatan bernama sama. Wilayah ini saat itu masih termasuk
dalam daerah administratif Kabupaten Sangihe dan Talaud. Orang biasa
menyingkatnya sebagai Satal. Di sini, saya menemui Adolfina Yura.
Ia menemui saya di rumahnya yang berjarak tak jauh dari
pantai.
“Kabar soal peristiwa 1 Oktober 1965, sampai di Talaud cukup lambat,” kata Yura memulai kisahnya.
Berita tentang tentang penangkapan massal anggota dan
simpatisan PKI mulai berhembus dan sampai di Talaud sekitar akhir bulan Oktober
di tahun yang sama. Kendala minimnya fasilitas komunikasi adalah salah satu
sebab.
“Dulu kan, akses itu hanya lewat surat yang diantar oleh pos,” kenang Yura.
Awalnya berupa sebuah desas desus. Meski begitu, Yura tetap
saja melakukan aktifitasnya seperti biasa.
“Saya tetap buka warung dan melayani pembeli seperti biasa,” kenang Yura. Ia mengelola sebuah warung yang menjual sembako sekaligus menjadi pembeli kopra dari para petani yang berasal dari Beo dan desa-desa di sekitar.
Usaha ini dirintis Yura bersama dengan suami tercinta,
Heles Rama.
Rama, adalah seorang pejuang otonomi Talaud. Sejak awal,
ia adalah satu di antara sedikit orang yang dengan gigih memperjuangkan
berdirinya kabupaten Talaud.
“Pak Heles itu pintar sekali. Apalagi kalau bicara, semua kami macam tersihir,” kata Yura mengenang almarhum suaminya.
Kharisma Heles Rama sebagai seorang aktivis politik muda
diakui Yura jadi salah satu daya tarik yang membuatnya jatuh cinta dan akhirnya
menerima pinangan untuk menikah.
“Saya kan cuma perempuan biasa. Jadi ditaksir oleh orang yang diidolakan banyak orang itu jelas bikin bangga.”
Yura tersenyum kecil. Ia tampak masih malu-malu
menceritakan kepada saya bagaimana kisah cintanya di tahun-tahun pusaran
politik.
“Kami menikah tahun 1962. Diberkati di gereja sini,” kenang perempuan ini.
Saat melamar Yura, Heles Rama adalah anggota Commite
Seksi (CS) PKI Kabupaten Sangihe Talaud. Bersama dengan Tegel Ontorael, karib
sesama anggota CS PKI Satal, usaha Rama untuk memperjuangkan otonomisasi Talaud
tak pernah surut.
“Mereka berdua itu duet maut. Sama-sama keras kepala soal otonomi,” kata Yura.
“Dari sebelum jadi pengurus PKI, Pak Heles itu sudah keras bicara soal Talaud yang harus pisah dari Sangihe,” jelas Yura. “Dia dulu sering ke Manado untuk cari dukungan dari mahasiswa-mahasiswa Talaud yang lagi kuliah di sana.”
Saat ditunjuk sebagai salah satu pengurus PKI tingkat
kabupaten, Rama semakin gencar menyuarakan hal itu. Seingat Yura, Rama bahkan
pernah berangkat ke Makassar tahun 1956 untuk melakukan pertemuan dengan
gubernur Sulawesi. Ia ditemani oleh Wempie Bee dan Ismail Tingginehe.
“Saya ingat, dia pamit mau ke Ujung Pandang. Dia bilang mau bicara dengan Gubernur Sulawesi untuk bicara soal pemekaran Talaud jadi kabupaten,” kenang Yura. “Dia selalu bilang bahwa jadi kabupaten itu salah satu solusi untuk membuat Talaud maju dan tidak lagi jadi daerah miskin”
Di kemudian hari, karena aktivitas inilah, Rama ikut
ditangkap bersama Ontorael karena dituduh terlibat peristiwa 1 Oktober 1965 di
Jakarta.
“Semua orang selalu bilang, pak Heles itu ditangkap karena bicara soal pemekaran Talaud dan minta dukungan dari PKI di Jakarta,” kenang Yura.
Yura sendiri telah diberitahukan oleh suaminya, Rama,
bahwa dirinya kemungkinan juga akan terseret dalam badai ini.
“Dia sudah bilang dari awal kalau besok lusa, akan ada orang yang tidak senang dengan dirinya akan menggunakan isu soal pemekaran Talaud sebagai alasan menyerang dirinya,” jelas Yura.
Yura sendiri aktif sebagai pengurus GERWANI kecamatan
Talaud Utara.
“Tapi, walau saya tidak aktif di Gerwani, saya pasti jadi sasaran. Suami saya Heles Rama, semua orang kenal. Sudah pasti saya jadi korban,” jelas Yura. Perempuan ini sadar konsekuensi bersuamikan seorang pengurus CS PKI.
“Pak Heles itu dulu sering pimpin rapat akbar. Pidato di depan banyak orang. Dia selalu bicara soal pentingnya Talaud jadi kabupaten terpisah dari Sangihe. Kan, tidak semua orang senang dengan usul itu. Jadi, kami berdua sudah tahu ada akibat,” kata Yura.
Wanita kelahiran Beo, 9 Maret 1931 sadar bahwa politik
selalu datang dengan konsekuensi. Yang tak mampu dikira adalah ternyata soal
ini jauh lebih besar dan beralur kusut hingga di luar daya jangkau nalarnya.
“Tapi kalau sampai suami saya hilang, tidak pernah saya pikir akan sampai begitu. Kan saya pikir, kita masih sama-sama orang Indonesia. Masih sama-sama saudara,” jelas Yura.
Ada banyak pertanyaan yang menghinggapi kepalanya ketika
suaminya dipanggil menghadap oleh pihak kepolisian pada awal November.
“Pak Heles disuruh pergi menghadap polisi sekitar tanggal 6 Oktober, kalau tidak salah,” ingat Yura. “Dia tidak pernah lagi kembali sejak itu.”
Ditinggal sendiri, Yura menjadi sasaran empuk dari
kemarahan massa. Warung sembako dan gudang kopra mereka habis dijarah oleh
massa pemuda anti PKI.
“Mereka nanti berani datang bakar warung dan gudang kopra kami setelah Pak Heles sudah ditahan polisi,” sinis nada suara Yura. “Saya ingat, beberapa dari mereka yang datang bakar itu punya hutang di sini. Waktu susah dulu, saya dan Pak Heles yang bantu. Tapi mereka tidak tahu balas budi,” kenang Yura dengan kesal.
Ia juga akhirnya menyusul mendapatkan panggilan dari
pihak KORAMIL terkait tuduhan yang sama. Yura dituduh terlibat upaya makar
kekuasaan dan dianggap mengkhianati Pancasila dan NKRI.
“Pas dituduh begitu, saya bingung,” kenang Yura.
Sebuah tuduhan yang kepalang besar untuk dirinya yang mengakui
bahwa keterlibatannya di dunia politik saat itu tidaklah terlalu mentereng. Di
Talaud Utara, terutama di Beo, Gerwani saat itu belumlah mempunyai anggota yang
banyak. Mereka sedang dalam tahap pembangunan organisasi itu.
“Kami belum punya banyak anggota. Masih sering rapat-rapat kecil untuk sosialisasi. Masih baru mau ajak ibu-ibu gabung,” kata Yura.
Struktur kepengurusan Gerwani di mana Yura terlibat juga
adalah struktur sementara yang mandatnya adalah perluasan organisasi.
“Belum banyak orang yang tahu Gerwani itu apa, dan siapa-siapa saja pengurusnya,” kenang Yura.
Dalam interogasi, Yura ditanyai seputar aktivitas
politiknya di Gerwani. Meski lebih sering, ia ditanya soal keterlibatan
suaminya.
“Mereka lebih sering tanya soal Pak Heles. Apa saja aktivitasnya, siapa saja yang sering datang berkunjung ke rumah dan diskusi dengan Pak Heles. Begitu-begitu saja pertanyaannya,” kata Yura.
“Saya tidak mengalami penyiksaan fisik. Cuma diinterogasi selama dua hari, lalu disuruh wajib lapor,” kenang Yura.
“Suami saya yang ditahan dan sejak saat itu tidak pernah jelas nasibnya bagaimana.” Yura menjalani wajib lapor di kantor KORAMIL setiap minggu hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Aktivitas ini dijalani Yura hingga tahun 1977.
Sedang suaminya Rama, setelah ditangkap, sempat di tahan
di Beo untuk beberapa saat sebelum kemudian akhirnya dibawa ke penjara di
Tahuna.
“Saya berupaya cari tahu informasi tentang suami saya. Bertahun-tahun, saya harus bolak-balik ke Manado dan Tahuna. Sogok sana-sini supaya dapat informasi,” kenang Yura.Dari upaya tersebut, Yura mendapat informasi bahwa suaminya Rama telah dipindahkan ke penjara Manado tepatnya di Kamp Pengasingan di Ranomuut.
Heles Rama dan Tegel Ontorael sama-sama ditahan di
Ranomuut karena termasuk kategori tahanan kategori A.
“Pak Heles dan Pak Tegel dianggap sama-sama berbahaya, makanya saya tidak bisa mengunjungi dia di tahun-tahun awal dia ditahan.” kenang Yura.
Setahun setelah masa wajib lapor Yura berakhir, ia juga
mendapat kabar gembira soal kabar pembebasan suaminya dari Ranomuut.
“Pas pulang, saya bahagia sekali. Tapi saya langsung tahu kalau Pak Heles itu menderita sekali selama di penjara,” kenang Yura. “Dia gampang jatuh sakit dan jadi jarang bicara soal politik. Macam tidak bersemangat lagi. Lebih sering ke kebun, tapi tidak bisa lagi kerja fisik macam dulu.”
Heles Rama akhirnya menghembuskan nafas di tahun 1997
sebelum sempat merasakan bagaimana hak-hak ekonomi sosial budaya serta
politiknya yang dibuntungi dikembalikan.
“Dia bahkan tidak sempat lihat Presiden Soeharto diganti,” tutup Yura. (*)
Editor: Gratia Karundeng
0 komentar:
Posting Komentar