Kompas.com - 07/11/2019,
17:55 WIB
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Diamanty Meiliana
Editor : Diamanty Meiliana
Jaksa Agung ST Burhanuddin
mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan,
Jakarta, Kamis (7/11/2019). Rapat kerja tersebut membahas rencana strategis
Kejaksaan Agung tahun 2020. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama. (ANTARA FOTO/NOVA
WAHYUDI)
JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan bahwa
rekomendasi DPR menjadi salah satu hambatan dalam menuntaskan kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu atau kasus-kasus yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diterbitkan.
Ia mencontohkan peristiwa Semanggi I dan II. DPR periode
1999-2004 merekomendasikan peristiwa tersebut tak masuk dalam pelanggaran berat
HAM. Rekomendasi itu berbeda dengan hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti,
Semanggi I dan II.
"Bahwa untuk peristiwa 1965, Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan kedua peristiwa tersebut bukan pelanggaran HAM berat," ujar Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Di sisi lain, kata Burhanuddin, syarat formil dan materil
berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM oleh Komnas HAM belum lengkap.
Berdasarkan Undang-indang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas
berwenang melakukan penyelidikan atas kasus pelanggaran HAM berat.
Sedangkan, kewenangan penyidikan dan penuntutan berada di
tangan Kejaksaan Agung.
Menurut
Burhanuddin, Kejaksaan Agung melakukan koordinasi penanganan kasus pelanggaran
HAM berat pada 15-19 Februari 2016 di Hotel Novotel, Bogor.
Dalam kesempatan itu, dibahas enam berkas penyelidikan,
yakni kasus peristiwa Trisakti, kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan
orang secara paksa, kasus Talangsari, penembakan misterius dan peristiwa 1965.
"Berdasarkan hasil penelitian bersama diperoleh hasil bahwa terdapat enam berkas penyelidikan terdapat kekurangan formil maupun materill untuk ditingkatkan pada tahap penyidikan," kata Burhanuddin.
Saat ini terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang
belum dituntaskan. Sebanyak 8 kasus terjadi sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedelapan kasus tersebut adalah
Peristiwa 1965, peristiwa Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Trisaksi,
Semanggi I dan Semanggi II tahun 1998.
Lalu, peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara
Paksa, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Simpang KKA, peristiwa Rumah Gedong
tahun 1989, Peristiwa dukun santet, ninja dan orang gila di Banyuwangi tahun
1998. Sedangkan empat kasus lainnya yang terjadi sebelum terbitnya UU
Pengadilan HAM, yakni peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai di Papua serta
peristiwa Jambo Keupok di Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar