Akbar Sukimin
Tanggal 10 November 1945 adalah hari dimana massa rakyat
dari berbagai elemen berhasil mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia yang
baru saja diproklamirkan dari serangan Inggris dengan persenjataan modern yang
memboncengi kekuasaan (NICA) Belanda di Surabaya. Peristiwa ini yang kemudian
diperingati sebagai hari pahlawan oleh bangsa Indonesia.
Mereka yang terlibat dalam pertempuran dengan Inggris
adalah merupakan gabungan dari para pejuang sipil (dari berbagai kalangan)
maupun dari sebagian kalangan militer yang merupakan bekas KNIL[1] dan PETA[2]. Namun, hingga hari ini mereka-mereka
yang dianggap sebagai “pahlawan” masih saja didominasi oleh unsur-unsur seperti
militer, berkat propaganda Soeharto pada masa orde baru.
Sejak rezim Orba berkuasa selama 30-an tahun, praktis
nama-nama mereka yang berada di simpang kiri jalan (meminjam istilah Soe Hok
Gie), sengaja dilupakan, dimanipulasi atau bahkan dihapuskan sama sekali dalam
catatan sejarah resmi pemerintah. Dan mereka-mereka yang ditonjolkan dalam
peristiwa-peristiwa besar sejarah hampir selalu adalah mereka yang berlatar
belakang militer. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan, seolah-olah hanya
militer lah yang paling terdepan melawan penjajahan, hanya dengan menjadi
militer lah baru bisa disebut sebagai pahlawan bangsa.
Bukan percuma film seperti Janur Kuning diproduksi
pada zaman Orba (1979) berkuasa yang sangat mengultuskan peran Suharto dalam
perang kemerdekaan dengan perannya sebagai militer. Yang sangat menyedihkan,
film yang sangat manipulatif seperti Pengkhianatan G 30 S PKI masih
juga sempat-sempatnya diberi tempat oleh pemerintah Jokowi yang konon sebagai
sosok “sipil”.
Kedua film tersebut selain begitu manipulatif dalam
fakta-fakta sejarah, juga memberi tahu ke kita kalau militerlah yang paling
jago dalam hal apa pun, sedangkan para pemimpin sipil seperti Sukarno-Hatta[3] dikerdilkan perannya atau ditiadakan sama sekali
dalam sejarah seperti Amir Sjariffudin[4].
Padahal bila melihat proses kemerdekaan kita para
pemimpin sipil terutama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir Sjariffudin, dll.,
sangat berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan, sampai-sampai hampir meregang
nyawa.
Bila Sukarno, Hatta, dan Sjahrir mendapatkan konsekuensi
penjara dan pembuangan, maka Amir Sjariffudin juga mengalami hal serupa. Bahkan
Amir sampai mendapatkan perlakuan keji dari tentara (fasis) Jepang saat
dipenjara. Jika Sukarno dan Hatta masih menyimpan harapan pada Jepang untuk
kemerdekaan Indonesia, Amir adalah orang yang paling tidak mau mengharapkan
belas kasih dan berkolaborasi dengan penjajah Jepang.
Sebelum dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer
Jepang pada 29 Februari 1944, Amir dipaksa tentara Jepang untuk berkhianat pada
rakyat Indonesia. Hampir setiap hari Amir disiksa agar mau membongkar jaringan
Gerakan Anti Fasis (GERAF). Pernah, di sebuah sumur, dalam keadaan kaki terikat
di atas dan kepalanya berada dibawah, tubuhnya diturunkan ke air sumur kemudian
dinaikkan ke atas lagi. Itu dilakukan berkali-kali, yang hampir membuat Amir
meregang nyawa. Tetapi, Amir tidak pernah menyerah pada kekuasaan penjajah,
malahan dia menertawakan para tentara Jepang yang menyiksa dia[5].
Amir yang masih dipenjara saat saat proklamasi
kemerdekaan, baru bebas dari penjara enam minggu setelahnya, yakni pada 1
Oktober 1945. Tetapi, walaupun masih dipenjara, Amir sudah diangkat menjadi
Menteri Penerangan oleh Sukarno.
Saat menjadi Menteri Penerangan, Amir begitu lugas
menjelaskan apa makna kemerdekaan bagi rakyat Indonesia, hingga mampu menjawab
fitnahan pers dunia Barat dari Inggris dan Amerika Serikat yang mengatakan
bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan “pemberian” Jepang.
Apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya ini tentunya merupakan taktik untuk memecah belah rakyat
Indonesia. Tetapi Amir menjawab fitnahan itu dengan gamblang, terlebih secara
pribadi dia memang tak pernah kompromi dengan penjajahan Jepang, sehingga
rakyat sangat mempercayainya.
Empat hari setelah peristiwa 10 November 1945 yang begitu
heroik, Amir mendapatkan amanah untuk juga menjabat sekaligus sebagai Menteri
Keamanan Rakyat disamping Menteri Penerangan.
Tetapi semua itu tidak membuat bangsa kita saat ini
menghormati jasa-jasa Amir Sjariffudin, bukan hanya karena dia seorang sipil,
tetapi terlebih karena dia sebagai seorang komunis dan didaulat “bersalah”
dalam peristiwa konflik internal militer yang membuahkan malapetaka di Madiun
pada 1948.
Tambah lagi peristiwa 1965 yang mengibliskan semua orang
komunis dan tujuannya juga untuk menaikkan citra para pemimpin militer sebagai
malaikat penyelamat bangsa.
___
Catatan
Akhir:
1 Koninklijk Nederlandsch
Indische Leger (KNIL)—Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
2 Pembela Tanah Air—tentara
bentukan Jepang saat menjajah Indonesia.
3 Dalam narasi-narasi Orba,
peran Sukarno-Hatta direduksi sekadar menjadi proklamator saja.
4 https://islambergerak.com/2016/08/amir-sjarifuddin-seorang-komunis-sekaligus-kristen-taat-bagian-1
5 Amir Sjarifuddin lahir di
Medan tanggal 27 Mei 1907. Catatan mengenai tanggal lahir Amir Sjarifuddin
kebanyakan mengacu kepada buku “Antara Negara dan Revolusi”-nya Jacques Leclerc,
yang menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 27 April 1907. Berdasarkan
catatan yang dimiliki keluarga, Amir lahir di Medan pada tanggal 27 Mei 1907.
Akbar Sukimin, aktivis Pro-demokrasi
Malang
0 komentar:
Posting Komentar