Oleh Bonnie Triyana
Tujuh puluh tahun lebih setelah Indonesia merdeka,
sebagian warga Belanda masih membenci Sukarno setengah mati. Kenapa?
Kiri-kanan: Sutan Sjahrir,
Letnan Kolonel Van Beek, Sukarno, dan Mohammad Hatta, di Yogyakarta tahun 1948.
Hatta dan Sjahrir dijadikan nama jalan di Belanda, Sukarno tidak mungkin karena
sebagian warga Belanda masih membencinya. (Arsip Nasional Belanda).
DALAM sebuah acara persiapan pameran di Rijksmuseum Maret
lalu saya bertemu dengan seorang anak veteran perang Belanda. Kalimat pertama
yang meluncur deras dari mulutnya adalah kemarahan sekaligus kekecewaan
terhadap gambaran kehadiran Belanda di Indonesia pada 1945-1949.
“Saya ingin pameran yang berimbang, yang tidak hanya menunjukkan kekejaman tentara Belanda saja,” kata dia kepada saya.
Selama beberapa menit saya terdiam menyimak
pembicaraannya. Sampai pada satu titik dia mengatakan, “Sukarno adalah seorang
teroris! Dia mengirim orang-orangnya untuk membunuh rakyat di desa yang dituduh
sebagai kolaborator Belanda.”
Sebagai orang Indonesia tumbuh bersama kisah kepahlawanan
Sukarno, umpatannya seperti sambaran petir.
“Apa maksud Anda dengan sebutan teroris?” kata saya berbalik menyambar pernyataannya. Pertanyaan itu diikuti pula dengan pertanyaan dari mana dia mendapatkan semua pengetahuan tentang perang di Indonesia 1945-1949?
Gerard van Santen, nama lelaki kelahiran Ambon, Maluku 62
tahun yang lalu itu mulai membagi kisahnya.
“Saya membaca semua itu dari surat-surat ayah saya ketika dia bertugas sebagai sukarelawan perang di Indonesia,” katanya. Kini saya memakluminya.
Pengakuannya membuat saya berpikir tentang apa yang
terjadi di Indonesia. Sekelompok mahasiswa di kota Rangkasbitung, Lebak turun
ke jalan pada 10 November 2017 memprotes penggunaan nama Multatuli sebagai nama
museum. Demonstran menuntut agar nama Multatuli tak lagi digunakan karena sudah
dinilai berlebihan. Beberapa di antara yang tidak setuju bahkan mengatakan
kalau Multatuli adalah penjajah Belanda yang tak perlu dikenang.
Distorsi, perubahan adalah kata kunci untuk memahami
ini. Gerard hanya mendapatkan informasi mengenai Sukarno dari surat-surat
ayahnya. Sedangkan anak-anak muda di Lebak (juga di Indonesia) tidak pernah
diwajibkan membaca novel Max Havelaar karya Multatuli. Pemahaman
tentang Sukarno dan Multatuli pada kedua belah pihak menjadi bias.
Pembahasan distorsi terhadap pemahaman masa lalu juga
dibahas di dalam artikel sejarawan Anne-Lot Hoek di NRC edisi 16
Agustus lalu (“Gemiste Koloniale Geschiedenis, Gemiste Kans”, “Sejarah Kolonial
yang Tertinggal, Kesempatan Terlewatkan”) mengisahkan perhatian (orang Belanda)
untuk revolusi Indonesia antara 1945 dan 1950 mengabaikan kelahiran gerakan
kemerdekaan dari hadapan mata (mereka).
Padahal menurutnya itu tak terjadi di dalam dua hari
antara kapitulasi Jepang tanggal 15 Agustus 1945 dan proklamasi kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945. Gerakan kemerdekaan Indonesia sudah terbentuk beberapa
dasawarsa sebelumnya dan Sukarno jadi salah seorang di antara tokohnya. Tanpa
pengetahuan itu memang gampang untuk menggambarkan Sukarno sebagai pion Jepang.
Distorsi ini pula yang agaknya membuat nama Sukarno tidak
dipilih sebagai nama jalan di kawasan Ijburg, Amsterdam. Sebagian orang
Belanda, terutama yang pernah mengalami hidup sezamannya, tidak akan pernah
bisa menyukai Sukarno karena dia menanggung beban kesalahan atas penderitaan
orang Belanda dan Indo selama 3,5 tahun Jepang menduduki Indonesia dan perang
kemerdekaan setelahnya. Bahkan Kapiten Westerling memberi harga murah untuk
kepala Sukarno: tak lebih dari 5 cent!
Tapi mungkin banyak orang lupa: Sukarno bukanlah Philipe
Pétain pemimpin pemerintahan kolaborator Nazi di Vichy, Prancis atau Anton
Mussert pemimpin Nationaal-Sosialistische Beweging (NSB) yang terbukti bersalah
melalui persidangan penjahat perang. Sukarno tidak pernah diadili di muka
pengadilan dan divonis bersalah atas semua yang dituduhkan kepadanya.
Rasa permusuhan terhadap sosok Sukarno bisa jadi karena
ada kebutuhan untuk menghadirkan wujud musuh itu sendiri. Semacam personifikasi
musuh untuk membenarkan tindakan brutal pemerintah Belanda pada era 1945-1949
yang mengirimkan dua kali aksi militernya ke Indonesia.
Banyak pemuda Belanda, sebagaimana ayah Gerard van
Santen, diprovokasi untuk pergi berperang untuk membebaskan Hindia Belanda dari
fasisme Jepang. Ketika tiba, tak ada satu pun tentara Jepang yang menghadang
mereka kecuali rakyat Indonesia yang terbakar semangat nasionalisme melalui
pidato-pidato Sukarno.
Pemerintah Belanda saat itu menutup mata atas
perkembangan situasi politik di Indonesia selepas Jepang takluk. Kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia Kedua diasumsikan sebagaimana kekalahan Nazi di
Eropa. Bagi pemimpin gerakan pembebasan nasional Indonesia seperti Sukarno,
kekalahan Jepang adalah kesempatan untuk mendirikan negara yang merdeka dari
penjajahan bangsa mana pun, termasuk Belanda.
Sedangkan Pemerintah Belanda saat itu berharap
mengembalikan kekuasaannya seperti sebelum Jepang menduduki Hindia Belanda pada
Maret 1942. Kita semua tahu bahwa akhirnya usaha naif untuk rekolonisasi
sia-sia belaka. Dimulai saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945,
berakhir pada penyerahan kedaulatan, 27 Desember 1949.
Belanda hengkang dari Indonesia dengan beban sejarah
tertanggung di bahunya. Sukarno adalah kambing hitam dari segala beban itu.
Dengan jalan itulah semua kegagalan pemerintah Belanda menjadikan Hindia
Belanda kembali sebagai koloni Belanda selalu akan punya jawaban. Namun muncul
kesan bahwa pengingkaran terhadap seorang Sukarno melambangkan betapa orang
Belanda belum bisa move on dari imajinasi masa lalunya. Dan itu
sangat disesalkan.
Sementara itu di Indonesia, akibat bias rasisme dalam
pelajaran sejarah kolonialisme, membuat imajinasi tentang musuh selalu merujuk
kepada mereka yang berkulit putih, seperti halnya Multatuli. Ini membawa
pula akibat kepada situasi hari ini di mana sentimen anti asing (xenophobia)
menjadi cara yang sangat populer untuk menggalang solidaritas publik di dalam
sebuah pertarungan politik baik tingkat daerah maupun nasional di Indonesia.
Sikap orang Belanda terhadap Sukarno bisa pula dilihat
dari syair lagu yang kerap dinyanyikan anak-anak di Belanda pada masa
itu: “Wat doen we met Soekarno als hij komt... Wat doen we met Soekarno
als hij komt... we maken er kachelhoutjes van! En wat doen we met Soekarno als
het kan, en wat doen we met Soekarno als het kan, we hakken hem in mootjes, we
hakken hem in mootjes, we hakken hem in mootjes in de pan..."
“Apa yang akan kita lakukan kalau Soekarno datang... Apa yang akan kita lakukan kalau Soekarno datang... kita akan bikin dia jadi kayu bakar! Dan apa yang kita akan lakukan pada Soekarno kalau bisa... dan apa yang bisa kita lakukan pada Soekarno kalau bisa... kita akan iris-iris dia menjadi potongan kecil di dalam panci...”
Sebaliknya, Sukarno tak pernah punya kebencian sedalam
itu kepada orang-orang Belanda. Paling tidak sikap itu terlihat dari surat
bertitimangsa 31 Desember 1948, yang dia tulis kepada Mayor Geelkerken, serdadu
Belanda penjaganya selama 12 hari pengasingan di Berastagi, Tanah Karo,
Sumatera Utara saat Agresi Kedua Belanda.
“Kolega Anda dari Medan bertanya kepada saya: “Apakah Anda membenci orang Belanda? “Tidak” kata Sukarno dengan tulus.
“Saya tidak membenci orang Belanda. Yang saya benci hanyalah hubungan kolonial dan imperialisme. Lantas kenapa pula saya harus membenci orang Belanda padahal 95% orang Belanda juga korban dari kolonialisme, sama dengan rakyat Indonesia yang sekarang yang sedang berjuang mencari kemerdekaan.”
Sekarang, 70 tahun sesudahnya, bukan lagi waktu yang
tepat bagi orang Belanda untuk terus menerus menyalahkan Sukarno dan saatnya kini
untuk berhenti membencinya.
Artikel ini diterbitkan pertama kali oleh koran NRC
Handelsblad di Belanda edisi Jumat, 30 Agustus 2019.
0 komentar:
Posting Komentar