Oleh Randy
Wirayudha
Riwayat getir sang pemula pers bumiputra. Melawan dengan
pena, dihukum karena keberaniannya. Mati dalam sepi.
Potret RM Djokomono Tirto Adhi Soerjo, tokoh perintis
pers Indonesia, di Museum Kebangkitan Nasional. (Fernando Randy/Historia).
BUTUH satu helaan nafas nan berat dari mulut Okky Tirto
saat mengisahkan masa-masa akhir buyutnya, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (TAS)
nan tragis. Cicit dari garis istri pertama, Siti Suhaerah itu mengibaratkan
Tirto bak Tan Malaka dan Sukarno, di mana kedua tokoh itu juga mengalami
masa-masa pengasingan yang memilukan.
Mengutip biografi Tirto yang dijahit Pramoedya Ananta
Toer dari beragam sumber bertajuk Sang Pemula, Tirto setidaknya dua kali
diasingkan ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Bacan (1912). Tirto
dibuang pemerintah kolonial tak lain lantaran beragam tuduhan, hasil dari
tajamnya pena Tirto yang menguak borok pejabat-pejabat kolonial lewat suratkabar
miliknya, Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan.
“Dia pulang ke Jawa dalam keadaan banyak tuduhan akibat dikriminalisasi. Nah, alhasil…dia enggak punya hak jawab dan patah arang saat di pengasingan,” terang Okky kepada Historia.
Lanjut cicit yang punya nama asli RM Joko Prawoto Mulyadi
itu, sekembalinya ke Batavia Tirto tak lagi bisa bersinar seperti sediakala. Ia
bak dijadikan tahanan rumah di salah satu kamar Hotel Medan Prijaji di Jalan
Kramat Raya, jelang mengembuskan nafas terakhirnya.
“Dia disediakan satu kamar di hotel itu. Kalau di bukunya Pram (Sang Pemula), kemudian hotel itu dirampas anak buahnya sendiri, Raden Goenawan. Pengkhianatan. Sendiri dia (menghadapinya, red.). Tragis ya. Tirto ini kan (nasib akhirnya) mirip Tan Malaka. Cuma bedanya Tirto menikah,” katanya menuturkan.
Hotel Medan Prijaji itu kini diyakini sudah berubah
menjadi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya. Makanya
ketika pernah muncul usulan mengabadikan Tirto menjadi nama jalan di Bandung,
Okky kurang sepakat. Usulan itu sempat mencuat pada 2012 kala Ketua Yayasan
Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jawa Barat (MSI Jabar) Nina Lubis
menyarankan Pemerintah Provinsi untuk mengabulkan Tirto dijadikan nama jalan di
Bandung.
Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung yang pada awal
abad 20 merupakan kantor suratkabar Medan Prijaji (Fernando
Randy/Historia)
Menurut Okky, keluarga besar Tirto akan sangat merasa
terhormat jika nama Tirto dijadikan nama jalan di Jakarta, ya tepatnya di jalan
bekas Hotel Prijaji itu beralamat. Walau memang kiprah Tirto yang paling
mencolok adalah ketika ia masih aktif membela “yang terprentah” terhadap “yang
memerentah” di Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung).
“Karena seseorang dijadikan pahlawan atau bukan itu, bukan ketika dia lahir. Tapi ketika dia menutup mata. Karena sepanjang hidupnya dia konsisten. Kalau dulu juga ada Bung Karno di-Wisma Yaso-kan, Tirto mengalami itu di hotel miliknya sendiri yang kemudian dirampas itu,” tambah Okky.
Hingga pada akhir pekan pertama bulan ke-12 pada 1918,
Tirto mengembuskan nafas terakhir. Ia kembali ke Sang Khalik dalam kesendirian
dalam usia muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen itu dengan sendu saat
memulai pengisahan riwayat Tirto dalam Sang Pemula.
“Akhir seorang pemula pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberikan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian orang meninggalkannya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkan,” tulis Pram.
Namanya lantas bagai lenyap tak berbekas dalam ombak
sejarah yang silih-berganti memunculkan tokoh-tokoh pergerakan nasional
lainnya. Namanya baru muncul lagi setelah ditemukan Pram kala meneliti sejarah
zaman permulaan nasionalisme Indonesia pada 1956.
Bapak Pers & Pahlawan Nasional
Perlahan tapi pasti nama Tirto pun mulai dapat perhatian
lagi di dunia pers nasional. Sebagaimana Pram menyebut Tirto sebagai “Bapak
Pers Nasional”, pemerintah lewat Dewan Pers turut memberi pengakuan dengan
menyematkan gelar “Perintis Pers Indonesia” yang diberikan Menteri
Penerangan cum Ketua Dewan Pers Mashuri Saleh pada 31 Maret 1973
lewat Surat Nomor 69/XI/1973.
Di tahun yang sama, tepatnya 30 Desember 1973 makamnya di
Manggadua dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Tanah Sareal, Kota
Bogor. Berselang kurun 33 tahun, nama Tirto diakui lebih luas dengan
dianugerahi status “pahlawan nasional” oleh Presiden RI Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), tepatnya 10 November 2006 bersamaan dengan Hari Pahlawan.
Okky Tirto, cicit RM Tirto Adhi Soerjo dari garis istri
pertama Siti Suhaerah. (Fernando Randy/Historia).
Dituturkan Okky, kala itu Nina Lubis mengontak ayahnya
untuk membicarakan pengusulan itu. Pengusulannya tak lepas dari jejak Tirto
yang banyak berpusar di Cianjur, Bandung dan Bogor meski Tirto kelahiran Blora
dan berasal dari keluarga priyayi Jawa.
“Iya, zaman SBY itu (gelar pahlawan nasional). Sebelumnya Nina Lubis menghubungi ayah saya, RM Dicky Permadi. Kemudian mereka bikin tim untuk mengurus pengajuannya ke Kementerian Sosial dan pada 2006 itu bulan November dianugerahi Pak SBY,” tandas Okky.
0 komentar:
Posting Komentar