Andreas JW - 25
November 2018
- Refleksi Hari Guru 25 November
Ilustrasi: Pendidikan pada masa kolonial
Awal tahun 1965, pecah konflik serius di tubuh organisasi
guru, PGRI. Konflik tajam bisa muncul karena secara sepihak, tanpa ada
perundingan dengan pimpinan yang lain, Ketua PGRI Subiadinata, menyatakan PGRI
bergabung dengan SOKSI. Padahal, organisasi PGRI harus non-faksentral.
Subiadinata diketahui luas sebagai aktivis dari unsur PNI
kanan. Tentu saja, tindakannya ini memancing reaksi anggota PGRI dari unsur
lain. Mereka protes keras atas tindakan sepihak dari Subiadinata, yang secara
jelas melanggar keputusan kongres.
Dari sini konflik berkembang semakin meruncing dan sulit
untuk didamaikan lagi. Para anggota PGRI yang tetap konsisten dengan pendirian
bahwa organisasi PGRI harus non-faksentral, tidak setuju terhadap tindakan
sepihak dari Subiadinata. Mereka lantas memisahkan diri. Mereka kemudian
membentuk PGRI Non-faksentral. Tokoh-tokoh dibelakang kubu PGRI Non-faksentral
di antaranya adalah Subandri, Muljono, dan tokoh Taman Siswa Elan alias Pak
Hardjo.
Melihat konflik berkembang semakin tajam dan kelihatannya
sulit didamaikan, Bung Karno menyatakan sangat prihatin. Selanjutnya Bung Karno
berharap agar kedua kubu segera mencari jalan damai, menuju rekonsiliasi.
Keprihatinan Bung Karno disambut baik oleh kubu PGRI
Non-faksentral. Mereka menyatakan bersedia melakukan rekonsiliasi, tapi dengan
syarat kubu PGRI Subiadinata terlebih dahulu harus keluar dari SOKSI.
Argumentasi mereka, karena kubu Subiadinata sudah
melanggar keputusan kongres.
Karena kedua kubu masih berpegang pada pendiriannya
masing-masing, konflik pun terus berlanjut. Bahkan semakin panas. Bung Karno
kemudian menugaskan Sujono Hadinoto untuk mengatasi konflik di tubuh organisasi
PGRI agar tidak semakin berlarut-larut. Maksud Bung Karno, Sujono Hadinoto,
dalam rangka menyelesaikan konflik ini, bertindak sebagai mediator; agar kedua
kubu yang tengah berkonflik bersedia menempuh jalan rekonsiliasi.
Pada saat konflik tersebut berlangsung, "Saya tengah
sibuk menangani berbagai pekerjaan di Mapenas," ungkap Siswoyo.
Sebagai Wakil Ketua Mapenas, ia tengah menyiapkan konsep
Sistem Pendidikan Nasional. Di Mapenas, ia merupakan kolega tepercaya bagi
Sujono Hadinoto.
Selain di Mapenas,
"Saya juga anggota DPR-GR dari Fraksi PKI yang membidangi
pendidikan." Mungkin atas pertimbangan ini Sujono kemudian menunjuknya
untuk turut membantu meredakan konflik dan menindaklanjuti proses rekonsiliasi
di tubuh organisasi PGRI.
Siswoyo sudah tahu sejak lama bahwa di tubuh organisasi
PGRI banyak terdapat elemen-elemen dari Taman Siswa. Dan ia juga tahu persis
merekalah yang terutama menentang keras tindakan sepihak kubu Subiadinata.
Kebetulan pula ia banyak mengenal dan sudah sejak lama bergaul akrab dengan
mereka. Langkah pertama yang dilakukan, melalui elemen-elemen Taman Siswa,
"Saya mulai menggali informasi untuk mencari tahu
bagaimana sesungguhnya duduk perkara yang terjadi. Dari sini saya lalu mulai
mengatur langkah lanjutan untuk menyatukan kembali PGRI," tutur Siswoyo.
Menurutnya, sumber masalah berada di pihak kubu
Subiadinata. Maka ia segera mengadakan pendekatan kepada pimpinan PNI. Kepada
Sekjen PNI, Surachman, dijelaskan permasalahan serta sumber konflik di tubuh
PGRI. Seraya tidak lupa,
"Saya
sampaikan pula instruksi Bung Karno agar secepatnya konflik dapat
diselesaikan."
Ternyata di internal massa PNI sendiri terdapat
perpecahan dalam menyikapi konflik tersebut. Banyak yang menyesalkan, mengapa
konflik tersebut bisa terjadi. Terutama kader-kader pimpinan “PNI
Ali-Surachman”, yang secara tegas tidak membenarkan tindakan yang dilakukan
Subiadinata. Akibatnya, Subiadinata tidak berkutik, posisinya terjepit dan
semakin lemah. Sebab, selain ditentang oleh massa PGRI, dia juga mendapat
tentangan dari massa PNI.
Akhirnya dilakukan pertemuan di Kantor Pusat PNI untuk
membahas penyelesaian konflik. Selain Sekjen PNI Surachman dan Prof. Dr.
Sudiarto, "Saya juga hadir sebagai mediator," kata Siswoyo.
Hasil pertemuan inilah sesungguhnya kunci keberhasilan
menyelesaikan konflik di tubuh organsasi PGRI. Terutama ketika pimpinan PNI
memutuskan untuk “menarik” Subiadinata dari PGRI. Dengan begitu salah satu inti
permasalahan sudah dapat diselesaikan, sehingga proses rekonsiliasi selanjutnya
bisa berjalan mulus.
Akan halnya untuk menggantikan Subiadinata, "Saya
mengusulkan Prof. Dr. Sudiarto duduk dalam kepengurusan PB PGRI, sebagai wakil
dari unsur PNI. Dengan begitu dalam kepengurusan baru PGRI tetap melibatkan
unsur-unsur Nasakom. Untuk ini Surachman setuju dengan usulan saya."
Berkat bantuan berbagai pihak, tugas untuk menyelesaikan
konflik di PGRI, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Namun demikian tetap
saja ada “pengorbanan” dari kedua belah pihak. Yakni, kubu PGRI SOKSI harus
melepas Subiadinata; sementara kubu PGRI Non-faksentral harus merelakan
Subandri mundur dari kepengurusan. Jadi jalan keluarnya adalah win-win solution.
Selanjutnya diadakan pertemuan rekonsiliasi kedua kubu
yang berkonflik di kediaman pribadi Prof. Dr. Sujono Hadinoto di Jalan Cimahi
No.5 Menteng, Jakarta.
Namun sejarah mencatat, selang beberapa bulan kemudian,
menyusul Peristiwa 1965, banyak jatuh korban dari guru-guru kubu PGRI
Non-faksentral. Baik itu ditahan maupun "dihilangkan".
0 komentar:
Posting Komentar